Saat pengunjung berlabuh di Pelabuhan Belakangpadang, Batam, Kepulauan Riau, mata langsung dimanjakan dengan beningnya laut yang menghampar. Belum lagi sepoinya angin yang bertiup. Namun sayang, "pemandangan surga" tersebut sedikit terganggu dengan "sampah setumpuk".
Pulau Belakangpadang. | Dokumentasi Pribadi
Saat sampai di tengah pelantar, kita akan mulai melihat hamparan sampah yang tidak sedap dipandang. Plastik-plastik yang sudah tidak terpakai tersebut bertumpuk diantara pelantar dan bangunan-bangunan yang dijadikan warga sekitar sebagai toko untuk menjual aneka kuliner, obat, mainan, hingga barang-barang kebutuhan sehari-hari.
Bila dilihat dari titik ini masih terlihat bersih lautnya, beberapa meter dari sini baru terlihat tumpukan sampah. | Dokumentasi Pribadi
Seperti daerah pesisir pada umumnya, pusat keramaian Pulau Belakangpadang memang berada di areal sekitar pelabuhan. Saat memasuki pulau yang sempat menjadi induk Kota Batam itu, kita langsung disambut toko-toko kelontong, kedai kopi, serta penjual sayur dan ikan segar.
Tumpukan sampah yang mengganggu di areal Pelabuhan Belakangpadang. | Dokumentasi kitabisa.com
Kondisi tersebut sepertinya cukup menjawab dengan gamblang mengapa banyak tumpukan sampah di gerbang utama Pulau Belakangpadang. Daerah pemukiman nelayan biasa saja cukup banyak sampah yang berserak --karena masyarakat pesisir umumnya menganggap laut sebagai tempat sampah raksasa yang bisa untuk membuang barang apapun yang tidak lagi digunakan, apalagi ini memang jelas-jelas dijadikan sebagai pasar dan pusat perdagangan. Tahu sendiri kan volume sampah pasar seperti apa.
Saat surut kita dapat melihat aneka sampah, terutama di titik-titik yang berdekatan dengan rumah tinggal. | Dokumentasi Pribadi
Masih Banyak yang Membuang Sampah ke LautBelakangpadang merupakan pulau kecil yang padat penduduk. Itu makanya karena keterbatasan lahan, rumah-rumah di sana tidak hanya dibangun di atas tanah, namun juga di atas laut. Mereka umumnya menggunakan tiang beton, atau kayu khusus yang cukup kuat untuk menahan gerusan air laut.
Meski tidak semua, rumah-rumah yang dibangun di atas laut tersebut juga umumnya langsung membuang beberapa limbah rumah tangga ke laut. Mereka biasanya membangun bak cuci piring saja, atau wastafel saja, tanpa jaringan pipa untuk membuang bekas air cucian ke tempat pembuangan "limbah rumah tangga". Air cucian tersebut otomatis langsung mengalir ke laut.
Kondisi Pantai Nongsa, Batam, Kepulauan Riau. Masih saja ada pengunjung yang membuang tempat air mineral bekas sembarangan. | Dokumentasi Pribadi
Itu tidak seberapa. Mirisnya tak sedikit yang membuang barang-barang yang tidak lagi digunakan ke laut. Saat laut pasang, "plung" sampah-sampah di lempar ke laut. Sehingga, rumah si pembuang sampah terlihat selalu bersih, karena usai dibuang, sampah tersebut langsung terbawa arus.
Pembuang sampah tersebut mungkin tidak pernah berpikir, sampah-sampah itu hanya berpindah tempat. Sampah-sampah itu tidak pernah hilang, namun bertumpuk di suatu tempat. Hingga akhirnya bukan tidak mungkin kalau suatu hari nanti, kembali hanyut ke lokasi tempat ia tinggal.
Terutama bila sampah-sampah yang dibuang merupakan jenis barang yang mengapung dan mudah berpindah tempat, seperti bekas kemasan makanan, kantung plastik, styrofoam, hingga (maaf) pembalut bekas pakai.
Selain sampah plastik, juga banyak sampah-sampah kayu. Ini di Pulau Dedap, Batam, Kepulauan Riau.| Dokumentasi Pribadi
Sampah-sampah plastik yang bertumpuk di bibir pantai, tak hanya terjadi di Belakangpadang, namun juga di daerah-daerah lain. Berdasarkan studi yang dilakukan
Ocean Conservancy dan McKinsey Center for Business and Environment, setiap tahun rata-rata ada 8 juta ton sampah plastik yang dibuang ke laut.Â
Lihat Inovasi Selengkapnya