Saat kecil dulu, Ramadan itu identik dengan bermain. Itu makanya meski harus menahan lapar dan haus selama satu hari penuh selama (hampir) 30 hari, saya selalu antusias menyambutnya. Terlebih saat sekolah dulu, setiap kali Ramadan, tidak ada kegiatan belajar-mengajar di sekolah, paling hanya ikut pesantren kilat, itupun setelah duduk di bangku sekolah menengah.
Pengajian yang diadakan sehabis shalat magrib juga diliburkan. Pengajian yang menghimpun anak-anak usia sekolah di sekitar rumah baru mulai lagi setelah Ramadan berlalu. Biasanya satu minggu setelah Idulfitri. Sehingga, masa liburan sekolah, benar-benar dimanfaatkan untuk bermain.
Selain puasa dan shalat wajib, sewaktu kecil ibadah yang rutin saya lakukan saat Ramadan adalah tarawih dan tadarus. Bila tidak ada halangan yang begitu mendesak, tarawih adalah kegiatan yang wajib dilakukan. Begitupula dengan tadarus. Terutama saat duduk di bangku sekolah dasar. Tidak ada alasan untuk mangkir.
Namun saya tetap lebih suka tadarus dibanding mengaji satu persatu di guru ngaji yang masih terhitung tetangga, yang saya lakukan setelah magrib. Alasannya kegiatan tadarus paling lama hanya satu jam. Biasanya dilakukan usai shalat tarawih. Selain itu, kita hanya membaca beberapa ayat, karena bergantian membaca dengan anak lain. Kalau mengaji biasanya hingga beberapa lembar Al-Quran.
Menjelajah Kota Sambil Bermain Sepeda
Saat saya masih duduk di bangku SD, awal 1990-an, Bogor, Jawa Barat belum seramai seperti saat ini. Sehingga dulu, usai makan sahur saya dengan beberapa teman sebaya yang masih terhitung tetangga suka "nyubuh" berkeliling kota dengan menggunakan sepeda. Saya berangkat dari Cipaku, kediaman saya saat itu, ke Batutulis, lanjut ke Lolongok, kemudian ke Jalan Suryakencana.
Sambil menggowes sepeda, kami juga membawa raket bulutangkis. Sehingga saat menemukan lapangan yang cukup luas, kami berhenti dulu dan bermain bulu tangkis hingga puas. Menjelang pagi, sebelum angkot-angkot berwarna hijau dan biru itu semakin banyak, kami sudah menuju pulang ke rumah masing-masing.
Terkadang kami juga sok-sokan bermain detektif-detektifan. Pernah dulu kami melihat saluran air salah satu rumah yang berwarna merah terang, seperti darah. Air di got kecil tersebut menggenang lumayan banyak. Kami saling menebak, jangan-jangan ada pembunuhan, jangan-jangan ada yang terluka. Haha padahal itu sisa pewarna pakaian. Si empunya rumah baru selesai mencuci, kebetulan bajunya luntur. Efek waktu kecil terlalu sering membaca buku-buku Lima Sekawan.
Sore harinya, saya kembali bermain sepeda. Namun karena jalan raya lebih ramai saat sore, saya biasanya bermain sepeda di lapangan yang sangat luas dekat rumah. Saya dan beberapa teman bermain sepeda sambil berlomba siapa yang paling cepat mengelilingi lapangan sepak bola tersebut. Menjelang magrib, kami membeli es krim dan jajanan-jajanan lain untuk berbuka puasa.
Saking seringnya bermain sepeda --dan pernah ada yang melapor ke orang tua, saya sering bermain sepeda hingga jalan raya dengan kondisi yang cukup padat kendaraan, sepeda saya sempat disita. Mama tak lagi mengizinkan saya bermain sepeda, kecuali di halaman samping rumah.
Sedih? Awalnya saja, setelah itu saya kembali larut bermain dengan teman-teman sebaya. Tidak ada sepeda ternyata tidak menyurutkan keasyikan untuk bermain saat Ramadan. Setelah sepeda disita, saya lebih sering bermain permainan tradisional dengan teman-teman yang lain --berbeda kelompok dari gank sepeda, biasanya saya bermain galasin, petak umpet, hingga gobak sodor.
Lebih Suka Berbuka dengan Mie Golosor, Dibanding Makan Nasi
Hal yang paling saya ingat saat berpuasa sewaktu kecil adalah berburu makanan berbuka puasa. Menjelang magrib, biasanya saya suka mampir ke beberapa warung tetangga untuk membeli jajanan. Kebetulan ada lumayan banyak tetangga yang menjual aneka jajanan khas Ramadan. Sehingga, tinggal pilih.
Makanan yang biasa saya beli adalah mie golosor, asoy --kerupuk besar tipis-tipis yang berwarna kuning pucat, dan bala-bala. Biasanya ketiga penganan tersebut dimakan dengan cara dicampur dengan sambal kacang. Coba deh, makan ketiga makanan itu sekaligus, lezaaat banget. Sampai saat ini saya selalu ngidam ketiga jenis makanan itu setiap kali Ramadan tiba, sayang di Batam tidak ada yang menjual.
Kalau bala-bala saya masih bisa buat sendiri, begitupula dengan sambal kacang. Asoy pun saya bisa minta tolong nenek atau saudara untuk membelikan yang mentahan, belum digoreng, lalu dikirim ke Batam, Kepulauan Riau, namun mie glosor tidak bisa. Mie tersebut cepat basi, sementara di Batam tidak ada satupun yang menjual mie jenis tersebut.
Selain tiga jenis makanan wajib tersebut, setiap Ramadan saya juga hobi jajan asinan. Dulu asinan yang dibuat salah satu tetangga enak banget. Pas rasanya, entah beliau sekarang masih jualan atau tidak. Biasanya asinan dikudap usai memakan mie glosor dan "dua temannya" tersebut.
Walhasil, perut saya selalu kekenyangan setiap kali habis berbuka puasa. Makanan-makanan tersebut tak menyisakan tempat untuk nasi dan lauk-pauk. Apalagi setelah tarawih pun, acara jajan masih berlanjut. Biasanya saya membeli tutut, atau kembali membeli asinan karena porsi saat berbuka puasa kurang banyak hehe.
Tersiksanya bila ibu saya kesiangan saat sahur. Akibat saat berbuka hanya diisi jajanan-jajanan ringan seperti itu, saat saya "terpaksa" puasa dengan kondisi perut yang tidak diisi nasi karena kesiangan saat bangun sahur, badan rasanya lemas. Saya rasanya mau tiduran saja, dan tak sabar menunggu beduk magrib.
Berbekal pengalaman sat kecil, sekarang saya membiasakan anak untuk berbuka puasa dengan nasi dan lauk pauk terlebih dahulu. Setelah itu, bebas mengudap apapun. Saya berpendapat, bila kita mengkonsumsi nasi dan lauk terlebih dahulu, perut pasti masih sanggup memakan jajanan lain. Sementara, bila urutannya dibalik, belum tentu.
Batal Puasa, Tapi Mengaku ke Orangtua Masih Berpuasa
Bandel-bandel begini saya baru berani melakukan setelah kelas lima SD. Namun setelah ketahuan orangtua tidak berani lagi. Padahal orangtua saya saat itu tidak marah, hanya meminta saya jujur. Bila memang tidak sanggup berpuasa tidak apa-apa, namun berbukalah dengan baik-baik, jangan main belakang.
Waktu itu, saya dan beberapa teman sekolah berkunjung ke salah satu rumah seorang teman. Sehabis berkunjung kami mampir ke salah satu pusat perbelanjaan. Jalan-jalan, membeli makanan untuk berbuka. Dulu minimarket dan supermarket di Bogor masih sangat terbatas, sehingga beli makanan dan minuman ringan saja, dengan merk tertentu, harus ke pusat kota.
Setelah membeli beberapa barang dan jajanan khas anak-anak, kami kembali berkeliling di sekitar pusat perbelanjaan tersebut. Entah efek haus, entah tergoda dengan beragam roti yang dipajang salah satu toko. Tiba-tiba kami membelokan langkah masuk ke dalam toko roti tersebut. Masing-masing dari kami, makanlah satu potong roti plus sebotol minuman dingin.
Setelah itu kami pulang, namun beberapa teman mampir ke rumah saya terlebih dahulu. Nah, karena merasa sudah tidak puasa. Beberapa jajanan yang dibeli di supermarket tersebut kami kudap. Agar tidak ketahuan orangtua saya, kami memakannya di samping rumah yang tertutup rimbun pohon. Namun ternyata ayah saya melihat, dan ketahuan lah kalau kami berbuka puasa diam-diam. Hehe sejak saat itu, kapok buka puasa diam-diam lagi.
Ah, selalu seru mengenang Ramadan sewaktu kecil. Sayang kenangan tersebut juga tidak bisa saya turunkan ke anak karena memang kondisi dan situasinya sudah berbeda. Kalau kenangan teman-teman Kompasianer sewaktu kecil seperti apa? Salam Kompasiana! (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H