Ramadan seperti dua sisi mata uang. Pada satu sisi sangat ditunggu-tunggu umat muslim karena merupakan bulan yang penuh berkah --bulan untuk mendulang pahala yang lebih melimpah. Namun, di sisi lain seolah menghadirkan mimpi buruk, terutama bagi ibu rumah tangga dengan uang belanja bulanan yang sudah terencana.
Maklum sudah menjadi rahasia umum, memasuki bulan Ramadan harga kebutuhan pokok umumnya mulai merangkak naik. Harga kebutuhan pokok biasanya semakin melonjak mencapai titik maksimal beberapa hari menjelang Idulfitri. Beberapa produk harganya bahkan naik lebih dari 100 persen dari harga normal.
Tak hanya saat Ramadhan dan Idulfitri, menjelang hari raya lain, beberapa kebutuhan pokok juga biasanya dijual lebih mahal. Alasan utamanya tentu saja karena permintaan masyarakat terkait kebutuhan pokok itu meningkat drastis, sementara persediaan "di pasar" tidak sebanding dengan permintaan.
Kejadiaan tersebut seolah terus berulang setiap tahun. Meski pemerintah pusat maupun daerah melakukan beragam upaya untuk menekan lonjakan harga menjelang hari-hari besar keagamaan, usaha tersebut seolah tidak maksimal. Untuk produk-produk tertentu harga yang dijual di pasar tetap tidak terkendali.
Padahal, sebenarnya ada banyak hal yang bisa dilakukan pemerintah untuk menekan harga kebutuhan pokok menjelang hari-hari istimewa. Berikut diantaranya.
Lakukan Pemetaan Produk dan Kebutuhan
Sebelum hari raya menjelang, pemerintah pusat sebaiknya berkoordinasi dengan pemerintah daerah melakukan pemetaan. Produk apa saja yang dibutuhkan di setiap daerah di Indonesia menjelang hari raya keagamaan, berapa banyak kebutuhan produk tersebut. Setelah itu, lakukan juga pemetaan daerah mana saja penghasil produk yang dibutuhkan tersebut. Berapa banyak produk yang kira-kira sanggup dihasilkan.
Ada baiknya pemerintah pusat dan pemerintah daerah melakukan pemetaan secara berkala --tak hanya menjelang hari raya. Sehingga kebutuhan pokok selalu tersedia dengan cukup, tidak kekurangan, namun juga tidak berlebihan. Selain itu dipersiapkan dari jauh-jauh hari. Sehingga saat dibutuhkan produk tersedia.
Bila memungkinkan, ada baiknya juga membagi setiap wilayah berdasarkan produk unggulan yang dihasilkan. Misalkan, Cianjur, Jawa Barat, fokus memproduksi beras, Medan, Sumatera Utara, fokus memproduksi bawang merah, Maluku fokus menghasilkan ikan-ikan segar. Â Produk-produk tersebut kemudian disalurkan ke berbagai daerah di Indonesia.
Daerah-daerah tersebut harus fokus menghasilkan satu produk utama untuk menopang kebutuhan nasional. Meski demikian, bukan berarti tidak menghasilkan produk yang lain. Hanya saja produk unggulan harus lebih diutamakan, sehingga kebutuhan nasional dapat terpenuhi melalui petani, peternak, dan nelayan dalam negeri.
Mungkin ada baiknya setiap wilayah ditunjuk koordinator-koordinator secara khusus. Para koordinator tersebut harus berkoordinasi dengan perwakilan pemerintah pusat dan para petani/peternak/nelayan di setiap daerah dimana mereka bertugas, selain itu merencanakan apa yang harus dihasilkan, dan berapa banyak.
Produk yang dihasilkan harus sesuai dengan kebutuhan, jangan sampai kekurangan yang nantinya menyebabkan harga melambung, atau justru kelebihan yang justru akan merugikan si petani/peternak/nelayan.
Memastikan Kebutuhan Pokok Terdistribusi dengan Baik
Salah satu kendala stabilitas harga kebutuhan pokok di Indonesia adalah wilayah yang begitu luas. Selain itu infrastruktur juga belum seluruhnya mendukung. Beberapa wilayah masih ada yang sulit dijangkau karena akses jalan yang kurang memadai, atau bahkan hanya dapat diakses melalui jalur laut atau udara karena tidak ada jalur darat.
Sambil menunggu optimalisasi infrastruktur transportasi yang saat ini sedang digalakan pemerintah, mungkin ada baiknya mencari alternatif lain agar kebutuhan pokok tetap terdistribusi dengan baik dan terjangkau.
Bila memungkinkan pemerintah pusat mungkin ada baiknya melakukan subsidi, memberlakukan satu harga untuk satu produk di seluruh Indonesia, seperti halnya harga untuk bahan bakar minyak. Bila sulit memberlakukan untuk seluruh produk, mungkin dapat dilakukan untuk produk-produk tertentu yang sangat krusial, seperti beras, daging sapi, dan barang sejenis lainnya yang menyumbang inflasi cukup signifikan.
Tindak Penimbun dengan Tegas
Pemerintah juga harus awas mengawasi para distributor. Jangan sampai ada distributor nakal yang menimbun barang kebutuhan pokok sehingga barang tersebut menjadi langka dan menyebabkan harga meroket, terutama untuk daerah-daerah yang tidak dapat menghasilkan barang kebutuhan pokok secara mandiri.
Oleh karena itu, pemerintah harus tahu berapa banyak barang kebutuhan pokok di suatu daerah, berapa banyak yang sudah disalurkan. Apakah sudah terdistribusi dengan baik kepada masyrakat melalui pasar atau pusat perbelanjaan. Jangan sampai ada kartel-kartel yang bermain sehingga merugikan masyarakat.
Bila terbukti ada oknum yang bermain dengan menimbun barang kebutuhan pokok, sebaiknya segera ditindak tegas, hukum seberat-beratnya agar menimbulkan efek jera dan tidak diikuti oleh oknum lain.
Dorong Masyarakat Berbelanja Secukupnya
Lakukan edukasi dan sosialisasi agar masyarakat tidak berlebihan membeli suatu barang. Ada kalanya karena mind set sudah terpatri, menjelang hari raya harga melonjak naik, mending berbelanja banyak-banyak jauh-jauh hari sebelumnya. Barang bisa disimpan di gudang atau di kulkas.
Pemerintah harus dapat meyakinkan masyarakat bahwa barang akan tersedia dengan cukup dengan harga normal. Sehingga, masyarakat tidak perlu menimbun barang kebutuhan pokok yang ujung-ujungnya justru akan membuat harga melonjak tinggi akibat pembelian yang besar-besaran pada waktu yang bersamaan.
Selain itu juga mungkin perlu diberikan edukasi agar masyarakat jangan terlalu berlebihan mengkonsumsi suatu produk, meski saat hari raya. Ada baiknya membeli secukupnya. Jangan sampai memasak berpuluh kilo daging untuk santapan hari raya, ujung-ujungnya mubazir tidak habis semua.
Memasak Sajian Khas Daerah
Lebaran umumnya identik dengan opor ayam dan rendang daging. Namun untuk stabilitas harga, ada baiknya umat muslim tidak hanya fokus mengolah daging untuk suguhan open housesaat Idulfitri maupun Iduladha. Bila daerah umat muslim tersebut kaya akan ikan air tawar seperti lele atau mujair, mengapa saat Ramadan dan Idulfitri memaksakan memasak rendang. Mengapa tidak memasak pesmol Mujair? Toh sama-sama enak bila dicampur dengan ketupat.
Begitupula dengan daerah yang kaya akan ikan/produk laut. Mengapa saat lebaran harus memasak opor ayam? Mengapa tidak memasak kepiting asam pedas atau cumi saus pedas, kan sama-sama lezat untuk disuguhkan kepada para tamu undangan saat open house Idulfitri?
Bila setiap wilayah sudah terbagi mengkonsumsi makanan jenis lain saat lebaran, otomatis harga daging juga akan lebih stabil. Selain itu, juga akan lebih tertantang untuk mengolah hasil alam yang dihasilkan setiap daerah menjadi suatu penganan yang berbeda dan khas. Bukan tidak mungkin penganan tersebut malah akan menghasilkan suatu ciri khas dan menjadi wisata kuliner baru. Toh di Arab Saudi sana --yang notabene tempat Nabi Muhammad SAW dilahirkan-- Â juga tidak ada tradisi saat Idulfitri harus memasak rendang atau opor ayam.
Yuk, kita bantu pemerintah untuk menjaga stabilitas harga. Kalau bukan kita, siapa lagi, kalau bukan sekarang kapan lagi? Salam Kompasiana! (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H