Suara melengking dari arah belakang rumah membangunkan Bu Nurdiasih yang masih bergelung selimut berbulu. Lengkingan tersebut serta merta membuat mata ibu pemilik kostan itu tak lagi bisa terpejam. Padahal ia baru saja terlelap. Setelah semalaman tidak bisa tidur karena terlalu banyak menyesap kafein kala berbuka puasa.
Bu Nurdiasih menguap beberapa kali, merentangkan tangan, lalu turun dari tempat tidurnya. Usai mencuci muka dengan satu gayung air dingin dari keran, mengenakan hijab instan yang selalu terlipat rapi di atas nakas, ia bergegas ke halaman belakang. Ia ingin tahu ada ribut-ribut apa di sana.
Ini sarung saya!
Enak saja, ngaku-ngaku, ini sarung saya!
Saat Bu Nurdiasih sampai di halaman belakang, terlihat Ayana dan Annisa sedang berebut kain sarung kotak-kotak merah sambil berteriak satu sama lain. Tak ada yang mau mengalah. Dua penghuni kostan di kamar atas Bu Nurdiasih itu terlihat sama-sama ngotot mempertahankan ujung sarung yang mereka pegang.
Penghuni kostan lain hanya bergerombol di areal sekitar tiang jemuran yang berderet rapi. Beberapa ada yang berpura-pura merapikan pakaian yang sudah mereka cuci, sebagian ada yang hanya berdiri mematung, menonton tanpa tahu harus melakukan apa. Dari delapan orang penghuni kostan itu, tak ada yang berani mendekat untuk memisahkan.
"Ayana, Annisa, kalian kenapa?! Puasa-puasa begini malah ribut," teriak Bu Nurdiasih sambil bergegas memisahkan pertikaian mereka berdua.
"Ini Bu, Annisa tiba-tiba merebut sarung yang baru saya cuci," ujar Ayana.
"Itu sarung saya Bu, yang hilang satu bulan lalu saat dijemur," jelas Annisa.
"Enak saja ngaku-ngaku, ini sarung saya," timpal Ayana.
"Sudah, sudah! Berikan sarungnya pada saya, biar nanti kita selesaikan baik-baik," ucap Bu Nurdiasih sambil merebut sarung kotak-kotak itu dari tangan mereka berdua.