Ketersediaan air baku yang cukup di Batam, Kepulauan Riau, menjadi konsen utama. Hal tersebut dikarenakan air baku alami di kota yang berbatasan langsung dengan Singapura tersebut sangat terbatas. Tidak ada air sungai yang melimpah seperti kota-kota di Pulau Jawa dan Sumatera, tak ada pula mata air yang mengalir deras seperti layaknya di kota lain.
Tak ada gunung di Batam, sungai juga (hampir) tiada. Air baku sepenuhnya hanya mengandalkan air tadah hujan yang ditampung di waduk yang dibangun oleh Otorita Batam/BP Batam.Â
Saat ini ada lima waduk yang aktif digunakan, yakni Waduk Sei Harapan yang memiliki daya tampung 3.600.000 m3, Waduk Sei Nongsa dengan daya tampung 720.000 m3, Waduk Sei Ladi 9.490.000 m3, Waduk Mukakuning 12.270.000 m3, dan Waduk Duriangkang dengan daya tampung air baku mencapai 78.180.000 m3.
Begitu terbatasnya sumber air baku membuat pemerintah, melalui BP Batam, sangat menjaga ketersediaan air baku yang ditampung di lima waduk tersebut. BP Batam bahkan membentuk direktorat khusus yang konsen bertugas menangani pengelolaan air dan air limbah di Batam, yakni Direktorat Pengelolaan Air dan Air Limbah.
Tidak Digunakan untuk Kepentingan Lain
Lima waduk yang saat ini aktif digunakan sebagai sumber air baku di Pulau Batam sangat besar. Bentuknya seperti danau. Waduk Duriangkang selintas bahkan seperti laut --terlebih juga berbatasan langsung dengan laut, karena memang merupakan hasil desalinasi alami, membendung air laut yang menjorok ke daratan.
Namun tentu saja hal tersebut tidak akan pernah dilakukan. Pemenuhan air baku lebih penting dibandingkan dengan mengorbankan waduk-waduk tersebut sebagai objek wisata komersial.Â
Jangankan menggunakan waduk tersebut untuk kepentingan lain diluar sebagai tempat untuk pemenuhan air baku, kegiatan di sekitar waduk yang sekiranya akan mengganggu keberlangsungan air baku juga akan ditertibkan.
Secara berkala BP Batam melakukan penertiban, mulai dari penertiban peternakan yang dilakukan di sekitar waduk, hingga penertiban penggundulan hutan.Â
Penertiban illegal logging, kebakaran hutan, menjadi salah satu konsen utama, karena bila pohon ditebangi secara membabi buta, bukan tidak mungkin aliran air hujan akan langsung ke waduk, lengkap dengan aneka ranting dan serpihan tanah.
Serpihan tanah dan ranting pohon yang terbawa air tersebut --meskipun kecil dan hanya serpihan, bila terjadi bertahun-tahun, bukan tidak mungkin akan menyebabkan sedimentasi atau pendangkalan waduk yang akan berujung dengan berkurangnya kapasitas daya tampung waduk.
Selain melakukan penertiban, bila diperlukan juga dilakukan pembersihan eceng gondok, terutama di Waduk Duriangkang yang kerap ditumbuhi tanaman menjalar tersebut. Seperti yang kita tahu, eceng gondok dapat menyebabkan pendangkalan, yang membuat jumlah air baku dapat menurun secara drastis.
Waduk di Batam juga dijaga semaksimal mungkin agar tidak terpapar limbah --termasuk limbah rumah tangga. Limbah rumah tangga tidak ada yang dialirkan secara langsung ke dam seperti halnya kerap terjadi di sungai-sungai di Pulau Jawa. Terlebih limbah-limbah dari perusahaan.
Kualitas air baku dan ketinggian air baku juga selalu dipantau secara berkala. Sehingga, terus terkontrol. Maklum, bila kebablasan terlalu tercemar atau malah terlalu surut akan repot. Masyarakat maupun industri di Pulau Batam bisa-bisa tidak bisa beraktivitas karena tidak ada air.
Selain itu juga menjaga daerah resapan air. Setiap tahun, perusahaan pengelola air bersih yang mendapat konsesi dari BP Batam/Otorita Batam untuk mengelola air bersih di Batam melakukan penanaman pohon dengan menggandeng berbagai instansi yang ada di Kota Batam.
"Kehilangan" Satu Waduk
Meski BP Batam/Otorita Batam cukup ketat mengawasi waduk-waduk yang mereka bangun, tetapi tetap saja (pernah) kecolongan. Sejak 2012, ada satu waduk --Waduk Baloi-- yang tidak lagi difungsikan. Padahal Waduk Baloi merupakan waduk pertama yang di bangin Otorita Batam.
Waduk Baloi memang berada di pusat kota. Bila awalnya rumah liar yang dibangun disana umumnya hanya berupa bangunan untuk tempat tinggal, kini sudah semakin semarak dengan berbagai tempat usaha, mulai dari rumah makan hingga pengepulan. Bila dulu bangunannya tidak permanen, kini dibuat secara permanen. Semakin marak sejak waduk tersebut tidak lagi difungsikan.
Pemerintah memang harus tegas. Sejak awal bila tidak boleh dibangun untuk rumah-rumah liar, harus tidak boleh. Jangan "tutup mata". Jangan dibiarkan dan akhirnya semakin menyebar hingga sulit untuk ditertibkan. Alhasil Waduk Baloi sekarang lebih mirip seperti septic tank raksasa.
Rugi, Membiarkan Air Baku Tercemar
Air baku merupakan sumber air bersih yang nantinya akan kita gunakan untuk beraktivitas, mulai dari mencuci, mandi, hingga untuk memasak. Bila kita membiarkan air baku tercemar, sama saja kita mencemari sesuatu yang akan kita konsumsi. Sama seperti mencemari air yang akan kita minum.
Namun itu sih masih mending, mahal kalau barangnya masih ada, masih oke. Bagaimana kalau air baku semakin menyusut hingga tidak cukup untuk memenuhi seluruh kebutuhan masyarakat? Tidak ada air bersih ngeri lho, karena air bersih itu tidak tersubstitusi. Salam Kompasiana! (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H