Mohon tunggu...
Wahyu Tanoto
Wahyu Tanoto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, fasilitator, reviewer, editor

Terlibat Menulis buku panduan pencegahan Intoleransi, Radikalisme, ekstremisme dan Terorisme, Buku Bacaan HKSR Bagi Kader, Menyuarakan Kesunyian.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Memahami Pasangan, Catatan Seorang Suami

14 Juli 2014   21:55 Diperbarui: 30 Oktober 2020   23:06 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar pixabay.com

Dalam sebahagian besar pandangan masyarakat (baca; Jawa) suami hampir selalu dianggap sebagai sosok “pengatur”, baik dalam wilayah domestik (rumah tangga) maupun publik. 

Sebaliknya, tidak jarang istri dianggap sebagai “konco wingking” yang dicitrakan seperti cermin dan bedak yang hanya bisa melakukan kegiatan meliputi tiga hal; dapur, sumur dan kasur atau bahkan yang lebih kentara lagi istri kerapkali dipandang sebagai manusia nomer dua (inferior) yang digambarkan hanya bisa mamah (makan) dan mlumah (siap pakai).

Pandangan tersebut di atas sesungguhnya dilatar belakangi karena adanya persoalan kebiasaan yang seolah-olah telah menjadi budaya, yaitu “kultur” patriarkhi atau dalam bahasa populer lazim dimaknai sebagai budaya yang lebih mengunggulkan salah satu jenis kelamin saja, yaitu laki-laki. 

Benarkah demikian? 

Mari kita tengok salah satu ajaran yang dijadikan pedoman serta telah diyakini kebenarannya selama puluhan bahkan ratusan tahun, yaitu bahwa suami adalah panutan istri sebaliknya istri adalah bayangan suami. 

Sebagai seorang suami, laki-laki seolah mendapatkan kekuatan penuh untuk mengkontrol kehidupan rumah tangga, dan otoritas yang dimiliknya memberikan keleluasaan berbuat sesuka hati tanpa ada batasan, artinya apapun boleh dilakukan seorang suami terhadap istrinya, meskipun hal ini tidak jarang dilakukan dengan alasan yang relatif tidak mudah diterima akal sehat.

Pendapat demikian ini, adalah pandangan umum yang sejauh ini diyakini kebenarannya secara sepihak tanpa mencoba melakukan kajian yang lengkap secara tekstual atau bahkan secara kontekstual; bahwa suami memiliki otoritas peran paling dominan, terutama dalam kehidupan berumah tangga. 

Sebagai seorang suami, menurut hemat saya tidaklah selamanya otoritas yang dimiliki oleh suami selalu bermakna baik dan menjamin kehidupan yang harmonis serta menjadi garansi kebahagiaan dalam berumah tangga. 

Dalam catatan saya, sudah terlalu banyak peristiwa gugatan oleh istri kepada suami yang berujung pada perceraian karena persoalan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dan atau karena alasan lain yang dibenarkan sebagai akibat dari “ketiadaan” nilai-nilai equality (kesetaraan), pembagian peran yang jauh dari kata sportif dan melestarikan doktrin yang berbunyi lanang (jawa; ala tapi wenang). Disini, sesunggunhya seorang istri sedang di eliminasi hak-haknya oleh suami. Meski demikian, ada pula masyarakat (perempuan) yang setuju dengan pendapat tersebut.

Ada banyak hal yang sebenarnya sebaiknya dilakukan oleh seorang suami terhadap istrinya dalam membina hubungan rumah tangga sebagai upaya untuk mencapai keluarga yang rukun (setara), harmonis (menghindarai kekerasan) sehingga impian semua orang dapat tercapai; menikmati keluarga yang sakinah, mawaddahdan warahmah. 

Salah satu perbuatan yang dapat dilakukan, menurut Rizem Aizid penulis buku menjadi suami yang melengkapi kekurangan istriadalahdengan cara membangun kesepahaman dan kebersamaan dengan pasangan untuk bersedia saling melengkapi yaitu berusaha terus-menerus melakukan yang terbaik dan bertindak serta bersikap yang berafiliasi/bernuansa dengan nilai-nilai kesalehan, sebagaimana salah satu ajaran kitab suci Al-Qur’an bahwa sesungguhnya istri adalah pakaian suami dan suami adalah pakaian istri.

Sebagai pasangan yang saling melengkapi, sesungguhnya hal ini bukanlah pekerjaan yang ringan, karena keduanya pastilah dituntut akan tugas dan tanggung jawab yang setara; yakni saling menjaga, mengingatkan, menguatkan, mengayomi, dan melindungi pasangan serta mensuguhkan perilaku-perilaku lain yang mencerminkan akhlaqul karimah (perilaku mulia). 

Satu alasan paling terkenal kenapa suami/istri harus saling melengkapi karena manusia adalah makhluk sosial (cenderung) “lemah” yang selama ini dikonotasikan hanya dimiliki oleh satu jenis kelamin saja yaitu perempuan/istri.

Dan, hanya karena faktor konstruksi budaya-lah sebagai salah satu penyumbang anggapan tersebut, menjadikan perempuan relatif tidak memiliki posisi tawar dibanding laki-laki di tengah kehidupan bermasyarakat.

Dalam pandangan saya yang tengah mengalami menjadi suami, sebenarnya baik istri maupun suami sifatnya berkait kelindan atau dalam bahasa sehari-hari biasa dimaknai saling terhubung. 

Oleh karenanya, salah satu hal yang relevan dilakukan dalam rumah tangga adalah melakukan pembicaraan dan diskusi atau yang sering disebut musyawarah. Lebih dari itu sebenarnya musyawarah merupakan ajaran mulia turun menurun yang tampaknya saat ini mulai tergerus keberadaannya.

Dalam kaca mata saya, musyawarah saat ini adalah cara terbaik yang dapat dilakukan oleh suami/istri sebagai suatu proses melakukan tukar menukar ide gagasan guna memperoleh jalan keluar elegan/bijaksana tanpa merasa ada yang tersakiti atau dikalahkan. 

Dengan cara ini sangatlah dimungkinkan baik suami/istri di minta untuk dapat memahami, menemukan dengan sendirinya peran tanggung jawabnya masing-masing. Wallahu ‘alam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun