Mohon tunggu...
Cucum Suminar
Cucum Suminar Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Kompasianer

Belajar dari menulis dan membaca. Twitter: @cu2m_suminar

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Pengalaman Saat Harus Melahirkan dengan Cara Sesar

5 Oktober 2018   19:26 Diperbarui: 6 Oktober 2018   12:01 5704
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat dokter kandungan menyarankan operasi sesar karena bayi yang dilahirkan diprediksi memiliki berat 3,6 kg --dan akan sulit untuk dilahirkan normal, ia kukuh akan melahirkan secara normal.

Alasannya, anak pertama yang saat lahir memiliki bobot 3,8 kg saja bisa ia lahirkan secara normal, masa yang bobotnya lebih kecil tidak bisa. Saat hari-H ia akhirnya melahirkan normal, bukaan lancar, namun saat si bayi akan dilahirkan, lebar bahu si jabang bayi ternyata tak cukup untuk melewati "jalan lahir". Alhasil si bayi seperti terperangkap. Tidak bisa keluar, namun juga tidak bisa kembali lagi.

Akhirnya karena tidak ada pilihan lain tetap dilakukan persalinan secara sesar, tetapi ada satu yang dikorbankan, salah satu bahu si bayi terpaksa dipatahkan agar bayi tersebut bisa"diangkat" untuk dilahirkan. Alhasil hingga ia dewasa, bayi tersebut hidup dengan bahu yang patah dan tak lagi tegap.

Salah satu teman memiliki cerita yang berbeda. Saat melahirkan anak pertama ia kukuh juga ingin melahirkan secara normal. Awalnya seluruh proses lancar. Sebagian kecil kepala si bayi bahkan sudah terlihat, tetapi setelah dipaksakan untuk terus mengedan ia tidak lagi bisa. Tenaganya habis. Terpaksa akhirnya ia pun menjalani proses persalinan secara sesar.

Teman yang lain memiliki cerita yang lebih miris. Ia terpaksa harus kehilangan bayi lucu yang ditunggu selama sembilan bulan karena terlalu banyak pertimbangan mengikuti saran dokter untuk melahirkan secara sesar. 

Bayi yang dilahirkan meninggal dalam kandungan karena terlambat dilahirkan. Meski itu sudah takdir dari yang maha kuasa, si teman bilang tetap ada rasa sesal yang menggelayut di hati.

Tak Seseram yang Dibayangkan

Jangankan dioperasi, disuntik saja saya sangat takut. Itu makanya saya sedikit was-was saat memasuki ruang operasi. Namun ternyata suntik epidural tak sesakit yang dibayangkan, begitu pula dengan proses pembedahan untuk mengeluarkan si jabang bayi. Bahkan tak terasa apapun. Kita seperti berbaring biasa saja.

Sekitar 30 menit setelah berbaring dan disuntik epidural, dokter anak dan dokter kandungan yang membantu proses melahirkan serempak mengatakan, bayinya sudah lahir. Nah setelah itu baru terasa sedikit rasa mual dan rasa kantuk yang luar biasa. Setiap berapa menit saya sepertinya tertidur, kemudian bangun kembali karena diajak mengobrol si dokter.

Pasca melahirkan badan masih terasa biasa saja, mungkin efek obat yang masih bekerja. Esok harinya badan baru terasa pegal. Menggerakan badan beberapa senti saja rasanya berat. Terlebih saat diminta berlatih miring ke kiri dan ke kanan, kemudian belajar berjalan secara perlahan.

Saya pribadi butuh waktu tiga hari hingga rasa ngilu dan kaku itu hilang --setidaknya berkurang banyak. Setelah itu saya sudah sanggup melakukan beberapa pekerjaan rumah. Setelah dua minggu, dokter mengatakan saya sudah boleh "membawa" motor sendiri --saat saya tanya kapan saya sudah boleh mengendarai motor. Namun hingga minggu ketiga pasca melahirkan, tetap belum berani bawa motor sendiri. Saya pun lebih betah di rumah saja, dibanding "keluyuran".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun