Pertanyaan tersebut sempat beberapa kali muncul dipikiran saya. Apalagi saat saya masih mengajar di salah satu perguruan tinggi, ada beberapa mahasiswa yang mengajukan pertemanan di media sosial. Mungkin mereka menelusuri dari nama atau alamat surat elektronik yang saya bagikan untuk kepentingan perkuliahan.
Jujur saya termasuk mahasiswa angkatan lawas. Saat saya kuliah dulu, media sosial yang cukup booming di Indonesia adalah friendster. Namun media sosial tersebut tak semeledak facebook. Umumnya hanya digunakan para anak muda, tak begitu banyak para profesional yang menggunakan media sosial tersebut.
Saat facebook mulai dikenal para netizen Indonesia, saya sudah lulus kuliah dan menyandang gelar sarjana. Sehingga, memang tidak ada kesempatan untuk berteman dengan para pengampu mata kuliah yang saya ikuti saat kuliah. Kalaupun akhirnya berteman, itu terjadi setelah beberapa tahun kemudian.
Lalu, bila ditanya tepat atau tidak berteman di media sosial dengan dosen yang sedang mengajar mata kuliah yang kita ambil, mungkin jawabannya adalah tetap-tepat saja. Apalagi bila tujuannnya baik. Salah satunya untuk lebih memudahkan komunikasi antara dosen tersebut dengan kita selaku mahasiswa terkait perkuliahan.
Atau ingin mengikuti beragam informasi yang kerap dibagikan si dosen melalui media sosial yang beliau miliki. Tak sedikit dosen yang membagikan tulisan yang inspiratif dan informatif. Terkadang malah ada yang mengumumkan terkait perkuliahan melalui media sosial, khususnya facebook. Mungkin tujuannnya agar lebih mudah berkomunikasi dengan mahasiswa.
Namun menurut saya pribadi, akan menjadi blunder bagi kita pribadi sebagai mahasiswa, bila berteman dengan dosen namun seringkali mengumbar kegalauan hati di facebook. Apalagi terkait perkuliahan, menyangkut dosen yang berteman dengan kita di facebook lagi. Jadi memang harus lebih menjaga sikap.
Hal yang sama berlaku buat dosen tersebut. Bila media sosial hanya digunakan untuk posting hal-hal umum yang tidak mencerminkan kegalauan hati mungkin tidak masalah berteman dengan mahasiswa yang sedang mengambil mata kuliah yang diajar. Malah mungkin bagus ya, untuk meningkatkan engagement.
Namun apa jadinya bila sang dosen kerap menuliskan isi hatinya yang galau, rasa sedih saat diputuskan si pujaan hati misalkan. Atau malah terlalu meluap-luap mengungkapkan isi hati saat sedang kasmaran dengan seseorang di sana. Apalagi bila dosen tersebut sudah "berumur" walaupun mungkin masih single. Bukannnya malah jadi gosip ya. Malas banget kan digosipkan oleh mahasiswa-mahasiswa di belakang kita.
Sebelum memutuskan untuk berteman, mungkin memang ada baiknya memikirkan baik dan buruknya. Hal yang paling penting sih memang menjaga sikap kita di media sosial, sehingga kita dapat berteman dengan siapa saja, tanpa harus takut image kita sebagai pengajar terganggu. Toh pada dasarnya, bersosialisasi di media sosial dan dunia nyata adalah sama, hanya medianya saja yang berbeda.
Kalau Kompasianer sendiri (dulu) lebih memilih berteman dengan dosen atau tidak? Kalau saya diberi pilihan itu, mungkin tidak berteman dulu sampai akhirnya saya tidak lagi mengambil mata kuliah yang diampu oleh dosen tersebut. Setelah tidak lagi diajar, baru mengajukan pertemanan.
Begitupula saat posisi saya menjadi seorang dosen, pengajuan pertemanan dari mahasiswa yang saya ajar akan saya tangguhkan hingga mereka selesai mengambil mata kuliah yang saya ampu. Maklum, saya suka menulis status suka-suka hehe. Jadi biar aman, memilih tidak berteman dulu dengan mereka. Salam Kompasiana! (*)