Adegan ini juga membuat saya berjanji untuk lebih terbuka kepada pasangan, termasuk berkirim kabar secara rutin. Kita tak pernah tahu kan, kapan dipanggil oleh Sang Maha Kuasa. Jangan sampai, saat ajal menjemput ada hal yang menjadi biang salah paham yang memunculkan kebencian hingga beberapa generasi.
Pelajaran juga untuk diri sendiri, kalaupun kelak kita membenci pasangan --amit-amit sih, jangan sampai terjadi ya-- jangan tularkan kebencian kita kepada orang lain, apalagi kepada si buah hati. Cukup kita yang "menelan" rasa benci itu. Sejahat apapun suami/istri kita, ia tetap orangtua bagi si buah hati.
Jangan Korbankan Impian Anak karena Dendam Masa Lalu
Miguel tidak diizinkan menjadi musisi karena kekek buyutnya dianggap berubah menjadi orang yang tak peduli keluarga saat mewujudkan cita-cita menjadi musisi hebat. Padahal Miguel dan si kakek buyut berbeda orang, berbeda karakter. Sifat dan sikap bukan gen, tidak diturunkan, melainkan dibentuk dan dibiasakan.
Meski musik seperti sebuah "urat nadi" bagi Miguel, keluarga tetap menentang. Alhasil Miguel sampai harus "curi-curi" waktu untuk belajar dan bermain musik. Ia sampai harus pergi ke tempat rahasia hanya sekadar untuk menonton sebuah video musik, sampai harus mengiba meminjam alat musik, bahkan harus "mencuri" alat musik.
Film ini memberi pelajaran agar kita mendukung apapun impian anak selama baik. Jangan menentang hanya karena dulu ada salah satu anggota keluarga yang "begini-begitu" saat mewujudkan impian yang sama. Ingat, jalan hidup setiap orang itu berbeda. Kakeknya "begini", belum tentu cucunya akan "begitu".
Jadi ingat dulu ada satu keluarga yang saya kenal yang tidak mengizinkan anak-anaknya melanjutkan sekolah ke sekolah lanjutan, hanya diizinkan sekolah hingga lulus SD, setelah itu melanjutkan belajar di pesantren yang tidak terhubung dengan sekolah formal dari pemerintah, pemicunya karena anak yang paling besar melakukan kesalahan fatal saat ia duduk di bangku SMA. Ia kabur berhari-hari bersama sang pacar.
Akhirnya anak kedua hanya lulus SD dan pesantren. Anak ketiga malah pesantren pun tidak lulus karena ia tidak mau. Ia hanya mau bersekolah di sekolah formal umum. Ia kabur dari pesantren.
Setelah kukuh dengan pendiriannya selama bertahun-tahun, si orangtua akhirnya melunak, saat anak keempat lulus SD, orangtua tersebut mengijinkan si anak bungsu bersekolah ke jenjang yang lebih tinggi, SMP, SMA, dan ternyata kekhwatiran mereka tidak terbukti. Si anak dapat menyelesaikan jenjang pendidikannya dengan baik, tidak ada drama seperti si sulung.
Lebih Seru Ditonton Bersama Suami/Istri
Saat hanya menonton film ini bersama anak, saya sedikit menyesal, mengapa tidak mengajak suami juga. Biar kami "disentil" sama-sama. Terkadang bila kita saling menegur secara langsung tidak efektif, tetapi kalau melihat gambaran --walaupun hanya dari cerita fiksi-- Â biasanya lebih "makjleb".