[caption caption="Ilustrasi I www.konfrontasi.com"][/caption]
Di masa menjelang pilkada atau pilpres, banyak hasil-hasil survey dari berbagai lembaga survey bermunculan. Yang unik tapi bisa diduga, hasil surveynya banyak yang bikin geli dan ketawa ngakak. Lembaga survey A dan B bilang calon A unggul, lembaga survey C dan D bilang calon B yang unggul, lembaga survey E dan F malah bilang calon C yang unggul.
Kita Gak usah lihat dan lirik angka-angka survey yang mereka rilis, mending lihat saldo rekening bank atau saldo hutang di warung, supaya hidup jadi lebih bersemangat untuk membuat hidup lebih hidup dan lebih indah. Dewasa ini, hidup kita udah banyak urusan dan bikin pusing, ngapain nambah urusan dan pusing dengan angka-angka prosentase yang mereka klaim berdasarkan data valid dan metodologi ilmiah.
Yang perlu kita tahu dan lihat, survey itu lebih pro ke calon yang mana? Berapa honor lembaga survey tersebut? Apakah uang untuk bayar honor didapat dari sumbangan atau dana pribadi? Dilaporkan tidak di SPT? Ikut Tax Amnesty gak kemarin? Kita harus belajar lebih kritis lagi, kita harus bertanya ke para calon tersebut, misal ke calon gubernur DKI Jakarta "Ikut pilgub DKI Jakarta kan butuh dana ratusan miliar untuk sosialisasi, kampanye, dangdutan, nasi bungkus, fee buzzer dll, itu uang siapa? Kan semua calon kompak ngaku pada gak punya uang."
Saat ini sedang ramai berita tentang pasangan calon gubernur DKI Jakarta Ahok-Djarot yang masih menduduki posisi teratas hasil survey di LSI Denny JA, Median dan Populi Center, tapi elektabilitas pasangan ini terus menurun, sementara elektabilitas pasangan Anies-Sandiaga dan Agus-Sylviana terus naik. Ini maksudnya jelas bahwa nanti saat H-1, hasil surveynya saya prediksi yang posisi teratas adalah pasangan Agus-Sylviana, pasangan Ahok-Djarot terlewati elektabilitasnya. Kenapa bisa terlewati? Karena surveynya bukan di Glodok atau di Kelapa Gading, coba surveynya di Glodok atau Kelapa Gading, pasangan Ahok-Djarot elektabilitasnya pasti naik terus.
Ini beberapa alasan ilmiah dan non ilmiah mengapa kita tak usah percaya dengan hasil survey dari lembaga survey :
1. Lembaga survey bekerja berdasarkan pesanan, sehingga hasil kerjanya tidak akan menggambarkan hasil objektif, tetapi subjektif yang menguntungkan atau membagus-baguskan pemesannya.
2. Lokasi survey sangat menentukan hasil survey, salah pilih lokasi maka salah kesimpulan hasil survey.
[caption caption="instagram"]
Seperti contoh di atas, jika survey dilakukan di Glodok dan Kelapa Gading maka elektabilitas Ahok-Djarot akan melebihi 80%. Jika dilakukan di majelis taklim ibu-ibu pengajian, maka elektabilitas Agus-Sylviana yang gantengnya selangit akan melebihi 80%. Jika dilakukan di kampung Arab, maka Anies-Sandiaga yang elektabilitasnya paling tinggi. Nah udah jelas kan teman-teman?
3. Hasil survey hanya prediksi, waktu yang membuktikan. Saya sejak sekolah dan kuliah, selalu tidak pernah masuk 3 besar jika disurvey berdasar kegantengan, tetapi faktanya perempuan-perempuan yang paling cantik di sekolah atau di kampus pada berlomba lomba ngejar ngejar saya.
4. Musyrik
Jika kita percaya hasil survey dan menjadikan lembaga survey sebagai Tuhan atau nabi, maka kita akan digolongkan ke dalam kelompok orang musyrik dan neraka siap menanti kita di hari akhir nanti.
Yuk, daripada kita memperhatikan cape-cape angka-angka dalam hasil survey yang sebenarnya adalah angka rekayasa, mending kita bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga sehingga bisa menabung banyak dan mata kita senang melihat deretan angka-angka lebih dari 6 digit di rekening tabungan, dengan prosentase kenaikan perbulannya melebihi prosentase elektabilitas Ahok, Agus maupun Anies.
Salam sayang,
Cuker
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H