Mohon tunggu...
Cucum Suminar
Cucum Suminar Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Kompasianer

Belajar dari menulis dan membaca. Twitter: @cu2m_suminar

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Raja Ali Haji, Pemersatu Bangsa melalui Bahasa

28 Februari 2022   16:58 Diperbarui: 28 Februari 2022   17:00 933
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tangkapan layar tayangan Belajar dari Rumah di TVRI, tokoh Raja Ali Haji.(KOMPAS.com/ALBERTUS)

Indonesia memiliki 718 bahasa daerah. Berdasarkan data yang dirilis kompas.com, hampir setiap daerah memiliki bahasa sendiri. Beberapa provinsi bahkan memiliki lebih dari satu bahasa daerah. Provinsi Sumatera Selatan misalnya, selain bahasa daerah Ogan, ada juga bahasa daerah Komering, Lematang hingga Kayu Agung.

Bahasa daerah di Kalimantan malah lebih banyak lagi. Bahasa daerah di Provinsi Kalimantan Barat ada Bakatik, Bukat, Galik (Golik), Kayaan, Punan, Ribun (Rihun) hingga Uud Danum (Ot Danum). Sementara di Provinsi Kalimantan Timur ada bahasa daerah Pasir (Paser), Punan Long Lamcin, Punan Merah, Segaai, Tunjung, Aoheng (Penihing), Bahau Diaq Lay, Bahau Ujoh Bilang, Bajau Pondong.

Begitu juga dengan Provinsi Papua yang beribu kota di Jayapura. Ada lebih dari 20 bahasa daerah di sana, mulai dari bahasa daerah Aabinomin, Abrap, Adagum (Citak Wagabus), Afilaup, Aframa, Arui-Mor, Asmat Bets Mbup, Asmat Unir Sirau, Asmat Waijens, Atam (Temma), hingga Dasigo, Dubu, Dani dan Duvle.

Pada satu sisi, banyaknya bahasa daerah merupakan kebanggaan tersendiri. Bahasa merupakan salah satu hasil budaya manusia. Cerminan kebudayaan suatu masyarakat.  Semakin banyak bahasa di suatu daerah, umumnya semakin kaya dan beragam budaya di daerah tersebut.

Namun, di sisi lain, banyaknya bahasa daerah juga berpotensi menjadi bumerang. Bahasa daerah yang begitu banyak dan beragam berpotensi menyebabkan kesulitan komunikasi antara suku yang satu dengan suku yang lain, daerah yang satu dengan yang lain. Ada kemungkinan juga mengakibatkan salah paham.

Apalagi bahasa daerah-bahasa daerah di Indonesia banyak yang homonim. Lafal dan ejaan sama, tetapi memiliki makna yang sangat berbeda. Kata "bujur" misalkan, dalam bahasa Karo berarti "terima kasih", tetapi dalam bahasa Sunda berarti (maaf) "pantat". Bila tidak paham, saat orang Karo mengatakan "bujur" dengan takzim kepada orang Sunda, bisa-bisa dianggap tidak sopan.

Selain banyak yang homonim, banyak juga kata dalam bahasa daerah di Indonesia yang homofon. Kata yang berlafal sama, tetapi memiliki ejaan dan makna yang berbeda. Contohnya "gedhang" dalam bahasa Jawa yang berarti "pisang", dan "gedang" dalam bahasa Sunda yang berarti "pepaya".

Jadi terbayang ada suami-istri yang berdebat gara-gara "gedhang" dan "gedang". Si suami yang berasal dari Jawa meminta si istri membelikan "gedhang". Namun, si istri yang berasal dari Sunda bukannya membelikan pisang seperti yang si suami maksud, tetapi ia malah membelikan pepaya.

Mujurnya, kita memiliki bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Sehingga, kita dapat berkomunikasi dengan saudara setanah air, dari Sabang hingga Merauke, tanpa terkendala bahasa. Kesalahpahaman yang mungkin terjadi seperti yang dicontohkan di atas dapat dihindari.

Raja Ali Haji, Bapak Bahasa Indonesia

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun