Setiap pasangan yang sudah menikah, umumnya sangat antusias saat dikaruniai anak pertama. Sejak si buah hati masih dalam kandungan, ayah dan bunda sudah menyiapkan berbagai hal, mulai dari perlengkapan bayi, perlengkapan untuk ibu menyusui, kamar tidur, hingga beberapa pilihan nama.
Saat window shopping di pusat perbelanjaan, biasanya harus (sering) menguatkan iman agar tidak tergoda membeli pernak-pernik bayi (lagi), begitupula saat iseng membuka-buka laman media sosial, harus menahan diri agar tidak "lapar mata".Â
Jangan sampai mengklik iklan perlengkapan bayi di toko online, lalu tanpa sadar berbelanja barang-barang bayi lucu yang sebenarnya tidak terlalu diperlukan --karena sudah membeli barang sejenis, atau benda tersebut tidak terlalu krusial.
Calon orangtua baru biasanya memang lebih antusias menyiapkan beragam barang untuk kelahiran anak pertama. Padahal, dibanding menyiapkan perlengkapan bayi --yang bisa dibeli dalam waktu satu hari, selama dana mencukupi-- ada hal lain yang lebih penting untuk disiapkan dari jauh-jauh hari.
Belajar Merawat Bayi
Saking sibuknya menyiapkan baju, selimut, kain gendongan, hingga kereta dorong, tak sedikit pasangan suami-istri yang malah lupa menyiapkan diri sebagai orangtua. Saat si buah hati lahir, baru terkaget-kaget. Menyesal, mengapa tidak sejak awal kehamilan mencari informasi mengenai cara merawat bayi. Hal tersebut seperti yang pernah dialami oleh saya dan suami saat dikaruniai anak pertama.
Euforia memiliki buah hati langsung lesap saat perawat menyodorkan bayi yang masih merah untuk diberi ASI. Rasa bahagia yang membuncah, langsung berganti dengan rasa sedih. Masalahnya, jangankan tahu bagaimana cara memberi ASI, menggendong bayi saja saya tidak bisa. Tidak tahu bagaimana caranya.
Saking paniknya, saat itu saya dan suami juga tidak terpikir untuk meminta tolong si perawat untuk mencontohkan bagaimana menggendong bayi. Kami berdua hanya saling pandang dengan muka panik.Â
Beruntung saat itu ada sepupu suami yang baru lulus dari sekolah kebidanan. Meski ragu-ragu, karena ia belum menikah apalagi memiliki anak, saya dipandu bagaimana menggendong bayi dan memberi ASI.
Beruntung juga karena siang harinya, ibu mertua yang saat itu tinggal di luar kota datang dan menginap selama satu minggu. Setelah mertua pulang, keluarga besar saya yang juga tinggal di luar kota menjenguk sambil membawa asisten rumah tangga yang sudah biasa mengurus bayi. Saya terselamatkan. Namun, rasa sesal tetap mendera.
Meski setelah melahirkan ada yang membantu mengurus bayi, ada baiknya sebagai seorang ibu kita tahu --setidaknya memiliki gambaran-- bagaimana merawat dan mengasuh bayi dengan baik. Kita bisa membaca artikel, menonton video, bergabung di komunitas, atau bahkan bertanya langsung pada teman dan keluarga.
Apalagi bayi yang baru lahir memerlukan penanganan khusus. Terkadang kondisinya berbeda dari satu bayi dengan bayi yang lain. Ada baiknya kita rajin mencari informasi sehingga memiliki gambaran secara keseluruhan. Jadi kita juga tidak gampang panik saat terjadi hal yang kita pikir tidak biasa pada bayi kita, padahal umum terjadi.
Saat bayi ASI usia dua bulan tidak (maaf) BAB selama hampir dua pekan misalnya. Saya sempat panik, takut kenapa-kenapa dengan sistem pencernaannya. Namun setelah berbagi pengalaman di suatu komunitas dan berkonsultasi dengan dokter spesialis anak, hal tersebut biasa terjadi pada bayi ASI.
Menjadi orangtua memang harus siap dengan konsekuensi meng-upgrade ilmu mengenai parenting. Beruntunglah kita menjadi orangtua saat sudah ada Google. Meski terkadang harus pintar memilah dan memfilter informasi.
Siapkan Mental
Tidak semua bayi rewel, ada juga yang anteng. Namun ada saatnya bayi terus menangis meski popok sudah diganti, perut sudah kenyang diisi susu, badan sudah hangat dibalur minyak telon, pengatur suhu ruangan sudah dinyalakan dengan suhu tidak terlalu panas, juga tidak terlalu dingin.
Dulu saat anak pertama, pernah sekali waktu saking sudah ngantuknya, tetapi si bayi masih saja menangis, saya dan suami sampai pasrah, bilang sama si bayi, "nangis lah, Nak, Ibu dan Ayah mau tidur." Entah sudah mengerti dengan keputusasaan kami, entah memang sudah letih menangis, tangis si bayi tiba-tiba reda dan langsung tertidur.
Bayi yang rewel dan terus menerus menangis bisa memicu stres dan rasa panik. Oleh karena itu, mental juga harus disiapkan. Harus lebih sabar. Kalau bisa gantian dengan suami untuk mengurus bayi. Kurang tidur terkadang membuat kita cepat emosi dan tidak sabaran. Jadi sebaiknya, bergantian istirahat dengan pasangan.
Apalagi setelah melahirkan anak pertama ketahanan fisik sedikit berkurang. Meski sudah istirahat cukup, rasa lelah seperti terus mendera. Dulu saya mengira efek begadang karena harus memberikan ASI setiap dua jam sekali, belakangan saya tahu ternyata efek rasa khawatir. Panik berlebihan, takut tidak bisa jadi ibu yang baik.
Saat melahirkan anak kedua, saya tidak merasakan rasa lelah yang berlebihan. Rasanya biasa saja. Padahal saya juga begadang untuk memberikan ASI ekslusif. Mungkin karena saya lebih santai. Tidak terlalu memikirkan harus begini, harus begitu saat merawat si kecil. Tidak terlalu idealis, lebih fleksibel dibanding saat merawat anak pertama. Mungkin karena saya juga merasa lebih siap, merasa lebih berpengalaman. Â
Persiapan mental paling penting untuk disiapkan. Jangan sampai setelah melahirkan malah terkena baby blues atau post partum depression.Â
Sudah banyak contoh tragis akibat depresi pascamelahirkan. Amit-amit, jangan sampai terjadi pada kita. Oleh karena itu, yuk siapkan mental agar tidak kaget saat si bayi lahir dan berada di tengah-tengah kita. Salam Kompasiana! (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H