Setelah itu, setiap ada tamu perusahaan yang lumayan akrab dengan beliau yang berkunjung ke kantor --apalagi yang ber-ras bule, dan saya kebetulan sedang ada disekitar situ, pasti menceritakan tragedi stand up comedy tersebut dengan penuh tawa. Kebiasaan tersebut berakhir saat beliau pensiun. Bila diingat kejadian saat itu, rasanya jadi lucu, padahal saat kejadian saya sedikit "keselek" juga, sampai-sampai gagal makan buka puasa dengan tenang.
Ramadan, Jangan Coba Berbohong
Ini kejadian saat saya masih sekolah. Sejak masih mengenakan seragam putih-merah hingga putih abu, saya selalu mendapat tugas untuk mengisi lembar buku mengenai kegiatan yang dilakukan selama Ramadan, mulai dari salat wajib, inti sari dari sebuah tausyiah, hingga salat tarawih.
Saat masih duduk di bangku SD lumayan rajin tarawih, setiap malam buku Ramadan tersebut dibawa untuk ditandatangani imam yang memimpin salat tarawih. Namun, mulai memasuki jenjang SMP, salat tarawih yang dikerjakan mulai bolong-bolong. Waktu itu, umumnya enggan ikut tarawih karena tergoda ingin menonton sinetron.
Kebiasaan tersebut berlanjut hingga SMA. Saat itu, saya tetap tarawih, namun ada malam-malam tertentu yang tidak. Biasanya karena bertepatan dengan jadwal sinetron favorit. Beruntung, dulu penayangan sinetron tidak setiap hari seperti saat ini, kalau tidak bisa bolos tarawih setiap hari hehe.
Walaupun tidak tarawih, namun buku Ramadan tersebut tetap harus diisi kan. Nah agar tidak ada yang kosong melompong terlalu banyak, saya palsukan saja tanda-tangan sang imam. Ada yang saya palsukan dari tanda tangan imam sebelumnya, ada juga yang saya karang-karang namanya.
Namun saya lupa, saat SMA guru agama yang mengajar di kelas saya, rumahnya persis berada di sebelah rumah. Alhasil beliau juga salat di masjid tempat saya menjalankan tarawih. Sebenarnya ada dua tempat tarawih di sekitar rumah, yang satu untuk perempuan, satu untuk laki-laki.
Namun tempat tarawih untuk perempuan selalu penuh karena tempatnya yang lebih kecil,akhirnya sebagian perempuan ada yang tarawih di masjid yang khusus untuk salat tarawih laki-laki. Nah, karena saya tarawihnya bolong-bolong, agar tidak ketahuan tak shalat tarawih, akhirnya beberapa saya tulis saya tarawih di tempat yang khusus disediakan untuk laki-laki.
Saat mengumpulkan buku Ramadan, semua berjalan lancar. Namun, beberapa hari kemudian saat berpapasan dengan sang guru agama, saya baru "kena batunya". Pak guru agama itu bertanya, sering ya saya shalat tarawih di  masjid yang diperuntukan untuk laki-laki. Saya bilang sering, terus beliau bilang, kok tidak ada tanda tangan saya.
Haha ternyata ada hari-hari tertentu yang saya isi dengan nama dan tanda tangan "imam" lain, imam yang sebenarnya ternyata guru agama saya itu. Saat itu saya hanya bisa terbengong-bengong kaget, bercampur takut dan malu, akibat ketahuan berbohong. Ah, seandainya saja lembaran itu dibiarkan kosong, mungkin lebih bijak. Salam Kompasiana! (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H