Adanya proyek hulu migas diharapkan dapat melibatkan badan usaha milik daerah (BUMD) dan perusahaan swasta daerah untuk mendapatkan pekerjaan sesuai kemampuan masing-masing.
Sedangkan secara tidak langsungnya, industri hulu migas akan berdampak juga pada sektor transportasi, industri hilir (terciptanya bisnis penyedia barang dan jasa lokal, serta penyerapan tenaga kerja lokal), informasi, teknologi, dan adanya tanggung jawab sosial.
Sedangkan dampak induksinya akan dirasakan di sektor utilitas (fasilitas penunjang operasi migas dapat digunakan oleh masyarakat, adanya pasokan gas untuk kelistrikan daerah, bahan bakar industri, dan bahan baku industri turunan), infrastruktur (perbaikan sarana jalan), keamanan nasional, dan lainnya.
Adanya industri hulu migas di suatu daerah juga turut menopang pertumbuhan ekonomi daerah tersebut. Salah satu contohnya, Proyek Lapangan Banyu Urip, Blok Cepu memberikan kontribusi hingga Rp2,18 triliun untuk Bojonegoro yang mencakup vendor lokal, tenaga kerja lokal, material lokal, dan lainnya.
Pembangunan fasilitas produksi Blok Cepu ini melibatkan lebih dari 18.000 pekerja dan 460 sub kontraktor, proyek ini juga mendorong tumbuhnya jasa pendukung seperti hotel, rumah makan, transportasi, dan rumah kontrakan. Mengacu data BPS, proyek ini juga berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi lokal di Bojonegoro, dengan contoh 19,47 persen di 2015.
Capaian TKDN
SKK Migas berhasil meningkatkan persentase Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) dari kegiatan hulu migas secara keseluruhan. Capaian komitmen TKDN mencapai 58% (cost basis), melebihi target TKDN hulu migas 2021 sebesar 57%. Capaian tersebut dengan nilai investasi mencapai lebih dari US$ 10 miliar, maka akan ada US$ 5,7 miliar atau setara Rp 68 triliun yang menggerakkan industri nasional (laman berita SKK Migas, 16/7/2021).
Keberpihakan hulu migas diwujudkan oleh peraturan SKK Migas yang tender dengan nilai sampai dengan Rp 10 Miliar hanya dapat diikuti oleh penyedia barang/jasa yang berdomisili di provinsi daerah operasi Kontraktor KKS.
Energi Baru dan TerbarukanÂ
Dalam PP 79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional, pemerintah menargetkan meningkatkan bauran energi baru dan terbarukan (EBT) menjadi 23 persen pada 2025. Sementara itu porsi bauran energi minyak bumi menjadi 25 persen dari 34,38 persen dari 2020 dan energi gas bumi menjadi 22 persen dari 19,36 persen. Pemerintah juga mendorong pemakaian EBT mencapai netral karbon pada 2060 mendatang. Hal ini tak lain sebagai upaya pengurangan emisi karbon untuk mengurangi dampak perubahan iklim.
Selain mengembangkan pembangkit listrik berbasis EBT, transisi energi lainnya yang tengah digencarkan yaitu penggunaan kendaraan listrik. Dengan menggunakan kendaraan listrik, maka nantinya diproyeksikan bakal menekan konsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM) yang kini masih dominan impor dan membebani keuangan negara.
Namun demikian, mantan Kepala SKK Migas Rubi Rubiandini berpandangan bahwa transisi EBT yang saat ini didorong pemerintah tidak akan pernah bisa menggantikan posisi energi dari migas sebagai sumber energi primer di Indonesia. Menurutnya, EBT merupakan upaya untuk saling melengkapi, bukannya mengganti.