Mohon tunggu...
Cucum Suminar
Cucum Suminar Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Kompasianer

Belajar dari menulis dan membaca. Twitter: @cu2m_suminar

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Lakukan Tiga Hal Ini agar Pertanian Indonesia Maju

2 Mei 2019   14:44 Diperbarui: 2 Mei 2019   15:21 806
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Generasi penerus yang tak lagi tertarik berkarir di bidang pertanian. | Dokumentasi Pribadi

Saya ingin jadi polisi!

Hmm... jadi dokter.

Mau jadi guru.

Saat menanyakan profesi impian saat sudah dewasa kelak pada anak-anak, umumnya mereka menjawab seperti yang saya tuliskan di atas. Beberapa ada yang menjawab ingin menjadi pengusaha, ingin jadi chef, ada juga yang menjawab ingin menjadi presiden. Tak sedikit yang menjawab ingin menjadi youtuber.

Namun dari sekian banyak anak yang pernah saya tanya, tak ada satupun yang menjawab ingin menjadi petani. Padahal beberapa anak yang pernah saya ajak ngobrol-ngobrol ringan mengenai profesi yang ingin ditekuni setelah dewasa kelak, berasal dari desa, yang kiri-kanan tempat ia tinggal masih berupa persawahan. Miris? Iya! Namun kalau ditanya apakah kaget, tentu tidak.

Keluarga besar saya adalah petani. Turun-temurun mengelola persawahan di sebuah desa di Sukabumi, Jawa Barat. Sejak kecil kami sekeluarga sudah akrab dengan lumpur. Terbiasa bermain di pematang sawah. Tak heran melihat kerbau yang berjalan ke sana-kemari untuk menggemburkan tanah.

Namun apakah tertarik untuk menjadi petani? Tidak! Profesi petani di keluarga saya berakhir hingga nenek-kakek saya. Setelah generasi ibu dan ayah, beralih profesi ke bidang lain. Sawah yang kami miliki tetap dikelola, namun hasilnya lebih banyak untuk konsumsi pribadi. Jarang untuk dijual seperti leluhur kami dulu.

Biaya Tanam Semakin Mahal, Buruh Tani Semakin Jarang

Dulu saat swasembada beras ramai didengungkan, nenek saya bilang, hasil dari pertanian masih sangat bisa diandalkan. Nenek dan kakek saya, juga tetangga satu kampung, bisa berangkat ke tanah suci dengan menabung dari hasil penjualan pertanian. Padahal naik haji pada awal tahun 1970-an juga tidak murah, meski masih menggunakan kapal laut.

Generasi penerus yang tak lagi tertarik berkarir di bidang pertanian. | Dokumentasi Pribadi
Generasi penerus yang tak lagi tertarik berkarir di bidang pertanian. | Dokumentasi Pribadi
Kini bertani lebih banyak menyedot biaya karena beberapa komponen naik sangat drastis. Para petani harus lebih dalam merogoh kocek untuk membeli pupuk, pestisida, dan biaya buruh yang mengerjakan proses tanam dari benih hingga berbentuk untaian padi yang menguning.

Meski masih berbasis pertanian, kampung tempat saya lahir tak lagi menyisakan generasi muda yang hobi bertani. Tidak ada generasi milenial yang mau turun ke sawah menanam padi. Alhasil, semua proses dari awal hingga akhir, dikerjakan oleh buruh tani yang mulai sepuh yang jumlahnya juga semakin terbatas.

Generasi yang lebih muda, lebih memilih menjadi pekerja pabrik yang jumlahnya semakin banyak dan beragam. Apalagi pabrik-pabrik itu sudah menjamur sejak akhir 1990-an, merambah hingga pelosok desa. Tak hanya warga yang berijazah setara SMA yang direkrut, tetapi juga lulusan yang dibawahnya.

Mirisnya, setelah mengeluarkan biaya yang tidak sedikit, hasil yang didapat belum tentu sesuai harapan. Salah hitung masa tanam dapat menyebabkan hasil panen tidak maksimal. Apalagi masih banyak petani yang masih mengandalkan hitungan masa tanam secara kira-kira, hanya melihat fenomena alam. Padahal iklim tak lagi sekonsisten dulu.

Saya masih ingat obrol-obrol ringan dengan salah satu kerabat pada akhir 2017 silam. Saat membolak-balikan padi yang sedang dijemur di halaman belakang rumah, beliau mengeluhkan biaya produksi yang tidak sebanding dengan hasil yang didapatkan. Kerabat saya itu mengaku mengeluarkan biaya sekitar Rp5 juta untuk satu petak sawah.

Namun setelah dipanen, bila dikonversi ke rupiah, padi yang dihasilkan nilainya bahkan tidak sampai dari setengah modal yang sudah ia keluarkan. "Gagal" panen yang ia alami diakibatkan karena salah menghitung masa tanam. Padahal ia bilang, sudah menanyakan ke petani lain yang dinilai lebih kredibel terkait waktu tanam yang tepat.

Kerabat saya itu bilang, sebenarnya ia sudah lelah menjadi petani. Apalagi kejadian tersebut sudah dialami beberapa kali. Lebih baik uang yang ia miliki dialokasikan untuk keperluan lain. Terlebih uang dengan jumlah tersebut terbilang besar untuk nilai tukar di sebuah desa. Namun ia bilang, bila sawah yang ia miliki tidak ditanami padi khawatir jadi "garung", tidak lagi bisa untuk menanam padi bila lama tidak diberdayakan.

Kerabat saya itu memang harus berjuang sendiri mengelola sawah yang ia miliki. Sang suami sudah meninggal, sementara si anak semata wayang lebih memilih menjadi pegawai di salah satu perusahaan pembiayaan. Meski sebagian besar proses tanam dipercayakan kepada buruh tani, beberapa harus ia kerjakan sendiri untuk menekan biaya.

Salah satunya adalah menjemur gabah secara manual. Jujur menurut saya itu pekerjaan yang cukup berat, terutama bagi perempuan yang sudah sepuh. Waktu kecil saya sering ditugasi nenek saya menjaga padi yang sedang dijemur jangan sampai dimakan ayam atau burung. Ini saja sudah membosankan dan memberatkan.

Apalagi harus menghamparkan padi tipis-tipis di halaman rumah agar cepat kering, membolak-balikan padi, kemudian memasukannya kembali ke dalam karung. Bila gabah basah dibiarkan nanti bisa rusak. Beras yang dihasilkan bisa patah-patah kecil, berubah warna menjadi kuning, bahkan busuk.

"Membumikan" Teknologi Pertanian

Umumnya orang malas menekuni suatu profesi karena sistem kerja tidak efisien, berisiko besar, tetapi "imbalan" yang didapat tidak sebanding. Sudah susah payah bekerja, bukannya untung, malah "buntung". Sedihnya, bagi sebagian orang profesi petani masih dinilai seperti itu.

Padahal bila googling, membaca artikel, menonton dari channel youtube, pekerjaan seorang petani seharusnya tidak dinilai "seribet" itu. Ada banyak teknologi yang bisa dimanfaatkan untuk memudahkan para petani menanam padi hingga "menyulapnya" menjadi butiran beras yang bisa dikonsumsi.


Proses nandur misalkan, bisa menggunakan alat seperti traktor/mobil kecil yang memungkinkan bibit padi ditanam tanpa si petani harus bersentuhan dengan lumpur. Bibit padi disimpan dibagian belakang, kemudian mesin dijalankan oleh manusia, agar si bibit dapat ditanam satu persatu.


Begitu pula saat memanen, bisa menggunakan mesin otomatis yang memungkinkan proses panen lebih cepat dan efisien. Tidak ada lagi petani yang mengeluh sakit pinggang karena kebanyakan membungkuk memotong padi dengan ani-ani, atau sakit kedua lengan karena kebanyakan menghempas-hempaskan padi ke gerejag/gebotan.


Saat sudah menjadi gabah, petani tinggal memasukan gabah tersebut ke mesin pengering. Sehingga, tak perlu repot membolak-balik gabah yang masih basah dihalaman rumah. Gabah tinggal simpan di mesin pengering dan otomatis padi yang masih basah tersebut akan kering sendiri. Bahkan untuk beberapa mesin ada yang sudah otomatis langsung dimasukan ke dalam karung.

Namun sayangnya, teknologi pertanian tersebut seperti di awang-awang. Belum banyak petani yang memanfaatkan teknologi tersebut. Alasannya mungkin karena belum tahu, kalaupun sudah tahu mungkin jadi mundur teratur karena melihat harga yang harus dibayarkan juga tidak murah.

Pemerintah mungkin bisa memfasilitasi agar teknologi-teknologi tersebut dapat tejangkau oleh petani. Entah memberikan pinjaman lunak, memberikan bantuan satu desa --yang potensial untuk pertanian-- satu alat, atau memberdayakan insinyur dalam negeri untuk membuat alat tersebut yang harganya terjangkau oleh petani. Atau bila memungkinkan memanfaatkan dana desa yang digelontorkan pemerintah untuk membeli alat-alat tersebut.

Bila proses pertanian sudah canggih dan tidak lagi tradisional seperti saat ini, yakin deh akan banyak generasi muda yang tertarik berkarir di bidang pertanian. Apalagi dengan alat-alat tersebut juga proses pertanian menjadi lebih efisien dan efektif. Sehingga diharapkan, produksi pertanian menjadi lebih meningkat, kesejahteraan petani semakin baik.

Lulusan Pertanian Wajib Berkarir Sesuai Bidang

Coba perhatikan, hampir tidak ada lulusan kedokteran yang tidak menjadi dokter. Namun coba lihat, ada begitu banyak sarjana lulusan pertanian yang berkarir di bidang lain. Ada yang menjadi guru, jurnalis, humas, bankir, bahkan ada yang menjadi kepala cabang sebuah showroom.

Dokumentasi kompas.com
Dokumentasi kompas.com
Seharusnya, agar pertanian Indonesia maju, khusus untuk lulusan di bidang pertanian diperketat. Setelah lulus harus mengabdikan diri di bidang pertanian. Bila tidak mau, jangan mengambil jurusan di bidang pertanian. Kalaupun tidak memungkinkan seumur hidup mengabdi di bidang pertanian, setidaknya ada masa bakti beberapa tahun yang harus dipenuhi.

Aturan ini mungkin untuk tahap awal bisa diterapkan di perguruan tinggi negeri. Jangan menerima mahasiswa yang mendaftar di jurusan pertanian hanya karena asal masuk perguruan tinggi negeri. Setelah program ini berhasil di negeri, baru diterapkan di swasta. Nah, agar programnya terlihat menarik, beri beasiswa yang lebih banyak dibanding jurusan lain. Atau hal lain yang menjadi nilai tambah.

Bila "petani" yang berilmu mengabdikan diri, seharusnya pertanian di Indonesia menjadi lebih baik. Tidak ada lagi masa tanam dikira-kira. Semua proses pertanian dilakukan sesuai ilmu. Namun agar ilmu yang diterapkan selalu up to date, harus terus dilakukan pelatihan secara berkala.

Para sarjana lulusan pertanian ini bisa disebar di wilayah-wilayah yang potensi pertaniannya bagus. Tujuannya untuk membimbing para petani agar bertani dengan baik, efektif dan efisien. Dulu sepertinya ada PPL, petugas penyuluh lapangan, namun sepertinya perannya sekarang tak secemerlang dulu. PPL sepertinya sekarang bahkan sudah tidak ada lagi di desa nenek saya.

Bisa juga pemerintah mengalokasikan lahan untuk dikelola para sarjana pertanian. Setelah itu bagi hasil. Sebagian hasil penjualan pangan untuk pemerintah, sebagian untuk si pengelola. Dengan cara ini, bisa dilihat juga apa kendala yang terjadi saat produksi, bagaimana mengatasinya. Bila tidak memungkinkan kerjasama langsung dengan pemerintah pusat, bisa dijajaki dengan pemerintah daerah.

Lindungi Lahan Pertanian

Banyak lahan pertanian yang tergerus untuk keperluan lain, mulai dari tempat usaha, pemukiman, hingga sekolah/tempat belajar. Umumnya karena "berpindah tangan". Si pemilik menjual lahan tersebut karena berbagai alasan. Hal tersebut seperti yang terjadi di desa nenek saya tinggal. Tidak sedikit lahan pertanian yang dijual, kemudian beralih fungsi. Padahal, sayang lahan subur dialokasikan untuk kepentingan lain.

Lindungi lahan pertanian. | Dokumentasi Pribadi
Lindungi lahan pertanian. | Dokumentasi Pribadi
Bila memungkinkan, lindungi lahan pertanian seperti melindungi lahan kehutanan. Ada aturan yang tidak memperbolehkan alih fungsi dari lahan tersebut. Dijual boleh, namun harus tetap digunakan untuk lahan pertanian. Jangan sampai misalkan diubah menjadi pabrik sepatu, atau jadi bangunan lain. Bila lahan semakin berkurang, bagaimana mau swasembada pangan?

Semoga pertanian Indonesia semakin baik, semakin maju! Salam Kompasiana! (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun