Saya pernah melewati malam paling horor. Bukan, bukan, karena bertemu mahluk tak kasat mata, atau dikejar-kejar binatang yang paling ditakuti, tetapi karena anak saya tiba-tiba sakit.Â
Tengah malam, buah hati saya yang saat itu baru genap berusia lima tahun, tiba-tiba terbangun dengan suhu badan mencapai 40 decel, sambil (maaf) memuntahkan semua yang ada di dalam perut.
Parahnya lagi, kala itu saya sedang berada di rumah nenek saya, di sebuah desa di Sukabumi, Jawa Barat, yang jangankan ada rumah sakit besar untuk berobat, Puskesmas saja tidak ada.Â
Klinik terdekat berjarak beberapa belas kilometer, dengan waktu tempuh sekitar 60 menit karena jalan yang berlubang dan bergelombang. Itu pun pengelolanya bukan dokter, namun seorang mantri.
Nenek saya yang sudah berusia 88 tahun dan tinggal sendirian, tidak memiliki sepeda motor, apalagi kendaraan roda empat. Saya pun berkunjung dengan menggunakan angkutan umum karena tinggal di luar pulau yang berbeda provinsi.
Malam itu saya benar-benar kalut. Khawatir. Terlebih suami tidak ikut. Akhirnya selama satu jam pertama saya dan nenek bahu-membahu mengompres dahi anak dengan air hangat, kemudian membaluri seluruh badannya dengan bawang merah dicampur minyak hangat yang sudah dihaluskan seadanya.
Saya sudah mengakalinya, setiap kali anak saya (maaf) muntah, saya jejali dengan air putih agar tidak dehidrasi. Namun saya sempat berpikir, sampai kapan hal itu dilakukan? Saya khawatir lambung anak saya nanti malah terganggu.
Nenek saya bilang, mau tidak mau harus beli obat. Tapi dimana dan obat apa. Daerah di sekitar rumah nenek saya tidak ada apotek. Ada satu minimarket jaringan yang menjual obat-obatan lumayan lengkap, namun bila sudah tengah malam begitu pasti sudah tutup. Kalaupun buka, jaraknya juga lumayan jauh. Bila saya harus berjalan kaki di tengah gelap, saya menyerah.
Menggedor Warung Tetangga
Melihat saya yang terus-menerus menangis, ditambah anak saya yang (maaf) tak henti memuntahkan seluruh isi perut, membuat nenek saya berinisiatif pergi ke rumah tetangga yang membuka warung. Beliau bilang, siapa tahu ada salah satu obat yang cocok untuk anak saya.
Namun nenek saya bilang, ada tetangga yang memiliki kendaraan roda empat bersedia mengantar ke klinik bila diperlukan, bahkan tetangga tersebut bersedia mengantar ke rumah sakit yang jaraknya lebih jauh. Meski lumayan pelosok, ada satu-dua tetangga nenek saya yang memiliki kendaraan roda empat. Bahkan mobil-mobil yang mereka miliki tak kalah "mewah" dari orang kota.
Awalnya saya sempat "tergiur" untuk membawa anak saya ke rumah sakit. Namun saat melihat Tolak Angin Anak yang dibawa nenek, saya memilih menangguhkan keinginan tersebut. Saya bilang, akan mencoba mengobati anak saya dengan Tolak Angin terlebih dahulu.
Saat itu anak saya tidak menggunakan helm, maupun jaket, dan duduk di depan pengemudi ojek. Parahnya lagi, selama dua hari berturut-turut kami berenang hampir satu hari penuh. Merasa sedang liburan, merasa kapan lagi bisa berkumpul bersama kerabat, terlebih dengan anak-anak yang seusia dengan anak saya.
Anak saya sepertinya tidak terbiasa diporsir seperti itu. Apalagi kami tinggal di Batam, Kepulauan Riau. Sangat jarang menempuh perjalanan hingga berjam-jam, karena satu lokasi dengan lokasi yang lain begitu berdekatan, terlebih dengan menggunakan motor yang "mengundang" angin cukup kencang.
Entah Tolak Angin Anak yang "cespleng", entah perpaduan doa, baluran bawang putih, dan gelontoran air mineral, ditambah beberapa suap bubur nasi, kondisi anak saya berangsur pulih.Â
Saat pagi menjelang, anak saya sudah sehat. Kejadian "horor" di tengah malam seolah tak bersisa. Usai sarapan, ia bahkan langsung bermain bersama anak tetangga. Tak hanya bermain boneka di dalam rumah, namun juga menjelajah ke pematang sawah.
Selalu Membawa Bekal Tolak Angin
Sejak kejadian tersebut, setiap kali bepergian saya selalu membawa Tolak Angin. Bila anak saya ikut, saya tak hanya membawa Tolak Angin Anak, pengukur suhu tubuh, obat pereda panas, tetapi juga obat-obatan lain yang sekiranya diperlukan. Saya tidak mau lagi kalut karena "amunisi" yang tidak memadai.
Dulu saya terlalu percaya diri untuk tidak membawa obat-obatan, termasuk alat pengukur suhu tubuh --untung pas anak saya sakit di rumah nenek itu, ada pengukur suhu tubuh anak sepupu saya yang tertinggal, sehingga bisa dipinjam. Saat itu saya berpikir, selama makan cukup, istirahat cukup, pasti kita sehat-sehat saja.
Beruntung bisa menemukan Tolak Angin di sebuah pelosok desa. Bila tidak, entah apa yang terjadi pada anak saya. Apalagi sampai saat ini suami saya tidak pernah tahu kejadian yang terjadi pada akhir 2016 itu. Mungkin setelah membaca artikel ini, baru ia tahu. Saat anak sakit, saya tidak memberitahu suami karena takut ia khawatir, saat anak saya sudah sembuh saya kembali menyimpan cerita itu sendiri karena takut disalahkan.
Ada Banyak Varian
Dulu saya selalu berpikir, Tolak Angin itu obat herbal untuk orangtua paruh baya. Namun citra tersebut langsung tergerus saat saya berkesempatan berkunjung ke Pabrik Sido Muncul di Semarang, Jawa Tengah, pada tahun 2007.Â
Waktu itu saya masih bekerja sebagai jurnalis di salah satu koran lokal di Bogor, Jawa Barat. Saat melihat pabriknya, saya langsung tercengang. Ternyata sangat modern dan asri. Ada taman yang sangat luas.
Sejak saat itu, saya rutin mengkonsumsi Tolak Angin. Biasanya saya meminum Tolak Angin saat gejala flu mulai menyerang. Saya termasuk salah satu orang yang paling "benci" diserang flu. Malas saja merasakan hidung meler, kepala pening, dan mata terkadang berkunang-kunang.
Saya cukup lama juga mengkonsumsi Tolak Angin, tetapi memang hanya dikonsumsi sendiri. Sama sekali belum terpikir untuk menjadikan Tolak Angin sebagai salah satu daftar obat (herbal) yang harus dibawa dan tersedia di rumah untuk berjaga-jaga, termasuk untuk anak. Baru setelah kejadian horor tengah malam itu, saya selalu menyimpan Tolak Angin untuk berjaga-jaga.
Ternyata setelah lebih "peduli" dengan obat herbal tersebut, saya baru tahu lho kalau ternyata ada beragam varian Tolak Angin. Kalau permen herbal Tolak Angin, sudah sejak zaman kuliah tahu dan sering mengkonsumsi. Nah, kalau Tolak Angin Bebas Gula dan Tolak Angin Care saya baru tahu.
Serunya lagi, ternyata meskipun obat herbal tradisional yang sudah diformulasikan sejak 1930, tetapi Tolak Angin diolah dengan teknologi modern, dikemas praktis, dan sudah diujicoba dengan menggandeng beberapa universitas.Â
Berdasarkan uji toksisitas, Tolak Angin aman dikonsumsi dalam jangka panjang karena terbuat dari bahan-bahan alami, sedangkan uji khasiatnya sudah terbukti dapat meningkatkan daya tahan tubuh. Sudah dapat sertifikasi dari BPOM RI juga ternyata.
Ah, saya jadi semakin yakin untuk menenggak sesachet Tolak Angin, tidak lagi saat akan terkena flu, namun juga saat akan melakukan perjalanan jauh, aktivitas lumayan padat, kurang tidur, kecapekan atau badan terasa sedikit masuk angin. Jadi semakin ingin menjejalkan lebih banyak Tolak Angin di koper dan kotak obat untuk berjaga-jaga. Salam Kompasiana! (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H