Memaafkan bukan perkara mudah. Terkadang menjadi hal terberat yang harus kita lakukan di dalam hidup ini. Terlebih bila orang yang harus kita maafkan tersebut terlalu zalim. Jahat. Kejam. Kesalahan yang ia lakukan kepada kita teramat fatal. Luka yang ia torehkan terlampau dalam.
Bukannya ingin memaafkan, terkadang kita malah ingin membalas dendam. Nyawa dibayar dengan nyawa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, gigi dengan gigi. Kejahatan dibalas dengan kejahatan. Meski orang itu sudah meminta maaf berkali-kali, sampai memohon, mengiba.
Menaruh dendam kepada orang yang pernah berbuat jahat kepada kita sangat manusiawi. Hampir semua manusia pernah merasakan keinginan untuk membalas dendam kepada orang yang pernah berbuat jahat kepadanya. Balas dendam merupakan bagian dari sifat alami manusia.
Namun, dalam Islam kita diarahkan untuk menjadi pribadi yang pemaaf. Apalagi sebagai manusia kita tidak pernah luput dari salah dan khilaf. Meski Islam mengenal hukum kisas, hukum pembalasan, tetapi bila ada umat muslim yang memilih untuk memaafkan dibanding menuntut balas, maka hak kisasnya tersebut akan menjadi penebus dosa. Hal tersebut seperti yang tercantum dalam Al Quran, Surat Al Ma'idah Ayat 45. Â
Selain Surat Al Ma'idah, ada banyak perintah Allah yang tercantum dalam Al Quran agar kita memaafkan kesalahan orang lain. Salah satunya seperti dalam Surat An-Nur:22. Pada ayat itu disebutkan, "...dan hendaklah mereka memberi maaf dan berlapang dada. Apakah kalian tidak ingin Allah mengampuni kalian? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
Tak hanya itu, Allah bahkan memerintahkan kita untuk membalas keburukan dan kesalahan orang lain dengan kebaikan. Perintah tersebut disampaikan melalui Q.S Fussilat:34-35. Allah juga menjanjikan ampunan dan surga bagi orang yang mampu menahan amarah dan memaafkan kesalahan orang lain, seperti yang tercantum dalam Q.S Ali Imran:133-134.
Anw, bila kita enggan memaafkan kesalahan orang lain, kita bisa menjadi mahluk Allah yang lebih buruk dari Firaun dan Iblis. Hal tersebut seperti yang tercantum dalam kitab an-Nawdir karya Syekh Syihabuddin Ahmad ibn Salamah al-Mishri al-Qulyubi asy-Syafi'i.
Padahal seperti yang kita tahu, Firaun dan iblis adalah dua mahluk Allah yang paling durhaka. Firaun mengaku-ngaku sebagai tuhan yang harus disembah, sementara iblis merupakan mahluk pembangkang. Tidak mau mengikuti perintah Allah hingga akhirnya terusir dari surga dan kelak akan menjadi penghuni abadi neraka.
Meminta Maaf dengan Tulus
Meski ada perintah dari Allah untuk memaafkan kezaliman dan kesalahan, memberi maaf itu bukan hal yang mudah. Butuh waktu, butuh upaya. Terkadang ada beberapa orang yang bisa memaafkan kesalahan dan kezaliman orang lain, tetapi tidak bisa melupakan. Forgiven, not forgotten.
Nah, agar kesalahan kita mudah dimaafkan (dan dilupakan) oleh orang lain, mintalah maaf dengan tulus. Bukan hanya terucap dibibir, tetapi juga terlihat dari perbuatan. Jangan ulangi kesalahan yang sama. Bila memungkinkan perbaiki kesalahan tersebut dengan memberi ganti rugi, atau mencoba berupaya memperbaikinya.
Terkadang, sebesar apapun kesalahan kita, bila terlihat sangat menyesal dan ada upaya untuk memperbaiki kesalahan tersebut, orang akan lebih respek. Lebih mudah memberi maaf. Terlebih bila kesalahan tersebut memang sesuatu hal yang tidak disengaja.
Maafkan, Kita akan Lebih Lega
Saat kita tidak sengaja melakukan kesalahan dan khilaf berbuat zalim, kita pasti ingin dimaafkan. Nah, begitu juga dengan orang lain. Jadi, saat ada orang lain meminta maaf, cobalah berlapang hati untuk memaafkan. Juga melupakan. Sebab, memaafkan dengan tulus juga berarti melupakan dan memberi orang tersebut kesempatan kedua.
Untuk kesalahan-kesalahan tertentu, dulu saya termasuk orang yang sulit memaafkan, apalagi melupakan. Saya bukan orang pendendam, tetapi untuk kesalahan-kesalahan tertentu yang dilakukan oleh orang lain, saya catat dalam hati. Tujuannya, agar tidak sakit hati dua kali.
Namun, ternyata saya pun sering melakukan kesalahan pada orang lain. Saat menyadari kesalahan tersebut, saya meminta maaf, dan ingin dimaafkan dengan tulus, tanpa syarat, tanpa tapi. Dan, diberi maaf atas kesalahan yang besar dan lumayan fatal itu ternyata sangat membahagiakan. Itu makanya, sekarang saya selalu berupaya memaafkan dan melupakan kesalahan orang lain. Sebesar apapun itu.
Tak Harus Saat Idulfitri
Idulfitri merupakan momen untuk meminta maaf dan memaafkan kesalahan yang dilakukan. Apalagi saat Idulfitri biasanya suasana hati setiap orang lebih hangat, lebih bahagia. Terlebih selama satu bulan penuh kita juga lebih intens beribadah. Sehingga, saat dimintai maaf biasanya lebih mudah untuk memaafkan.
Namun sebenarnya, meminta maaf itu tidak harus menunggu Idulfitri. Meminta maaf harus dilakukan secepatnya. Tidak menunda-nunda. Apalagi dosa yang dilakukan kepada sesama manusia itu tidak bisa diampuni dengan salat, puasa, sedekah dan istigfar. Kita harus meminta maaf kepada orangnya langsung.
"Siapa yang merasa pernah berbuat aniaya kepada saudaranya, baik berupa kehormatan badan dan harta atau lain-lainnya, hendaknya segera meminta halal dan maafnya sekarang juga, sebelum datang suatu hari yang tiada manfaatnya harta dan dinar atau dirham. Jika ia punya amal shalih, akan diambil menurut penganiayaannya, dan jika tidak mempunyai hasanat (kebaikan), maka diambilkan dari kejahatan orang yang dianiaya untuk ditanggungkan kepadanya." (HR Bukhori Muslim).
Â
Selamat Idulfitri.Â
Mohon maaf untuk semua kesalahan, baik yang dilakukan secara lisan, tulisan, maupun perbuatan.
Â
Salam Kompasiana! (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H