Kegiatan apa yang umumnya disenangi para lanjut usia? Jawabannya adalah mengobrol. Mereka umumnya sangat suka berbagi cerita, mulai dari cerita mengenai kegiatan sehari-hari hingga cerita saat beliau masih muda. Saat bercerita umumnya mata mereka bersinar-sinar penuh semangat.
Mungkin tidak semua orang lanjut usia seperti itu. Namun saya melihat "letupan" semangat seperti itu kala mengobrol dengan nenek maupun nenek mertua. Begitu juga saat saya mengobrol dengan mendiang buyut saya, kala beliau masih hidup. Meski fisik sudah terlihat ringkih, tetapi saat bercerita tetap penuh semangat.
Saya sangat suka mengobrol dengan para orangtua. Pasalnya, bercakap-cakap dengan mereka tidak hanya "ngalor-ngidul" membicarakan hal "unfaedah". Namun, justru banyak obrolan menarik yang dapat dipetik manfaatnya. Para lanjut usia umumnya senang bernostagia. Menceritakan berbagai hal sewaktu beliau masih muda.
Bagi mereka, mengobrol dengan saya mungkin hanya sekadar mengisi waktu luang, mengusir kebosanan, sambil mengingat-ingat kenangan menyenangkan di kala silam. Namun bagi saya, mengobrol dengan beliau-beliau itu seperti sedang "mengorek" ilmu yang tidak bisa di dapat secara formal.
Saya paling suka mengobrol dengan nenek mertua. Hal tersebut dikarenakan beliau memiliki pikiran yang "out of the box" pada masanya. Lumayan kreatif sih menurut saya. Apalagi selama mengobrol, beliau tidak pernah sekalipun menggurui. Betul-betul hanya bercerita, mengenang masa lalu.
Jangan Menyerah dengan Keadaan
Nenek mertua menikah pada usia 14 tahun dengan pria berusia 18 tahun. Pria tersebut (baca: kakek mertua) saat itu hanya pegawai (maaf, rendahan) di sebuah perusahaan minyak di Pulau Sambu, Batam, Kepulauan Riau. Saat masih memiliki satu hingga dua buah hati, gaji bulanan kakek mertua masih cukup untuk menutupi kebutuhan sehari-hari. Terlebih untuk rumah, listrik, air bersih sudah disediakan perusahaan.
Namun saat buah hati terus bertambah hingga sembilan orang, dengan jarak usia yang cukup berdekatan, nenek mertua bilang, gaji kakek mertua tak lagi cukup untuk menutupi kebutuhan selama satu bulan. Meski pengeluaran sudah dihemat sedemikian rupa, tetap tidak mencukupi.
Akhirnya nenek mertua "memutar" akal. Ia mencoba berjualan. Bila ada yang membawa hasil kebun, ia suka menawarkan diri untuk membantu menjual. Pintarnya ia tidak menjual sendiri. Ia biasanya jadi koordinator. Ia mengajak anak-anak muda yang tidak bekerja untuk menjual hasil kebun tersebut. Nanti bagi hasil. Sehingga ia tetap mendapat uang tambahan, tetapi tetap bisa mengerjakan pekerjaan lain.
Selain itu, ia juga belajar menjahit. Nah, agar orang-orang tahu ia pintar menjahit tanpa harus repot berpromosi, ia rutin menjahitkan baju untuk semua buah hati. Nanti saat si buah hati bermain, biasanya si teman bermain atau si ibu-ibunya "ngeh" dan bertanya, bajunya bagus, beli dimana? Nanti si anak akan bilang jahit sendiri. Setelah itu ada banyak yang meminta untuk dijahitkan pakaian.
Selain belajar menjahit, beliau juga belajar membuat kue dan memasak. Untuk menambah penghasilan, setiap minggu beliau membuat kue dan makanan ringan. Kue dan makanan ringan tersebut dititipkan untuk dijual ke pedagang lain yang berjualan di sekitar "bioskop" yang rutin memutar film terkini secara gratis untuk pegawai dan keluarga di perusahaan minyak tersebut.
Hasil dari menjual sayur-mayur, menjahit dan menjual kue, tidak beliau habiskan seluruhnya. Sebagian beliau tabung. Setelah terkumpul cukup banyak, uang tersebut dibelikan perahu. Perahu tersebut kemudian disewakan. Namun biaya sewa tak hanya berbentuk uang, tetapi juga berupa tangkapan hasil laut.
Penyewa harus membayar uang sewa perahu dengan nominal tertentu. Sebagai tambahan, penyewa juga harus membagi hasil tangkapan ikan yang didapat. Sehingga, nenek mertua bilang, uang hasil dari menyewakan perahu dapat ditabung atau digunakan untuk keperluan lain, sementara ikan dari bagi hasil dapat dimasak untuk seluruh keluarga.
Sehingga, asupan makanan untuk seluruh keluarga selalu enak dan bernutrisi. Tak ada cerita anak makan seadanya karena pendapatan suami yang terbatas. Beliau mengatakan, meski bukan dari kalangan berada, ia selalu mengupayakan memberi yang terbaik untuk si buah hati, terutama makanan, karena terkait tumbuh kembang anak. Â
Saat saya tanya apakah tidak repot harus mengerjakan banyak hal seperti itu? Beliau bilang memang harus mau repot. Bila tidak, masa depan anak yang akan menjadi taruhan. Beliau bilang, menjadi seorang ibu juga berarti harus siap untuk tidak berhenti untuk belajar. Belajar banyak hal, karena sesepele apapun yang kita pelajari suatu saat nanti pasti akan berguna.
"Menguatkan" Mental Si Buah Hati
Nenek mertua bilang, memiliki sembilan orang anak merupakan tantangan tersendiri. Pengeluaran luar biasa besar, terutama menjelang Idulfitri. Terlebih nenek mertua termasuk salah satu ibu yang membiasakan menyiapkan pakaian baru setiap kali hari raya umat muslim tersebut tiba.
Nenek mertua bilang, setelah ia pintar menjahit ia biasa menyiapkan pakaian lebaran untuk seluruh keluarga dengan menjahit sendiri. Paling ia berbelanja bahan pakaian. Namun, saat lebaran biasanya tak hanya baju baru yang disiapkan, "printilan" yang lain juga. Salah duanya adalah sepatu dan aksesories.
Saat anak-anak mulai besar, nenek mertua meminta mereka untuk membantu menjual ikan. Biasanya setiap anak mendapat jatah menjual satu piring ikan. Setelah ikan terjual, mereka akan mendapat upah. 25 persen dari upah tersebut dapat dibelanjakan apa saja oleh si buah hati, sisanya harus masuk celengan. Setiap anak akan mendapat satu celengan.
Celengan tersebut akan diisi selama satu tahun penuh dari upah menjual ikan. Beberapa hari menjelang lebaran celengan akan dibuka dan dihitung. Dari hasil uang celengan tersebut setiap anak berhak menentukan akan membeli apa untuk keperluan lebaran. Ada yang memilih membeli kalung mas, gelang, sepatu, dll.
Setelah itu nenek mertua biasanya berbelanja ke Singapura untuk membeli kebutuhan-kebutuhan tersebut. Anw, nenek mertua bukan sok gaya berbelanja kebutuhan ke negeri tetangga. Masalahnya saat itu Batam, Kepulauan Riau, belum seramai sekarang. Kebutuhan pokok masih sulit didapat.
Nenek mertua bilang, saat anak-anaknya mengumpulkan uang dengan berjualan ikan, tidak jarang mereka diledek teman-teman yang lain. Dibilang bau amis, hingga ledekan lain yang "memerahkan telinga". Namun nenek mertua selalu menguatkan si buah hati. Meminta mereka agar tidak mengambil hati ledekan tersebut.
Nenek mertua mengatakan, lebih baik mengabaikan perkataan dari teman-teman tersebut dibanding mengorbankan memiliki barang impian di kala lebaran. Apalagi beberapa waktu kemudian teman-teman yang meledek tersebut justru malah lebih senang berteman dengan anak-anaknya. Alasannya katanya sering disuguhi makanan enak saat bermain ke rumah nenek mertua.
Nenek mertua bilang, anak-anak "diberdayakan" menjual ikan agar mereka terbiasa berusaha untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Sehingga, mereka tidak asal meminta kepada orangtua. Selain itu mereka juga jadi belajar untuk menabung. Tidak menghambur-hamburkan uang untuk sesuatu yang tidak perlu. Atau gatal ingin membelanjakan uang setiap kali mendapat rezeki berlebih. Membeli sesuatu yang diinginkan itu ada saatnya. Ada usaha yang harus dilakukan.
Sebenarnya ada banyak pelajaran lain yang saya petik setiap kali mengobrol dengan nenek mertua. Salah satunya adalah menjadi ibu yang bahagia dan berdaya. Nenek mertua bilang, bila memungkinkan terkait dana dan waktu, tidak ada salahnya menikmati hidup dengan "traveling" sendirian ke kota lain. Dulu nenek mertua kerap jalan-jalan sendiri berkeliling Pulau Jawa. Katanya seru melihat sisi lain dari ciptaan yang maha kuasa. Ah, memang selalu menyenangkan mengobrol dengan beliau.
Kalau teman-teman Kompasianer, kegiatan apa yang paling disukai saat bertemu dengan anggota keluarga yang sudah sepuh? Mengobrol juga kah seperti saya? Salam Kompasiana! (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H