Akibat satu dan lain hal (baca: malas memasak), beberapa waktu terakhir ini saya lebih sering membeli makanan jadi di kedai-kedai makan sekitar rumah. Kebetulan di lingkungan tempat saya tinggal cukup banyak tempat makan yang menawarkan beragam menu. Mereka umumnya berjualan di ruko-ruko yang berderet di pinggir jalan.
Menu-menu yang ditawarkan kedai-kedai itu cukup variatif. Rasanya juga lezat dengan harga yang masih terjangkau kantong. Mungkin karena target pasar mereka adalah para penghuni kostan, baik pelajar, mahasiswa, maupun pekerja, yang cukup banyak tersebar di pemukiman tempat saya tinggal.
Namun sayangnya, meski menawarkan makanan-makanan lezat dengan olahan yang cukup variatif, beberapa kedai tersebut abai dari sisi pelayanan. Sehingga, terkadang saya malas untuk membeli makanan lagi di beberapa kedai tersebut, satu-dua kedai malah sudah saya black list untuk tidak lagi saya kunjungi.
Tidak Menerapkan Sistem, First Come, First Serve
Saya biasanya membeli makanan untuk satu keluarga --saya, suami, dan anak. Oleh karena itu, saya lebih sering membeli makanan untuk dibawa pulang, bukan makan di tempat. Selain lebih hemat --karena tidak harus membeli minum, juga rasanya tidak nyaman bila terlalu sering "bedol desa" hanya untuk menikmati sepiring makanan, walaupun jarak tempat makan itu hanya beberapa meter dari rumah.
Namun justru karena lebih sering membeli makanan dibungkus, saya sempat beberapa kali mengalami kejadian yang kurang mengenakan. Menunggu hingga berjam-jam hanya untuk seporsi ayam kuluyuk, atau sepotong ayam bakar. Akibat pelayanan yang amburadul dari kedai makan tersebut.
Berjarak beberapa meter dari rumah, ada satu rumah makan yang sangat bisa diandalkan saat saya sebagai ibu rumah tangga malas memasak. Kedai tersebut lumayan besar, bersih, makanan yang ditawarkan juga lezat dengan harga yang masih "ramah kantong".
Namun sayang saat pengunjung semakin ramai, si pengelola abai dari sisi pelayanan. Ia tidak mengatur antrean untuk pesanan makanan, terutama makanan yang untuk dibawa pulang. Ia menyerahkan begitu saja kertas pesanan yang ditulis pengunjung ke si juru masak. Nanti si juru masak yang akan menentukan pesanan apa yang akan lebih dulu dibuat.
Seringnya, si juru masak tersebut mendahulukan pesanan yang paling mudah dibuat, seperti nasi goreng atau mie goreng. Padahal terkadang, orang yang memesan nasi goreng tersebut baru datang --pesanan itu pun malah terkadang tidak ditulis, hanya diteriakan begitu saja oleh si pengelola yang merangkap sebagai kasir.
Koki tersebut juga sangat sering mendahulukan pesanan orang-orang yang berdiri di sekitar tempat ia memasak. Kebetulan kedai tersebut menempatkan dapur untuk memasak di depan dengan ruangan yang terbuka. Alhasil, orang yang lebih dulu memesan seringnya harus menunggu lebih lama, karena lebih memilih duduk di tempat yang disediakan, atau karena memesan makanan yang dianggap si koki lumayan ribet.
Saya pernah harus menunggu hingga tiga jam, sampai-sampai saat saya tiba di rumah suami sedang memanaskan motor untuk bersiap menyusul saya ke tempat makan tersebut. Suami khawatir terjadi apa-apa dengan saya di jalan, karena masa hanya memesan makanan rumahan hingga menghabiskan waktu berjam-jam. Apalagi karena merasa jaraknya dekat dari rumah, saat itu saya tidak membawa ponsel.
Kejadian tersebut tidak hanya sekali, namun terus berulang. Saya sempat memberikan masukan, secara baik-baik maupun tidak baik-baik, tetapi tetap saja seperti itu. Alhasil karena malas makan hati, saya akhirnya tidak pernah lagi berbelanja di kedai makan tersebut, meski terkadang kangen mencicipi mie siramnya yang lumayan enak.
Setelah beberapa waktu berlalu, saya sempat kembali berbelanja di kedai makan tersebut karena katanya pengelolanya sudah berganti, namun ternyata pelayanannya sama saja karena juru masaknya masih sama. Akhirnya, saya pilih-pilih waktu bila membeli makanan disana, bila ramai saya lebih memilih membeli makanan di tempat lain.
Saya sebenarnya tipikal pelanggan yang tidak terlalu bermasalah bila menunggu pesanan dalam waktu yang cukup lama. Namanya juga kedai yang ramai dikunjungi pembeli, kalau harus menunggu ya sudah risiko. Akan tetapi bila menunggu lama karena diselak antrian saya tidak suka. Seharusnya yang lebih dulu datang, lebih dulu dilayani.
Tidak Menerapkan "Etika" yang Baik
Ada satu tempat makan lagi yang menjadi andalan saya kala tidak sempat (atau malas) memasak. Pada hari-hari tertentu, saya malah bisa membeli makanan untuk makan siang dan makan malam di tempat tersebut. Sehingga, saya bisa beberapa kali bolak-balik ke tempat makan itu.
Namun kini tidak lagi, saat saya memergoki si pekerja kedai makan menjatuhkan ayam goreng yang saya pesan ke lantai. Pekerja tersebut sepertinya tidak hati-hati saat mengambil ayam tersebut dari penggorengan, sehingga ayamnya meluncur ke lantai yang ia injak yang warnanya sudah berubah dari putih menjadi kecoklatan karena terpapar tanah.
Pekerja tersebut terlihat gelagapan, namun kemudian ia kembali tenang dan mengambil ayam tersebut. Awalnya saya kira akan ia buang, namun ternyata ia masukan ke styrofoam. Sambil cengar-cengir dengan pekerja yang satunya lagi, ia kemudian memanggil saya, mengatakan bahwa makanan yang saya pesan sudah siap.
Sontak saya emosi, namun berusaha tenang. Apalagi saya juga sudah menandai dari jauh styrofoam mana yang berisi ayam goreng yang tadi jatuh. Setelah membayar semua pesanan, lalu saya bilang ke pekerja tersebut, "Tadi ayam ini sudah jatuh ke lantai kan? Kenapa masih dikasih ke saya?"
Tanpa menunggu reaksi dari pekerja tersebut, langsung saya lempar ayam itu ke tempat sampah yang tak jauh dari sana. Meski tidak saya makan, sengaja ayam goreng itu saya bayar dan saya buang ke tong sampah. Bila saya biarkan, khawatir nanti diberikan ke pelanggan lain.
Pekerja kedai itu terlihat tenang karena merasa saya tidak akan tahu bahwa ayam tersebut jatuh. Saat ia menyiapkan masakan yang saya pesan, saya memang sedang asik memainkan ponsel. Sehingga dia kira, meski tempat masak berada di depan, dan saya bisa melihat apapun yang dikerjakan juru masak dan para pekerja yang bekerja di kedai tersebut, saya tidak memperhatikan. Dia tidak tahu kalau ibu-ibu bisa multitasking, walaupun tangan sibuk memainkan ponsel, mata bisa merambah kemana-mana.
Saya tidak pernah lagi berbelanja di kedai tersebut. Saya merasa, saat petugas kedai berada di jangkauan mata pelanggan saja bisa sejorok itu, apalagi bila jauh diluar jangkauan mata si pelanggan. Mungkin bisa lebih jorok dari itu. Walaupun mungkin kenyataannnya tidak seperti itu.
Sebagai seorang pelanggan saya merasa, setiap kedai makan sudah seharusnya memberikan pelayanan yang baik. Bila ada makanan yang jatuh ke lantai, jangan lagi diberikan ke pelanggan. Cobalah ber"etika" yang baik. Saya yakin siapapun tidak akan ada yang mau, membeli makanan yang sudah jatuh ke lantai.
Terlalu Kepo dengan Urusan Pribadi Pelanggan
Selain dua tempat makan tersebut, ada satu tempat makan lagi yang dulu menjadi favorit saya hunting makanan lezat dengan harga terjangkau. Tempat makan ini lumayan bagus, konsepnya cafe, ada wifi, televisi besar yang memutar beragam hiburan, hingga pengatur suhu ruangan.
Juruk masak di tempat makan tersebut adalah anak si pemilik yang katanya sempat menimba ilmu terkait masak-memasak di negeri tetangga, sehingga hasil masakannya tak perlu diragukan. Apalagi harga yang ditawarkan juga sangat-sangat terjangkau, karena target market-nya adalah anak-anak sekolah menengah yang tak jauh dari tempat makan itu.
Namun sayang, menurut saya pribadi si pemilik tempat makan tersebut terlalu kepo ingin tahu urusan pribadi si pelanggan. Mungkin sebenarnya ia ingin terlihat lebih akrab dengan siapapun yang menikmati waktu di tempat makan yang ia miliki, namun menurut saya jadinya terlalu berlebihan dan membuat pengunjung merasa tidak nyaman.
Awalnya, saat saya makan di sana, ia bertanya saya dan suami tinggal dimana, menurut saya ini masih wajar karena mungkin kami masih terhitung tetangga. Namun lama-lama pertanyaannnya melebar, hingga bertanya kapan anak saya lahir --mungkin berharap dirayakan ditempat makan yang ia kelola, hingga kenal atau tidak dengan si-A, si-B, bla bla, bla, pernah juga sampai menawarkan MLM.
Hadeeh padahal kami kesana beneran ingin makan, tidak mau diusik dengan pertanyaan-pertanyaan seperti itu. Akhirnya karena malas berbasa-basi, saya tidak pernah lagi berkunjung kesana. Biarlah kami mencari tempat makan lain yang walaupun pengelolanya masih terbilang tetangga, tetapi tidak sekepo itu.
Ah, itu hanya sekelumit pengalaman pribadi saya yang sedikit kurang beruntung dengan satu-dua tempat makan. Saya menulis ini, bukan ingin memojokan tempat makan, justru ingin agar tempat makan yang lain yang jadi langganan saya tidak seperti itu. Saya yakin, lebih banyak tempat makan  di luar sana yang pelayanannnya lebih bagus dan profesional. Salam Kompasiana! (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H