Hari sudah gulita. Tanggal bahkan sudah akan nyaris berganti. Namun, suasana pabrik pembuat plastik kemasan di salah satu kawasan industri di Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau, masih terlihat ramai. Para pekerja sibuk berkutat mengerjakan tugas masing-masing.
Siang dan malam seolah tak ada beda. Para operator di bagian produksi bahu-membahu merampungkan pekerjaan yang menjadi tanggung jawab mereka hingga jam kerja usai dan berganti dengan rekan kerja lain yang berbeda shift.
Perusahaan pembuat plastik tersebut bukan satu-satunya korporasi di Batam yang beroperasi selama 24 jam penuh. Ada banyak perusahaan lain yang melakukan hal yang sama. Tidak ada angka pasti yang dipublikasikan, tetapi jumlahnya mungkin mencapai ratusan perusahaan.
Oleh karena itu, saat Hari Listrik Nasional yang diperingati setiap 27 Oktober, saya sempat bertanya-tanya dalam hati, tanpa listrik mumpuni, akankah Batam tetap menjadi kota industri seperti saat ini?
Sempat Tumbuh Tanpa Listrik
Sebelum Pertamina yang kala itu dipimpin Ibnu Sutowo membuat pembangkit listrik secara bertahap di Sekupang dan Batuampar, Pulau Batam sempat tumbuh tanpa listrik.
Berdasarkan buku "Mengungkap Fakta Pembangunan Batam" yang dirilis oleh Badan Pengusahaan (BP) Batam, masyarakat Batam sebelumnya masih menggunakan lampu minyak dan diesel milik perseorangan sebagai penerangan di malam hari.
Listrik baru mulai dinikmati di Pulau Batam pada tahun 1970-an. Saat Otorita Batam (kini BP Batam) dibentuk untuk membangun pulau yang berseberangan dengan Singapura tersebut sebagai daerah industri.
Namun sayangnya, karena pasokan listrik yang terbatas, saat itu hanya sekitar 4.000 kVa, pada tahun 1970-an listrik hanya dialirkan ke fasilitas-fasilitas milik Otorita Batam. Masyarakat umum tetap harus menggunakan lampu minyak atau mesin diesel untuk penerangan di malam hari.
Bagaimana Kondisi Masyarakat Batam Sebelum Ada Listrik?