"Saya tidak membelinya, Bu, ini sarung yang diberikan ayah saya sebelum saya merantau ke Jakarta," jawab Annisa.
"Kamu bisa menghubungi ayah kamu untuk membuktikan bahwa sarung ini benar-benar diberikan oleh beliau?"
Annisa menggelang, "Ayah saya sudah meninggal tiga bulan lalu."
"Mungkin bisa minta tolong Ibu kamu untuk ikut menjelaskan."
"Ibu saya tidak tahu kalau Ayah memberikan sarung ini, Bu. Tidak pernah juga melihat sarung ini. Sarung ini dibeli Ayah sesaat sebelum saya berangkat ke Jakarta. Saat melihat sarung ini di toko dekat terminal, ayah langsung tertarik membelikan untuk saya. Katanya titip sarung ini, simpan baik-baik. Saat ke Jakarta kelak dan mampir menengok saya, ayah tidak perlu lagi repot mencari sarung."
Bu Nurdiasih lagi-lagi menghela napas berat.
"Lalu mengapa sarung ini bisa hilang?"
"Saya cuci Bu, lalu kemudian hilang. Sejak dibeli sarung ini tidak pernah dicuci, tidak pernah juga digunakan. Ayah tidak pernah sempat menjenguk saya karena keburu meninggal. Rencananya setelah sarung ini dicuci, mau saya gunakan untuk salat. Â Agar pahalanya mengalir ke Ayah," ujar Annisa setengah terisak.
"Begini Annisa, agak sulit ya membuktikan ini sarung siapa sebenarnya, apakah betul milik kamu atau malah milik Ayana. Bagaimana agar permasalahan ini tidak berlarut-larut, kita musnahkan saja sarung ini? Kita bakar? Toh hanya sebuah sarung, Jadi adil, kamu maupun Ayana tidak ada yang memiliki. Bagimana?"
"Jangan, Bu, jangan!" Teriak Annisa histeris, "daripada dimusnahkan, berikan saja pada Ayana. Saya Ikhlas. Bila dibakar, saya tidak bisa lagi melihat sarung kenangan dari Ayah. Namun, bila diberikan kepada Ayana, setidaknya saya masih bisa melihat saat sarung itu dijemur di belakang kostan. Selain itu, masih ada nilai manfaatnya. Insya Allah pahalanya akan tetap mengalir ke Ayah."
Tiba-tiba mata Bu Nurdiasih ikut berkaca-kaca, "Annisa simpan sarung ini baik-baik ya."