Mohon tunggu...
Cucum Suminar
Cucum Suminar Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Kompasianer

Belajar dari menulis dan membaca. Twitter: @cu2m_suminar

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Suka Berburuk Sangka pada Pasangan? Tonton Film "Coco"!

15 Februari 2019   12:55 Diperbarui: 17 Februari 2019   16:52 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pecinta animasi pasti tahu Coco, Film Animasi Terbaik Oscar 2018.  Film yang menceritakan mengenai seorang anak laki-laki berusia 12 tahun bernama Miguel yang berusaha mewujudkan mimpi menjadi seorang musisi. Meski ditentang keluarga, ia nekat melakukan apapun, termasuk mencuri gitar sang idola, hingga akhirnya dia terjebak di Land of the Dead, negeri para arwah.

Saat akan menonton film ini pada akhir 2017, saya tak berharap banyak dengan jalan cerita yang ditawarkan. Pikir saya, ah paling cerita seru-seruan untuk anak-anak khas film Disney-Pixar, seperti Zootopia, Frozen, The Good Dinosaur, Toy Story, atau yang sedikit serius seperti Inside Out.

Meski seru, bagus, banyak hikmah yang bisa kita dapat, namun tetap fokus utama adalah anak-anak. Film-film tersebut "mengajarkan" agar anak-anak berani, menghargai mainan, setia kawan, sayang dengan saudara kandung, bijak mengelola emosi, konsisten mewujudkan cita-cita, atau jangan Stereotyping.

Itu makanya, saat pertama kali menonton Coco, seperti biasanya, saya hanya mengajak anak. Tidak menonton rombongan bersama suami. Tujuan utamanya memang menemani anak menonton. Kebetulan si kecil termasuk anak yang hobi menonton film, terutama film-film animasi.

Namun ternyata Film Coco berbeda. Alur cerita film ini tidak hanya fokus terhadap si anak yang menjadi pemeran utama, tetapi juga anggota keluarga lain yang sudah dewasa. Menurut saya, film ini benar-benar film animasi keluarga yang memberikan banyak pelajaran dan hikmah.

Tidak Berburuk Sangka pada Suami/Istri

Akar permasalahan dari film ini adalah saat nenek buyut Miguel, Mama Imelda, yang menyangka sang suami, Hector, melupakan ia dan si buah hati hanya karena ingin mengejar ambisi sebagai seorang musisi. Hector dianggap tidak bertanggung jawab, tidak menghargai keluarga.

Hector pergi mengadu nasib meninggalkan istri dan seorang anak yang masih balita. Ia merantau bertahun-tahun untuk menggapai cita-cita. Tak pernah berkirim kabar, apalagi berkirim harta. Ia seolah hilang ditelan bumi. Tak lagi terdengar kabarnya, bahkan hingga sang istri meninggal dan sang anak memiliki seorang cucu pemberani, Miguel.

Alhasil, Hector dibenci oleh keturunannya. Musik yang menjadi penyebab Hector pergi pun sangat terlarang diperdengarkan di tengah keluarga. Meski sebenarnya si buah hati Hector dan Imelda, Coco, sesekali masih mengingat kebersamaan mereka. Bagaimana ia ditimang dan diajak bermain oleh Hector.

Mama Imelda tak pernah tahu, Hector sebenarnya sangat menyayangi keluarga kecilnya. Setelah beberapa waktu merantau tetapi belum juga menjadi musisi sukses, ia memutuskan untuk kembali pulang. Ia sudah mengepak barang-barang dan beranjak pulang. Ia kangen dengan gelak tawa Coco, si buah hati. Namun sesaat sebelum pulang, ia diracun oleh teman seperjuangannya. Barang-barang miliknya diambil, termasuk lagu-lagu hasil ciptaan Hector yang akan diorbitkan. Alhasil, ia tak pernah pulang, tak pernah lagi bertemu anak dan istri, meski hanya sekadar jasadnya yang sudah kaku.

Bagian dari film Coco yang ini, jujur, membuat saya merasa "tercubit". Saya bahkan jadinya berjanji dalam hati untuk tidak lagi berprasangka buruk pada pasangan. Prasangka terkadang lebih kejam dibanding kejadian yang sesungguhnya. Terbayangkan kan, membenci pasangan hingga berpuluh-puluh tahun, belakangan diketahui ternyata ia tidak sejahat seperti yang kita kira.

Adegan ini juga membuat saya berjanji untuk lebih terbuka kepada pasangan, termasuk berkirim kabar secara rutin. Kita tak pernah tahu kan, kapan dipanggil oleh Sang Maha Kuasa. Jangan sampai, saat ajal menjemput ada hal yang menjadi biang salah paham yang memunculkan kebencian hingga beberapa generasi.

Pelajaran juga untuk diri sendiri, kalaupun kelak kita membenci pasangan --amit-amit sih, jangan sampai terjadi ya-- jangan tularkan kebencian kita kepada orang lain, apalagi kepada si buah hati. Cukup kita yang "menelan" rasa benci itu. Sejahat apapun suami/istri kita, ia tetap orangtua bagi si buah hati.

Jangan Korbankan Impian Anak karena Dendam Masa Lalu

Miguel tidak diizinkan menjadi musisi karena kekek buyutnya dianggap berubah menjadi orang yang tak peduli keluarga saat mewujudkan cita-cita menjadi musisi hebat. Padahal Miguel dan si kakek buyut berbeda orang, berbeda karakter. Sifat dan sikap bukan gen, tidak diturunkan, melainkan dibentuk dan dibiasakan.

Meski musik seperti sebuah "urat nadi" bagi Miguel, keluarga tetap menentang. Alhasil Miguel sampai harus "curi-curi" waktu untuk belajar dan bermain musik. Ia sampai harus pergi ke tempat rahasia hanya sekadar untuk menonton sebuah video musik, sampai harus mengiba meminjam alat musik, bahkan harus "mencuri" alat musik.

Film ini memberi pelajaran agar kita mendukung apapun impian anak selama baik. Jangan menentang hanya karena dulu ada salah satu anggota keluarga yang "begini-begitu" saat mewujudkan impian yang sama. Ingat, jalan hidup setiap orang itu berbeda. Kakeknya "begini", belum tentu cucunya akan "begitu".

Jadi ingat dulu ada satu keluarga yang saya kenal yang tidak mengizinkan anak-anaknya melanjutkan sekolah ke sekolah lanjutan, hanya diizinkan sekolah hingga lulus SD, setelah itu melanjutkan belajar di pesantren yang tidak terhubung dengan sekolah formal dari pemerintah, pemicunya karena anak yang paling besar melakukan kesalahan fatal saat ia duduk di bangku SMA. Ia kabur berhari-hari bersama sang pacar.

Akhirnya anak kedua hanya lulus SD dan pesantren. Anak ketiga malah pesantren pun tidak lulus karena ia tidak mau. Ia hanya mau bersekolah di sekolah formal umum. Ia kabur dari pesantren.

Setelah kukuh dengan pendiriannya selama bertahun-tahun, si orangtua akhirnya melunak, saat anak keempat lulus SD, orangtua tersebut mengijinkan si anak bungsu bersekolah ke jenjang yang lebih tinggi, SMP, SMA, dan ternyata kekhwatiran mereka tidak terbukti. Si anak dapat menyelesaikan jenjang pendidikannya dengan baik, tidak ada drama seperti si sulung.

Lebih Seru Ditonton Bersama Suami/Istri

Saat hanya menonton film ini bersama anak, saya sedikit menyesal, mengapa tidak mengajak suami juga. Biar kami "disentil" sama-sama. Terkadang bila kita saling menegur secara langsung tidak efektif, tetapi kalau melihat gambaran --walaupun hanya dari cerita fiksi--  biasanya lebih "makjleb".

Apalagi di film ini juga bayak muatan positif lain yang dapat kita ambil hikmahnya, mulai dari bagaimana rasanya menjadi orang yang terpinggirkan, bagaimana kekuatan ikatan keluarga saat menyelesaikan sebuah masalah, hingga setiap anak tetaplah sayang pada orangtuanya meskipun si orangtua dianggap oleh sebagian besar keluarga tidak baik, yang terakhir tentu saja euforia mewujudkan mimpi. Senang lihat semangat Miguel mencoba mewujudkan apa yang ia impikan. Selamat Menonton. Salam Kompasiana! (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun