Ramadan beberapa tahun lalu saya pernah dipaksa ikut lomba stand up comedy pada acara buka puasa bersama (mantan) kantor. Saat itu, setiap bagian harus mengirimkan satu perwakilan untuk tampil di panggung. Â Kala itu, (sialnya) sayalah yang terpilih untuk mewakili.
Setelah menolak dengan berbagai cara, tetapi tidak berhasil, akhirnya dengan pasrah saya ikut juga lomba tersebut. Ada 10 peserta. Semua perserta dikenal  di lingkungan kantor suka melawak, kecuali saya. Stress lah saya. Saya sebenarnya hobi becanda, terkadang "nyeletuk" spontan, tapi tidak untuk melawak.
Saya semakin stress, karena beberapa menit sebelum acara belum juga menemukan materi yang pas. Otak rasanya blank. Apalagi melihat panggung yang begitu besar. Belum lagi melihat tatapan mata para karyawan yang lebih dari 500 orang, juga para tamu undangan dari instansi pemerintah.
Terlebih, sebelum saya tampil dia atas panggung, kantor menampilkan penceramah yang sangat lucu. Beliau ustadz, tapi sumpah tausyiah yang beliau sampaikan sangat lucu, lebih menggelitik daripada komedian. Saat itu saya berpikir, selesailah saya jadi bulan-bulanan di atas panggung karena tidak tahu harus berbicara apa.
Saat akhirnya tiba giliran saya naik ke atas panggung, saya menguatkan hati dengan "mempermalukan" diri sendiri --seperti umumnya para komedian. Saya bahas mengenai beragam penyebutan nama saya yang suka diucapkan orang berbeda-beda. Tanpa diduga, para penonton tertawa.
Saya mulai sedikit percaya diri, tetapi tetap deg-degan karena bila hanya membahas mengenai nama, paling hanya satu hingga dua menit, padahal waktu yang disediakan panitia lima hingga 10 menit. Namun, tiba-tiba keajaiban terjadi. Saya melihat direktur utama perusahaan meninggalkan kursi. Sepertinya beliau akan ke toilet.
Tiba-tiba saja ide itu terlintas. Memparodikan pidato direktur utama perusahaan yang seorang bule totok. Direktur utama tersebut tidak bisa berbahasa Indonesia karena orang Inggris asli yang istrinya berkewarganegaraan Filipina, tetapi untuk setiap acara perusahaan selalu berusaha berpidato dengan menggunakan bahasa Indonesia pada kalimat pembuka.
Berpikir bapak itu akan berada di toilet selama lebih dari lima menit, saya memberanikan diri memparodikan gaya beliau, termasuk intonasi saat berbicara. Kebetulan saya hapal pasti gaya yang selalu ditampilkan, karena kerap ikut acara-acara beliau, baik di lingkungan kantor, maupun di luar.
Ide tersebut ternyata berhasil. Seluruh orang yang ada di ruangan tertawa tanpa henti. Saya pun dengan bangga turun dari panggung, kemudian kembali lagi ke atas panggung untuk menerima piagam dan uang tunai sebesar Rp2 juta, karena berhasil menjadi juara pertama pada lomba stand up comedy tersebut.
Namun saat turun panggung usai menerima hadiah yang diserahkan salah satu perwakilan tamu undangan, saya merasa mau pingsan. Sang direktur utama tiba-tiba menghampiri saya mengucapkan selamat. Beliau bilang saat itu ia memang berniat ke toilet, namun saat mendengar suara saya langsung mengurungkan niat. Beliau akhirnya duduk paling belakang, melihat saya tampil.
Beruntung bapak itu orangnya lumayan asyik, beliau tidak marah. Ia malah senang katanya melihat saya memparodikan dirinya dan melihat semua karyawan tertawa. Setengah becanda, ia juga bilang seharusnya saya membagi setengah hadiah yang saya dapat dari lomba tersebut dengan beliau.