Bukan apa-apa, si tetangga dan istrinya itu lebih telaten mengurus anak. Meski mereka tidak memiliki anak kandung sendiri.
Jadi, saya berpikir, lebih baik menjenguk ke si tetangga beramai-ramai bersama anak-anak saya dan suami. Apalagi ia dan istrinya sayang banget dengan anak saya yang pertama. Mungkin karena diurus dari bayi.
Setiap kali ia punya makanan/minuman yang agak istimewa, mainan/suvenir, suka ketuk-ketuk pintu rumah, ngasih untuk anak saya. Terkadang meminta anak sulung saya mampir ke rumahnya untuk makan di sana.
Anak saya yang pertama sekarang sudah SMP kelas 7. Sejak SD memang sudah tidak dititip lagi di rumah tetangga karena pulang sekolah sudah sore. Biasanya hanya mampir main saja sesekali.
Hanya Menyisakan Penyesalan
Selasa pagi, saat matahari juga belum sepenuhnya bersinar, tiba-tiba sewaktu saya keluar rumah untuk membeli sarapan, ada salah satu kerabat si tetangga yang bergumam, "Atuk, atuknya, meninggal," sambil menunjuk-nujuk ke dalam rumah.
Seketika saya langsung lemas. Rasa sesal langsung hadir. Tangis juga langsung merebak. Kata seandainya, seharusnya, kalau tahu begini, kalau tahu begitu, langsung bermunculan di kepala.
Jangan Ditunda karena Hal Sepele
Terkadang saat mendengar kabar ada saudara, teman, atau tetangga sakit kita tidak serta merta langsung menjenguk. Ada kalanya menunggu teman atau saudara yang lain siap dulu karena tidak mau menjenguk sendirian. Atau menunda satu dua hari karena mungkin ada kesibukan lain.
Bila benar-benar tidak memungkinkan menjenguk saat itu juga sebenarnya tidak masalah. Namanya juga orang sakit, mendadak, sehingga terkadang sudah ada hal yang jauh lebih penting yang harus kita lakukan dan sudah direncanakan jauh-jauh hari. Atau mungkin kita sedang di luar kota, tidak memungkinkan untuk segera menjenguk.
Namun, bila alasannya karena hal sepele, jangan. Kita tidak tahu kondisi si sakit ke depannya akan seperti apa. Bisa jadi terlihat baik-baik saja, tetapi kenyataannya tidak.Â