Mohon tunggu...
Cucum Suminar
Cucum Suminar Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Kompasianer

Belajar dari menulis dan membaca. Twitter: @cu2m_suminar

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

"Salam Tempel" Lebaran dan Kebiasaan Saling Memberi

11 Juni 2018   17:21 Diperbarui: 11 Juni 2018   17:34 1333
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa yang paling ditunggu setiap anak setiap kali Idulfitri menjelang? Selain pakaian dan sepatu baru, jawabannya pasti "salam tempel". Uang yang disimpan dalam amplop kecil dengan nominal yang beragam, mulai dari pecahan ribuan, puluhan ribu, hingga ratusan ribu. Tergantung siapa yang memberi.

Bila yang memberi keluarga dekat, biasanya uangnya mencapai ratusan ribu, atau setidaknya puluhan ribu. Terlebih bila kita sudah mulai beranjak remaja. Namun untuk kerabat-kerabat jauh atau tetangga yang hubungannya tidak terlalu dekat, biasanya nominal uangnya hanya sekitar ribuan.

Meski hanya ribuan, bila dikumpulkan lumayan banyak. Apalagi bila ditambahkan pemberian dari keluarga-keluarga dekat. Jumlahnya lumayan juga. Tahun lalu, jumlah angpau yang diterima anak saya bisa mencapai Rp1 juta juga. Lumayan banyak untuk ukuran anak yang masih berusia lima tahun.

Tak Pernah Meminta, Tapi Pasti Diberi

Anak-anak biasanya tak pernah meminta angpau-angpau tersebut. Apalagi anak-anak yang masih balita. Biasanya mereka belum mengerti. Namun para orangtua, atau pasangan yang sudah menikah, biasanya memang sudah menyiapkan dana khusus untuk dibagikan kepada anak-anak.

Di keluarga suami biasanya dibagikan usai doa bersama. Usai shalat berjamaah di lapangan Pulau Belakangpadang, Batam, Kepulauan Riau, kami berkumpul di suatu ruangan. Semua anak-menantu, cucu, cicit berkumpul bersama. Kakek suami biasanya yang memimpin doa.

Setelah bedoa dan salam-salaman antar keluarga. Satu persatu keluarga yang sudah menikah membagikan amplop kecil kepada balita hingga anak yang berstatus mahasiswa. Kalau yang sudah bekerja, meski belum menikah biasanya tidak akan diberi.

Kalau kerabat dan tetangga biasanya memberi saat kami berkunjung, atau sebaliknya waktu mereka berkunjung ke rumah. Menjelang pulang, mereka menyelipkan amplop kecil ke setiap anak. Bila anaknya dua, amplop yang diberi dua, anaknya tiga, ya tiga, kalau anaknya satu, meski dia memberi ke keluarga tersebut empat amplop, tetap diberi satu. Itu makanya, pepatah banyak anak banyak rezeki sangat berlaku kala lebaran.

Saya dan suami biasanya jauh-jauh hari menyiapkan amplop-amplop tersebut. Kami menghitung berapa banyak anak yang wajib diberi. Saking banyaknya saudara, sampai kami bikin catatan di setiap amplop. Untuk saudara, biasanya kami beri amplop khusus, untuk anak tetangga kami berikan begitu saja uangnya.

Dulu saat anak kami baru lahir, kami membuat amplop khusus. Ada foto anak dan tulisan-tulisan menarik yang didesain sendiri. Namun ternyata merepotkan. Akhirnya beberapa tahun belakangan ini kami beli amplop kecil-kecil yang banyak dijual di berbagai supermarket dekat rumah, lebih praktis.

Meski tidak ada yang memaksa, sejak menikah kami membiasakan memberi salam tempel kepada anak-anak. Tujuannya untuk sekadar berbagi, belajar untuk saling memberi meski dengan nominal yang tidak banyak. Bukankah saling memberi itu kegiatan yang paling membahagiakan?

Bisa Mengajarkan Anak Mengelola Uang

Angpau-angpau tersebut tak hanya memberi anak kebahagiaan. Bagaimana tidak bahagia, angpau merupakan hak prerogatif dari anak, bisa dibelanjakan apa saja sesuai keinginan, orangtua hanya bisa mengarahkan, namun keputusan tetap ada di tangan si anak, kecuali anak-anak yang masih terlalu kecil.

Dulu saat saya masih sering mendapatkan angpau dari keluarga dan saudara. Uang dari salam tempel itu saya belikan baju, sepatu, hingga kebutuhan lain. Dulu saya memang lebih suka membeli baju baru usai lebaran. Alasannya potongan harganya lebih banyak. Baju yang saat menjelang lebaran bisa mencapai Rp500.000, setelah lebaran berlalu beberapa hari, harganya bisa menyusut hingga setengah harga. Bahkan ada yang diberi potongan harga sampai 70 persen.

Angpau lebaran juga sebenarnya tidak melulu mengajarkan anak berperilaku boros dan mengumbar nafsu belanja. Bila diajari bijak, angpau tersebut bisa digunakan untuk mengajari anak menabung. Dulu ada beberapa sepupu yang memilih menabungkan uang yang didapat dari salam tempel lebaran.

Sejak masih balita orangtua si anak membuatkan buku tabungan di sebuah bank. Setelah uang angpau tersebut terkumpul, si anak yang didampingi orangtua menyetorkan uang tersebut ke bank untuk di tabung. Setelah sang anak cukup besar uang tersebut diambil dan dibelikan suatu barang yang sangat bermanfaat dengan harga yang lumayan tinggi. Saya sempat ngiri, tetapi saya sadar diri, setiap tahun uang lebaran saya sudah dicicil untuk dihabiskan.

Ungkapan Rasa Sayang

Dulu sempat ada kerabat yang bilang, untuk apa memberi salam tempel kepada anak-anak saat lebaran, padahal orangtua mereka tergolong sangat mampu. Namun ada kerabat lain yang mengatakan, yang mampu adalah orangtuanya, anaknya belum bisa mencari uang sendiri.

Selain itu, justru saat lebaran itu lah kita bisa mengungkapkan rasa sayang antar keluarga dengan memberikan salam tempel tanpa khawatir membuat si orangtua tersinggung. Semampu apapun kondisi ekonomi si orangtua, saat si anak diberi uang oleh kerabat, pasti tetap senang.

Salam tempel saat lebaran memang masih menuai kontroversi. Kalau teman-teman Kompasianer pro apa kontra terkait kebiasaan memberi uang saat lebaran kepada anak-anak? Kalau saya sih termasuk yang PRO. Salam Kompasiana! (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun