Beruntung saya sangat dekat dengan nenek. Saat dunia saya terasa runtuh, nenek hadir mengusap kepedihan. Beliau berdiri gagah, memastikan dunia saya baik-baik saja, meski tanpa orangtua tercinta. Nenek hadir pada setiap momen hidup saya agar saya tidak merasa sendiri.
Saat saya akan menikah, nenek memastikan pesta pernikahan berjalan lancar --dan saya menikah dengan pria baik yang dapat diandalkan. Begitupula saat saya dikaruniai buah hati. Meski raganya mulai ringkih, beliau memaksakan diri berkunjung ke Batam, menempuh jarak ratusan kilometer, untuk menemani saya yang baru melahirkan.
Tetap Rajin Berpuasa dan Menghadiri Taklim
Meski usianya hampir mendekati satu abad, badannya sudah semakin “doyong”, fisik nenek termasuk kuat. Nenek masih sanggup menjalankan ibadah puasa selama satu bulan penuh. Begitu juga dengan ibadah wajib lain seperti shalat lima waktu. Bahkan tak jarang diselingi dengan beberapa shalat sunah.
Setiap Senin pagi dan Kamis sore, nenek juga masih sanggup mengikuti pengajian di salah satu majlis taklim. Untuk ukuran kita yang masih muda, jarak rumah nenek dengan majlis taklim lumayan dekat, sekitar 300 meter. Namun untuk nenek yang sudah sepuh, termasuk jauh.
Akan tetapi dua kali dalam seminggu, nenek memaksakan diri berangkat ke majlis tersebut untuk menambah ilmu, juga berkumpul dengan para tetangga dengan berjalan kaki. Menyusuri jalan secara perlahan dengan badan yang sedikit membungkuk. Terkadang berangkat sendiri, terkadang bersama dengan beberapa tetangga.
Beliau mengatakan, sengaja tetap aktif di pengajian agar tetap bisa berinteraksi dengan tetangga. Apalagi para tetangga tersebut umumnya adalah para kerabat jauh yang masih memiliki pertalian darah. Maklum di dusun yang umumnya berasal dari satu leluhur yang kemudian beranak-cucu.
Sebenarnya para tetangga tersebut kerap mampir ke rumah nenek, mengobrol di teras belakang. Sesekali ada yang sengaja membantu mengerjakan pekerjaan rumah, terkadang hanya duduk-duduk santai sambil menyesap teh, kopi, dan cemilan-cemilan ringan. Beberapa ada juga yang sambil menjajakan aneka makanan dan masakan.
Untuk menghemat tenaga, nenek kerap membeli makanan dari para tetangga tersebut. Apalagi karena masih satu kampung, bumbu dan olahan yang mereka buat juga masih satu selera. Sehingga, tanpa memasak sendiri pun nenek sudah bisa menikmati aneka makanan rumahan yang beliau suka.
Namun nenek mengatakan, berinteraksi di hari-hari biasa dengan bertemu saat pengajian suasananya jauh berbeda. Apalagi karena sudah sepuh begitu, beliau menuturkan, harus rajin-rajin “menabung” ibadah. Terlebih melalui ibadah-ibadah tersebut nenek merasa dijauhkan dari kepikunan. Pendengaran dan penglihatan juga masih berfungsi dengan baik. Saat membaca Al-Quran, hingga menisik pakaian yang tidak sengaja robek, tidak memerlukan kacamata atau alat bantu lain untuk penglihatan. Mata nenek memang masih awas, begitu juga dengan pendengaran.
Belum Pernah Berkesempatan Menemani Nenek Saat Ramadan