Melihat saya yang terus-menerus menangis, ditambah anak saya yang (maaf) tak henti memuntahkan seluruh isi perut, membuat nenek saya berinisiatif pergi ke rumah tetangga yang membuka warung. Beliau bilang, siapa tahu ada salah satu obat yang cocok untuk anak saya.
Namun nenek saya bilang, ada tetangga yang memiliki kendaraan roda empat bersedia mengantar ke klinik bila diperlukan, bahkan tetangga tersebut bersedia mengantar ke rumah sakit yang jaraknya lebih jauh. Meski lumayan pelosok, ada satu-dua tetangga nenek saya yang memiliki kendaraan roda empat. Bahkan mobil-mobil yang mereka miliki tak kalah "mewah" dari orang kota.
Awalnya saya sempat "tergiur" untuk membawa anak saya ke rumah sakit. Namun saat melihat Tolak Angin Anak yang dibawa nenek, saya memilih menangguhkan keinginan tersebut. Saya bilang, akan mencoba mengobati anak saya dengan Tolak Angin terlebih dahulu.
Saat itu anak saya tidak menggunakan helm, maupun jaket, dan duduk di depan pengemudi ojek. Parahnya lagi, selama dua hari berturut-turut kami berenang hampir satu hari penuh. Merasa sedang liburan, merasa kapan lagi bisa berkumpul bersama kerabat, terlebih dengan anak-anak yang seusia dengan anak saya.
Anak saya sepertinya tidak terbiasa diporsir seperti itu. Apalagi kami tinggal di Batam, Kepulauan Riau. Sangat jarang menempuh perjalanan hingga berjam-jam, karena satu lokasi dengan lokasi yang lain begitu berdekatan, terlebih dengan menggunakan motor yang "mengundang" angin cukup kencang.
Entah Tolak Angin Anak yang "cespleng", entah perpaduan doa, baluran bawang putih, dan gelontoran air mineral, ditambah beberapa suap bubur nasi, kondisi anak saya berangsur pulih.Â
Saat pagi menjelang, anak saya sudah sehat. Kejadian "horor" di tengah malam seolah tak bersisa. Usai sarapan, ia bahkan langsung bermain bersama anak tetangga. Tak hanya bermain boneka di dalam rumah, namun juga menjelajah ke pematang sawah.
Selalu Membawa Bekal Tolak Angin