Setiap menjelang Idulfitri saya dan suami selalu mudik ke Pulau Belakangpadang, Batam, Kepulauan Riau. Kami biasanya menghabiskan waktu selama beberapa hari di rumah kakek-nenek suami bersama keluarga besar yang tinggal di beberapa pulau. Selain Pulau Belakangpadang, ada juga yang tinggal di Pulau Sambu, Batam, dan Bintan.
Sama seperti kami, keluarga yang tinggal di lain pulau biasanya datang satu-dua hari menjelang lebaran, beberapa ada juga yang datang usai shalat Idulfitri. Sebagian ada yang sudah tiba satu minggu sebelumnya. Tujuannya untuk membantu mempersiapkan keperluan Idulfitri --mulai dari memasak, menyiapkan aneka kue, hingga memastikan rumah terlihat "cling". Maklum setiap hari raya kekek dan nenek mertua selalu mengadakan open house.
Deretan boat di Belakangpadang. | Dokumentasi Pribadi
Saya dan suami memilih mudik setiap tahun ke kampung halaman suami yang dapat ditempuh dari rumah sekitar 30 hingga 60 menit dengan menggunakan kendaraan bermotor dan perahu boat. Sejak menikah delapan tahun lalu, saya belum sekalipun merayakan idulfitri di kampung halaman sendiri, Jawa Barat.
Alasannya, suasana menjelang Idulfitri terlalu ramai. Selain itu harga tiket pesawat Batam-Jakarta-Batam melambung cukup tinggi setiap kali lebaran tiba. Alasan lain, orangtua juga sudah meninggal sejak beberapa tahun lalu. Keluarga yang tersisa hanya nenek dan beberapa kerabat dekat. Itu makanya, setiap pulang ke kampung halaman sendiri, saya lebih memilih pulang di luar Idulfitri.
Memilih Parkir di Pelabuhan Internasional
Satu hari menjelang Idulfitri saya dan suami sudah bersiap berangkat ke Belakangpadang. Biasanya kami berangkat siang hari usai shalat dzuhur. Alasannya kalau berangkat terlalu pagi, pakaian dan barang yang akan dibawa belum seluruhnya rapi dikemas. Sementara bila berangkat terlalu sore, khawatir gelombang laut semakin kuat.
Bangunan putih itu adalah tanki-tanki milik pertamina di Pulau Sambu, yang berada di seberang Pulau Belakangpadang. | Dokumentasi Pribadi
Setelah semua siap, kami berangkat ke Pelabuhan Sekupang. Waktu tempuh yang diperlukan sekitar 15-30 menit. Meski di sekitar pelabuhan pancung tersedia parkir yang lumayan luas dan nyaman, biasanya bila menginap di Belakangpadang kami lebih memilih memarkirkan kendaraan di Pelabuhan Ferry Internasional Sekupang.
Kedua pelabuhan tersebut bersebelahan dan ada jalan tembus. Namun yang satu untuk transportasi kapal ke wilayah-wilayah lokal di sekitar Provinsi Kepulauan Riau, yang satu lagi untuk transportasi ke Singapura dan Malaysia. Kedua pelabuhan tersebut dibawah pengelolaan BP Batam.
Tempat parkir di Pelabuhan Sekupang, ini yang lokal lho. Bersih dan luas juga kan? | Dokumentasi Pribadi
Bedanya lagi, tempat parkir di pelabuhan lokal hanya ada pos jaga untuk kendaraan masuk saja. Untuk pos keluar, tidak ada. Jadi bila kendaraan mau keluar, keluar saja, tidak akan diminta untuk memperlihatkan karcis sebagai bukti oleh petugas. Kita pun hanya perlu membayar Rp2.000 untuk setiap kendaraan roda empat yang diparkir tanpa batas waktu.
Sementara untuk pelabuhan internasional, kita akan dikutip Rp25.000/hari. Beda tarifnya memang cukup jomplang. Lebih dari 10 kali lipat. Namun kami merasa kendaraan lebih aman bila diparkir di sana. Terlebih memang ada areal parkir khusus untuk kendaraan yang menginap.
Pelantar yang digunakan untuk naik boat ke Belakangpadang. | Dokumentasi Pribadi
Sebenarnya parkir kendaraan di pelabuhan lokal pun nyaman, tempatnya luas dan bersih. Selain itu juga tetap aman meski tidak ada petugas yang berjaga di pintu keluar. Terlebih kasus pencurian kendaraan bermotor di Batam sangat minim. Untuk kasus pencurian kendaraan roda empat bahkan hampir tidak ada. Namun menjelang Idulfitri, jumlah kendaraan yang parkir di pelabuhan tersebut berlipat-lipat. Terkadang bahkan hingga parkir pararel. Sehingga, terkadang susah saat mau keluar, apalagi tidak ada petugas yang membantu saat parkir.
Melanjutkan Perjalanan dengan Boat
Perjalanan dari Sekupang ke Belakangpadang memerlukan waktu sekitar 15 menit, dengan biaya Rp15 ribu/orang dewasa. Anak-anak biasanya gratis, kecuali yang sudah beranjak remaja. Terkadang kalaupun kita beli karcis, petugasnya yang bilang, anak-anak kecil tidak  harus bayar.
Naik boat, biasanya nunggu penuh dulu seperti ini. | Dokumentasi Pribadi
Menjelang lebaran, waktu tempuh Pulau Batam  ke Belakangpadang biasanya lebih cepat. Hal tersebut dikarenakan kita tak perlu menunggu waktu lama untuk naik ke boat dan memulai perjalanan melintasi lautan. Baru datang saja biasanya
boat sudah penuh dan bisa langsung berangkat.
FYI, bagi yang baru pertama kai naik mungkin akan sedikit deg-degan, terlebih bila boat kita berpapasan dengan kapal ferry dari Singapura atau Malaysia. Biasanya boat akan bergoyang-goyang lumayan kencang. Namun jangan khawatir, tetap aman kok. Apalagi juga disediakan pelampung.
Bila tak ingin terlalu merasakan goncangan ombak, atau malas terkena angin laut yang cukup kencang, ada baiknya duduk di bagian tengah, bila memungkinkan malah duduk saja di bagian paling belakang sekalian. Hal tersebut dikarenakan, semakin depan, goncangan ombak semakin terasa, begitu juga dengan angin laut. Meski bila gelombang lumayan kuat, pengemudi akan menutup bagian kiri dan kanan boat.
Deretan becak yang jadi primadona transportasi umum di Belakangpadang. | Dokumentasi Pribadi
Setelah sampai di Belakangpadang, kami biasanya melanjutkan perjalanan dengan menggunakan becak atau ojek sepeda motor. Biaya untuk becak Rp20.000 untuk satu kali jalan yang lumayan jauh. Sementara bila menggunakan motor hanya perlu mengeluarkan biaya Rp5.000 dengan jarak yang sama.
Meski ojek sepeda motor tarifnya jauh lebih murah, namun banyak yang lebih memilih menggunakan becak. Alasannya bila duduk di becak lebih santai, terlebih bila berkunjung lebih dari dua orang. Sepanjang jalan bisa sambil mengobrol sambil menikmati pemandangan pulau yang memiliki fasilitas publik lumayan lengkap tersebut.
Melihat Pawai Obor dan Shalat di Alun Alun
Malam menjelang Idulfitri, saya dan suami biasanya berjalan-jalan keliling pulau dengan sepeda motor. FYI, pulau yang persis di seberang Singapura ini tidak memiliki alat transportasi berupa kendaraan roda empat. Masyarakat umumnya menggunakan sepeda motor dan becak untuk alat transportasi.
Alun alun saat kosong. | Dokumentasi Pribadi
Mobil yang tersedia hanya ada dua, yaitu mobil pengangkut sampah dan mobil ambulance yang juga berfungsi sebagai mobil jenazah. Meski demikian jalannya cukup bagus dan mulus. Ruasnya juga lumayan luas untuk ukuran pulau yang habis dikelilingi dalam waktu 30 menit dengan menggunakan sepeda motor.
Saat malam Idulfitri saya dan suami biasanya melihat pawai obor di sekitar pasar. Setelah itu berfoto di setiap gapura yang kerlap-kerlip dengan hiasan lampu. Sebagai informasi, Belakangpadang terdiri dari beberapa kampung, mulai dari Kampung Bugis, Kampung Melayu hingga Kampung Jawa. Nah, di setiap perbatasan kampung biasanya ada gapura yang dihias lampu sedemikian rupa. Demikan juga dengan jalan-jalan di sepanjang pulau tersebut.
Saat penuh oleh jamaah yang shalat Idulfitri. | Dokumentasi Pribadi
Setelah puas berkeliling, saya dan suami biasanya mampir ke Lang Lang Laut, pusat kuliner di Belakangpadang yang letaknya di sekitar pelabuhan. Lokasi tersebut biasanya ramai oleh warga yang "cari angin". Terlebih juga banyak penyewa dan penjual mainan anak-anak, dengan aneka harga.
Esok paginya, kami pergi ke alun-alun untuk shalat Ied bersama. Uniknya, bila di kota lain masjid-masjid penuh saat Idulfitri ataupun Iduladha, di Belakangpadang tidak demikian. Bila tidak hujan atau ada hal lain, seluruh warga melaksanakan shalat di lapangan yang letaknya persis di belakang Mapolsek Belakangpadang itu.
Saat lebaran semua warga tumpah di lapangan ini. | Dokumentasi Pribadi
Bukan, bukan tidak menghargai masjid. Namun lebih kepada kebersamaan. Bila melaksanakan shalat Idulfitri di lapangan tersebut  seluruh warga Belakangpadang dapat tertampung dalam satu tempat, sementara bila di masjid akan terpisah-pisah. Apalagi tidak seluruh masjid di pulau itu berukuran besar.
Kerlap kerlip lampu. | Dokumentasi Pribadi
Biasanya lapangan sudah dipatok-patok dengan menggunakan tali agar barusan shalat tertata dengan rapi. Sebagian juga sudah diberi terpal agar sajadah jamaah tidak kotor terkena rumput dan tanah. Namun untuk lebih amannya saya selalu membawa koran yang lumayan banyak dari rumah nenek mertua, sehingga kalaupun tidak kebagian lokasi yang sudah diberi terpal, tempat shalat saya tetap bersih dan kering.
Banyak Warga Asing yang Berkunjung Saat Idulfitri
Diantara para jamaah shalat Ied, satu dua kita bisa menemukan warga asing. Sebenarnya warga Belakangpadang, namun sudah berpuluh tahun lalu berganti kewarganegaraan menjadi Malaysia atau Singapura. Biasanya saat lebaran mereka pulang untuk bertemu kerabat dan keluarga.
Masjid di Belakangpadang. | Dokumentasi Pribadi
Sebenarnya warga Singapura lebih banyak ditemui saat Iduladha, dibanding Idulfitri. Pasalnya tidak sedikit dari mereka yang memilih melaksanakan ibadah kurban di Belakangpadang dibanding di negeri mereka sendiri. Alasannya tentu saja karena harga yang lebih terjangkau. Selain itu juga lebih praktis, mereka tinggal memberi uang dan datang saat hari-H.
Pemandangan dari pelantar. | Dokumentasi Pribadi
Beberapa warga asing ada juga yang senagaja datang untuk berlibur saat Idulfitri. Biasanya mereka berkeliling pulau dengan menggunakan becak. Mereka juga bercengkrama di pantai pasir putih di pulau tersebut. Lebaran tahun lalu saya sempat berpapasan dengan wisatawan asing dari Negeri Singa dan Negeri Ginseng.
Bila ada waktu, sempatkan kulineran malan di Lang Lang Laut. | Dokumentasi Pribadi
Meski jaraknya cukup dekat dari Pulau Batam, dan di luar Idulfitri pun sering kesana. Ramadan tahun ini bahkan saya sudah ke Belakangpadang hingga dua kali. Namun entah mengapa, menghabiskan Idulfitri di sana selalu berkesan. Mungkin karena terasa lebih meriah dengan suasana khas pesisir. Salam Kompasiana! (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Kurma Selengkapnya