Tertatih, perempuan tersebut berjalan menyusuri beragam tanaman yang tumbuh di halaman depan rumah. Perlahan beliau memetik satu persatu tomat, cabai, terung, hingga daun singkong yang tumbuh subur membentuk deretan seperti pagar. Sesekali ia berhenti sejenak, meluruskan punggungnya yang mulai bungkuk.
Meski usianya semakin senja, perempuan itu tetap setia memanen beragam tumbuhan yang ia tanam di sekitar rumah. Biasanya beliau memetik aneka sayuran tersebut usai sarapan, sekadar mengisi waktu yang semakin luang pasca ditinggal sang suami berpulang sekitar empat tahun lalu.
Sayuran itu biasanya beliau manfaatkan untuk keperluan memasak sehari-hari. Bila hasil "panen" lumayan banyak, aneka tomat, cabai, kunyit, jahe, hingga jambu batu, ia bagikan ke tetangga sekitar. Bila masih tetap berlebih, beliau sisihkan untuk sebagian anak-cucu yang tinggal terpisah sejauh puluhan kilo meter.
Setelah dipetik, sayuran-sayuran tersebut ia beri wadah khusus yang terbuat dari anyaman bambu. Tujuannya agar lebih awet disimpan, walaupun tidak dimasukan ke dalam lemari es. Tomat, honje, cabai rawit, cabai merah tersebut digeletakan begitu saja. Meski demikian tetap segar seperti baru dipetik, walaupun sudah disimpan dua hingga tiga hari.
Hidup sendirian jauh dari anak-cucu pada usia 88 tahun memang tidak mudah, namun beliau terlihat sangat menikmatinya. Ia merasa bebas melakukan apapun yang ia suka di rumah yang sudah beliau diami sejak puluhan tahun lalu. Apalagi sang buah hati rutin berkunjung melihat kondisinya secara langsung, atau setidaknya menelepon secara berkala.
Meski sudah diminta berkali-kali, ia tidak pernah mau tinggal bersama di rumah anak atau cucu yang tersebar di beberapa kota. Ia lebih suka tinggal sendirian di rumahnya yang asri. Alasannya cukup sederhana, ia tetap ingin beraktivitas dengan leluasa agar badannya tetap bugar --memasak setiap pagi atau sekedar mengelap beragam perabotan rumah.
Saat tinggal di rumah anak atau cucu, beliau biasanya hanya diminta duduk manis. Anak atau cucunya tak pernah mengizinkan ia untuk mengerjakan pekerjaan rumah. Beliau pun tahu diri, dengan kondisi badanya yang semakin bungkuk tergerus usia, tak etis rasanya bila ia sibuk memasak untuk anak-cucu atau membersihkan rumah sang anak. Oleh karena itu, saat keluarga dan kerabat memaksanya untuk tinggal bersama, beliau selalu menolak secara halus.
Nenek Tersayang Pengganti Ibunda
Perempuan itu adalah nenek saya. Sosok yang paling saya sayang, selain suami dan anak. Saya selalu berdoa agar beliau diberi kesehatan dan umur panjang. Setiap tahun, resolusi saya yang paling utama bukan piknik ke luar negeri atau membeli barang impian, namun diberi kesempatan untuk menghabiskan lebih banyak waktu dengan beliau.
Setiap tahun saya selalu sengaja menyediakan waktu khusus untuk menemani nenek beraktivitas di rumah kesayangannya. Senang rasanya bisa menemani nenek memasak, merapikan rumah, hingga mendengarkan secara langsung beragam cerita mengenai aktivitasnya sehari-hari.
Sejak kecil saya memang dekat dengan nenek. Kedekatan itu semakin kuat saat ibu saya meninggal sekitar delapan tahun lalu --disusul ayah dua tahun kemudian. Kehilangan orangtua dalam waktu yang berdekatan membuat saya drop. Apalagi saya terlahir sebagai anak tunggal, tidak memiliki adik atau kakak yang bisa diajak berbagi kesedihan.