Mohon tunggu...
Cucu Sombo
Cucu Sombo Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Cukuplah bagi pecinta untuk mencinta Sang Terkasih.....

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Maya dalam Kesemuan

21 Februari 2012   03:06 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:24 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sering terjadi kerelativan pada persepsi yang diawali dengan indra. Dikatakan bahwa Tuhan menciptakan indra manusia dengan kemampuan yang sangat terbatas. Mata misalnya tidak akan dapat melihat apa yang berada di balik tembok walaupun jaraknya sudah sangat teramat dekat. Namun pikiran manusia yang tidak nampak mampu membayangkan walau dengan keadaan samar. Proses pemberian makna terhadap suatu benda sering kali berbeda diantara berbagai individu. Persepsi tentang cantik misalnya, saat kita berjalan dengan temen kita, kita lihat wanita dengan kulit putih rambut panjang lurus terurai, tinggi semampai sehingga kita bisa menyimpulkan wanita itu adalah cantik. Berbeda dari teman kita beranggapan bahwa yang disebut wanita cantik adalah yang berjilbab. Jilbab menjadikan aura cantik wanita keluar sehingga wanita yang biasa menjadi tampak cantik. Rasa sakit misalnya, ada orang yang ketika kakinya menyinjak paku langsung menggerang kesakitan. Sedang kita sering melihat di tayangan televisi seorang Limbat yang terlihat tidak sakit dengan berbagai aksi yang membahayakan dan menyakitkan menurut sebagian yang lain.

Terkadang terjadi kelompok kesepakatan dalam persepsi. Dalam cantik misalnya, ada suatau kelompok yang menyatakan kriteria cantiknya dalam sebuah kesamaan. Cantik adalah yang putih kulitnya. Ada yang mengatakan “sangat cantik”, “cantik”, “lumayan”, kata-kata tersebut masih bisa digolongkan dalam satu kelompok persepsi. Maka hukum persepsi menjadikan kelompok yang terbanyak anggotanya sebagai persepsi yang benar. Ada pula dalam suatu persepsi terjadi kesepakatan secara menyeluruh bahwa yang dikatan warna “ini“ adalah “itu”. Warga sedunia sepakat bahwa yang dikatakan oleh bangsa melayu sebagai “putih” sama dengan dikatakan bangsa barat dengan “white” serta sama dengan apa yang dikatakan orang timur tengah dengan “abyadl”. Dengan kesepakatan tersebut, lantas apakah memang sama bahwa yang disebut putih adalah “itu”. Apakah benar bahwa putih adalah warna bendera Indonesia selain merah? Apakah putih yang saya lihat sama dengan putih yang anda lihat? Mungkinkah putih menurut saya adalah warna hijau yang saya sepakati sebagai warna putih dan warna merah yang anda sepakati sebagai warna putih padahal putih itu sendiri adalah biru yang karena kita memandangnya dengan indra yang berbeda maka menghasilkan persepsi yang cenderung sama yaitu putih?

Wallahu a’lamu adalah jawaban yang tepat untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas karena memang alam dunia yang tampak oleh indra adalah suatu yang tidak nyata. Mungkin memang benar pendapat Plato bahwa yang nyata adalah suatau yang tidak nampak dan kita yakini kebenarannya. Nyata adalah apa yang terselubung di dalam suatau yang tidak tampak dan menggerakkan yang tampak. Dalam novelnya Hamka menulis “jangan menilai sesuatu dari apa yang tampak, mak. Sesuatu yang tampak berasal dari yang tak tampak. Apa yang ada pada diriku sekarang juga berada dari Yang Tak Tampak yaitu Allah. Dan anugrah terbesar yang pernah Dia berikan kepadaku adalah kasih saying seorang ibu”. Mungkin sejalan dengan Plato, Hamka berusaha menyampaikan bahwa yang bisa disebut nyata adalah Tuhan.

Perkembangan teknologi digital telah membawa fantasi manusia menembus batas, menciptakan ruang-ruang tiga dimensi berikut obyek-obyek di dalamnya, sampai pada tahap di mana realitas visual telah dilampaui dengan manipulasi pencitraan visual, sehingga seolah manusia melangkah dari dunia yang disebut nyata menuju dunia fantasi, dunia maya yang benar-benar tidak nyata menjadi tampak nyata. Dunia virtual menjadi pelarian dari dunia bukan virtual yang menjadi tempat hidup. Dunia virtual menyuguhkan pandangan yang elok yang fantastis yang menyenangkan yang mungkin merujuk pada dunia non virtual. Dunia virtual menghilangkan batasan indrawi sehingga benda-benda yang dulunya di dunia non virtual tidak mampu dilihat menjadi dapat tertangkap oleh panca indra. Dunia virtual menjadi incaran dan pelarian. Berbagai wahana virtual dan pandangan 3 dimensi berbondong-bondong dikunjungi. Dunia virtual yang sebenarnya bersumber dari benda yang dibuat sendiri oleh manusia dipuja dan dijadikan menjadi hal nyata. Memang benar kata Baudrillard bahwa individu akan terserap ke dalam logika obyek. Individu dengan eksistensi yang didefinisikan berdasarkan kepemilikan obyek menjadi sasaran pasif bagi obyek itu sendiri. Dan akhirnya manusia di atur oleh sistem yang diciptkan oleh obyek.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun