Children have never been very good at listening to their elders, but they have never failed to imitate them. (James Baldwin)
Ibadah apapun, termasuk ibadah di Bulan Ramadan, sebenarnya tidak harus diajarkan dan diperkenalkan secara khusus kepada anak. Cukup kita sebagai orang tua melakukannya dengan sepenuh hati, nanti anak akan ikut sendiri.
Benar, kata James Baldwin yang saya kutip di paragraf pembuka, anak-anak mungkin tidak ahli mendengarkan petuah dari orang yang lebih tua, tetapi anak-anak tidak pernah gagal meniru perilaku mereka.
Anak Itu Meniru Orang Tua
Anak sulung saya suka ikut sahur sejak usia dua tahun. Ia bangun begitu saja tanpa saya bangunkan. Melihat saya dan suami makan, ia juga minta ikut makan. Kalau ikut-ikutan berpuasa sejak usia tiga tahun. Namun, ya gitu. Puasa main-main. Kalau lapar dan haus dia makan dan minum, habis itu dia katanya puasa lagi. Lapar dan haus, makan dan minum lagi, nanti dia puasa lagi. Begitu terus hehe.
Terkadang hari ini berpuasa satu hari penuh, besoknya berpuasa hingga adzan dzuhur atau ashar. Lusanya berpuasa lagi satu hari penuh, besoknya berpuasa hanya setengah hari. Semampunya saja. Begitu terus. Â Ia mulai berpuasa satu hari penuh selama satu bulan saat duduk di kelas satu SD.
Awalnya saya tidak mengajarkan anak sulung saya untuk berpuasa. Tidak juga memintanya untuk berpuasa. Ia ikut-ikutan berpuasa begitu saja. Namun secara bertahap, setelah anak saya dinilai cukup paham, saya mulai menjelaskan kalau berpuasa itu harus begini, harus begitu, tidak boleh begini, tidak boleh begitu.
Saat salat tarawih, Idulfitri, Iduladha pun demikian, awalnya saat usianya masih terlalu kecil hanya duduk di samping saya. Kebetulan untuk ketiga salat tersebut saya biasanya salat di masjid dekat rumah. Apalagi sebelum pandemi Covid-19. Setelah usianya beranjak lebih besar, ia ikutan salat tanpa diminta.
Mengajari Melalui Buku
Saya biasanya mengajari anak konsep beribadah melalui cerita. Saya membacakan cerita anak yang bertema puasa, salat, sedekah atau ibadah lain. Biar seru biasanya saya pilih yang bergambar. Jadi selain bisa menikmati ceritanya, ia juga bisa melihat gambar-gambarnya yang lumayan seru.
Apalagi diluar waktu salat, saya juga kerap membantu anak menghapal bacaan salat. Saya beli buku bacaan salat berukuran kecil yang penuh gambar. Jadi bisa dibawa kemana-mana, dan anak saya juga suka membawa-bawa buku tersebut karena suka melihat gambarnya.
Belajar di Sekolah Islam Terpadu
Saya sadar ilmu agama saya sangat terbatas. Oleh karena itu, sejak TK anak sulung saya disekolahkan di sekolah Islam terpadu. Sekarang ia sudah kelas tiga SD. Alhamdulillah, bacaan salat sudah lancar, menunaikan salat wajib tidak harus disuruh lagi, membaca Al Quran sudah bisa walaupun masih jauh dari sempurna, hapalan Al Qurannya juga sudah lumayan banyak.
Menyekolahkan anak di sekolah Islam terpadu menurut saya sangat membantu anak mendalami ilmu agama. Sebab, selain diajarkan ilmu-ilmu umum, juga dibimbing ilmu agama seperti fiqih, aqidah, sejarah islam, tahsin, tahfidz, hingga Bahasa Arab.
Selain itu, salat wajib dan salat sunah juga dilatih dilaksanakan secara istiqomah. Mereka juga kerap mengadakan salat berjamaah dengan imam bergantian di antara siswa. Jadi mendidik anak percaya diri.
Dulu sebelum masuk TK, anak saya hanya bisa Surat Al Fatihah dan hanya mengenal huruf hijaiah. Setelah lulus TK sudah bisa baca Al Quran walaupun belum lancar. Sudah hapal lumayan banyak surat-surat Al Quran di Juz 30. Artikulasi membaca Al Qurannya juga bagus. Saya kalah jauh. Sekarang, sudah SD sudah lebih baik lagi. Meski tetap masih harus banyak belajar.
Kalau teman-teman Kompasianer, apa tipsnya mengajari anak belajar ilmu agama? Yuk, berbagi cerita di kolom komentar. Salam Kompasiana! (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H