Lokasi bekas pengungsian warga Vietnam di Pulau Galang, Batam, Kepulauan Riau, digadang-gadang akan disulap menjadi rumah sakit khusus untuk penyakit menular, salah satunya corona yang saat ini sedang merebak.
Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto dan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono sudah meninjau langsung lokasi tersebut, Rabu (4/3). Lalu seperti apa gambaran lokasi eks penampungan para pengungsi yang sempat digunakan selama hampir dua dekade tersebut?
Jauh dari Pemukiman Penduduk
Wilayah Pulau Galang berbukit-bukit dan didominasi oleh lahan kosong yang ditumbuhi aneka pohon dan tanaman. Ada satu-dua bangunan di sisi kiri dan kanan jalan raya, tetapi umumnya hanya bangunan dari kayu yang tidak permanen.
Meski hanya memerlukan waktu tempuh sekitar 60 menit dari pusat Kota Batam, Pulau Galang nyaris seperti pulau kosong. Sudah ada penduduk yang tinggal di pulau tersebut, tetapi jumlahnya tidak signifikan.
Akses transportasi yang belum begitu memadai sepertinya membuat para pendatang tidak begitu antusias tinggal di pulau ini. Meski memiliki jalan yang sangat mulus dan lebar, tidak ada angkutan umum yang melintasi jalan ini, kecuali Trans Batam. Bus umum milik pemerintah Kota Batam. Itu pun jam operasionalnya masih sangat terbatas.
Selain itu, fasilitas umum juga masih minim. Nyaris tidak ada sekolah, apalagi rumah sakit. Ini mungkin efek status quo yang ditetapkan pemerintah pusat. Pulau Galang masih ditetapkan sebagai hutan konservasi. Lahan belum dapat dialokasikan untuk investasi sebagai penunjang perekonomian.
Fasilitas Lengkap, Mulai dari Rumah Sakit, Barak, hingga Pemakaman
Bila baru pertama kali berkunjung dan tidak pernah mengakses informasi terkait tempat wisata sejarah di Kota Batam, kita tak akan menyangka, di tengah Pulau Galang yang nyaris seperti hutan, ada sebuah lokasi penampungan para pengungsi yang memiliki fasilitas lengkap bak sebuah kota seluas 80 hektar.
Ada rumah, barak, tempat pelatihan, penjara, rumah sakit, rumah ibadah, hingga pemakaman.
Terlebih kamp penampungan tersebut memang tidak persis berada di jalan utama. Harus masuk sedikit ke jalan kecil. Bangunan-bangunan yang dibangun Pemerintah Indonesia dan UNHCR tersebut juga tidak terlihat langsung dari jalan. Hanya pemakaman yang terlihat jelas. Mungkin karena berada di atas bukit. Sehingga tidak tertutup pohon.
Bangunan-bangunan tersebut ada yang terlihat masih terawat dengan baik, tetapi lebih banyak yang terlihat nyaris ambruk. Mungkin karena dibiarkan kosong bertahun-tahun tanpa perawatan yang signifikan. Namun, untuk jalan masih terasa mulus dengan aspal hitam pekat. Sehingga kita lebih nyaman berkeliling dengan kendaraan.
Begitu juga dengan Vihara Quan Am Tu yang lokasinya tak jauh dari pintu masuk. Hingga kini vihara tersebut masih berfungsi dengan baik. Menurut petugas penjaga pintu masuk Vietnam Camp, vihara tersebut masih aktif digunakan. Banyak yang sengaja berkunjung ke vihara tersebut untuk berdoa.
Mereka umumnya meminta berkat dari Dewi Guang Shi Pu Sha. Dewi yang dipercaya dapat memberikan hoki, jodoh, keharmonisan keluarga, kepintaran, hingga mengabulkan harapan dan cita-cita.
Bangunan lain yang terlihat masih terawat dengan baik adalah rumah sakit eks-PMI. Saat saya berkunjung beberapa waktu lalu, bangunan tersebut masih kokoh berdiri. Catnya juga masih terlihat putih bersih. Jendela dan pintu juga masih terpasang dengan baik.
Sayang untuk beberapa bangunan ibadah dan fasilitas umum lain sudah banyak yang tidak terawat. Gereja protestan misalkan, sudah tidak lagi terlihat berbentuk gereja. Rumah ibadah tersebut nyaris roboh tergerus cuaca dan pepohonan yang tumbuh liar. Begitu juga dengan bangunan Barrack dan Youth Center.
Saat berkunjung beberapa waktu lalu, saya sempat mencari-cari surau di bekas penampungan para pengungsi tersebut. Sekadar ingin tahu seperti apa bentuk suraunya. Namun, setelah berkeliling-keliling tidak juga bertemu. Entah terlewat, entah sudah tidak ada lagi bangunannya.
Menurut salah satu penjaga pintu masuk Camp Vietnam, tempat pengungsian itu dulu tak hanya dihuni oleh para pengungsi yang beragam Katolik, Kristen, dan Buddha. Namun, ada juga yang beragama Islam.
Pengungsi yang beragam Islam, umumnya pengungsi dari Kamboja. Menurut petugas, Camp Vietnam ini dulu memang tak hanya ditinggali pengungsi dari Vietnam, tetapi juga para pengungsi dari Kamboja. Bedanya, para pengungsi dari Kamboja jumlahnya jauh lebih sedikit.
Selain itu, para pengungsi dari Kamboja tersebut sebelumnya lebih dulu ditampung di Jakarta sekitar satu tahun. Mereka tidak langsung ditempatkan di Pulau Galang. Itu makanya ada beberapa warga Kamboja yang lancar berbahasa Indonesia dan memeluk Agama Islam.
Sukses Dijadikan Tempat Isolasi
Selama ditampung di Vietnam Camp dari tahun 1979 hingga 1995, sekitar 250 pengungsi tidak diberi akses untuk berinteraksi dengan penduduk di luar pengungsian. Hal tersebut dilakukan untuk mempermudah pengawasan, penjagaan, dan pengaturan keamanan.
Selain itu juga untuk meminimalisasi penyebaran penyakit Vietnam Rose yang dibawa oleh para pengungsi. Saat itu, bila ada pengungsi yang mencoba melarikan diri, hukumannya adalah penjara.
Penjara yang digunakan adalah penjara khusus di tempat pengungsian. Ada beberapa ruangan yang dilengkapi dengan palang besi. Persis seperti ruang-ruang tahanan. Namun ruangan tersebut terlihat lebih kecil. Selain itu, bangunannya tidak sekokoh ruang tahanan betulan di lembaga pemasyarakatan.
Konon penjara tersebut dulu lumayan penuh terisi. Jumlah pengungsi yang cukup banyak, menimbulkan gesekan tersendiri.
Ada saja pengungsi "nakal" yang mencuri, membunuh, hingga memerkosa sesama pengungsi. Bahkan untuk mengenang salah satu pengungsi yang bunuh diri karena diperkosa sesama pengungsi, dibuat Humanity Statue, di sebuah taman yang tak jauh dari pintu masuk.
Berdasarkan lokasi dan fasilitas yang tersedia di Camp Vietnam sepertinya memang cocok dijadikan sebagai RS khusus untuk perawatan penyakit menular. Hanya saja sebagai warga Batam, kok saya rasanya sedih harus kehilangan salah satu lokasi wisata sejarah yang cukup banyak menarik wisatawan nusantara maupun mancanegara.
Setelah difungsikan sebagai rumah sakit, pasti tidak ada akses lagi bagi wisatawan untuk berkunjung melihat lokasi bersejarah yang menjadi salah satu bukti, bahwa Indonesia dulu begitu peduli dengan warga negara tetangga. Terlebih Batam tidak begitu banyak memiliki lokasi wisata sejarah. Salam Kompasiana! (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H