Saya selalu rindu dengan suasana Idulfitri. Suasana lebaran. Setiap kali hari kemenangan umat muslim tersebut tiba, selalu ada kemeriahan khas yang tidak bisa didapatkan di hari lain. Suasana terasa lebih semarak, orang-orang di sekitar juga terlihat lebih hangat.
Dulu sebelum menikah, satu hari sebelum Idulfitri saya dan mama biasanya sibuk memasak. Kami membuat gulai, semur daging, opor ayam, serundeng buncis, sambal goreng kentang dan ketupat. Biasanya kami membuat agak banyak. Sebagian kami makan sendiri dan dibagi ke kerabat dan tetangga terdekat, sebagian kami bawa ke masjid dekat rumah.
Setiap malam menjelang Idulfitri, banyak bapak-bapak dan anak laki-laki di sekitar rumah yang menghabiskan waktu di masjid. Mereka biasanya bertakbir, menabuh beduk hingga bershalawat. Sehingga, suasana Idulfitri terasa sangat semarak. Terasa begitu haru dan syahdu.
Meski tidak diminta, banyak ibu-ibu di sekitar rumah yang menyisihkan masakan Idulfitri untuk disedekahkan ke masjid. Biar bapak-bapak dan anak laki-laki yang bertakbir semalaman terjamin makanannya. Tidak kelaparan atau harus repot membawa bekal dari rumah.
Kami mengenakan pakaian terbaik. Bukan, bukan ingin pamer. Hanya sebagai bentuk menghargai Hari Raya Idulfitri. Hari kemenangan. Biar terasa berbeda dibanding hari lain. Apalagi kami dulu sering pulang kampung, terkadang satu minggu sekali, terkadang dua minggu sekali. Tergantung sempatnya.
Biasanya saat mudik Idulfitri kami membawa kue-kue kering yang dikemas cantik di dalam toples. Bingkisan pakaian, mukena, sarung, bahkan uang tunai, sudah diserahkan beberapa minggu sebelumnya. Biar saat Idulfitri bisa langsung dikenakan, bisa dimanfaatkan oleh kakek dan nenek.
Setelah menikah dan pindah dari Bogor ke Batam, Kepulauan Riau. Saya tetap bisa merasakan kemeriahan Idulfitri. Kakek-nenek suami yang tinggal di Pulau Belakangpadang, Batam, memiliki tradisi yang hampir sama dengan tradisi keluarga besar saya.
Pada hari pertama Idulfitri, setelah salat id berjamaah, kami berkumpul bersama, berdoa. Setelah itu saling bermaafan dan makan bersama. Setiap dari kami mengenakan pakaian terbaik. Bukan, bukan bermaksud riya, tetapi lebih kepada menghargai Hari Raya Idulfitri. Apalagi di hari kemenangan ini memang disunahkan untuk mengenakan pakaian terbaik dan wewangian.
Lebaran dalam Suasana Berbeda
Idulfitri 2020 lalu, saya dan suami tidak mudik. Saya dan suami merayakan Idulfitri di rumah. Kami tidak membeli kue, tidak memasak daging, tidak juga membeli baju baru. Saat itu, kami berpikir untuk apa membeli kue, tidak akan ada yang bertamu. Efek pandemi Covid-19, orang lebih banyak menghabiskan waktu di rumah.
Kalau tidak memasak aneka masakan khas lebaran, itu karena saya tidak jago memasak. Saat itu saya berpikir, daripada hanya dapat lelah, tetapi rasa masakannya tidak karuan, lebih baik saya memasak makanan lain.
Namun, ternyata merayakan Idulfitri tanpa kue, tanpa baju baru, tanpa aneka olahan khas lebaran sangat berbeda. Lebaran terasa hambar. Tidak lagi terasa meriah dan semarak. Idulfitri terasa seperti hari biasa. Sedih rasanya.
Beli bumbu halus alami yang banyak dijual di pasar tradisional. Tinggal bilang mau bikin gulai, rendang atau opor. Sama enaknya. Biar rasanya pas, nanti penjual bumbunya diberi tahu untuk daging ayam berapa kilo, atau daging sapi berapa kilo, agart takaran bumbunya pas.
Hal yang paling penting, tidak memaksakan diri dan tidak berlebihan. Salam Kompasiana! (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H