Hari sudah beranjak siang, saat saya dan rombongan famtrip Pemerintah Kota Tanjungpinang bertolak ke Pulau Penyengat, Kota Tanjungpinang, Provinsi Kepulauan Riau, pertengahan 2017 lalu. Matahari nyaris sudah berada tepat di atas kepala. Sinarnya memancar, berkilau keemasan.
Meski demikian, udara tidak begitu menyengat. Semilir angin khas daerah pesisir, ditambah hamparan air laut yang membentang, sukses membuat suasana tetap terasa nyaman. Saat menuju ke pulau tersebut, saya juga duduk dipinggir perahu. Sehingga, lebih leluasa menikmati embusan angin.
Apalagi setelah sampai, pulau kecil yang menjadi tempat asal-muasal Bahasa Indonesia tersebut juga ternyata ditumbuhi pohon-pohon yang lumayan rimbun. Sehingga, sinar matahari tidak begitu menusuk kulit. Pohon-pohon tersebut tumbuh dihampir sepanjang jalan yang kami lalui.
Saat kami sampai di pintu utama Pulau Penyengat, deretan becak motor (bentor) khas Pulau Penyengat sudah menunggu. Setiap dua orang dari kami bergegas naik ke becak tersebut untuk berkeliling pulau yang luasanya hanya sekitar 2 km2. Tujuan pertama kami adalah Gudang Mesiu.
Sesuai dengan namanya, bangunan tersebut dulu merupakan tempat untuk menyimpan obat bedil, atau mesiu. Bangunan berwarna kuning-hijau itu tidak begitu besar, namun memang memiliki susunan bangunan yang unik --dindingnya sangat tebal, kemudian dilengkapi dengan kubah bertingkat dan jendela yang diberi jeruji besi.
Pada areal pemakaman tersebut, ada sekitar 50 makam. Selain makam Raja Abdurrahman --yang membangun masjid di Pulau Penyengat secara permanen, juga ada makam para anggota keluarga dan penasihat kerajaan. Meski berbaur antara makam laki-laki dan perempuan, namun tetap bisa dibedakan melalui bentuk batu nisan. Batu nisan bulat untuk makam laki-laki, dan yang pipih untuk makam perempuan.
Juru kunci makam, Supandi, mengatakan, Komplek Makam Raja Abdurrahman merupakan lokasi yang selalu dikunjungi oleh para wisatawan yang berkunjung ke Pulau Penyengat. Baik wisatawan nusantara, maupun wisatawan mancanegera --terutama wisatawan dari Malaysia dan Singapura yang memang sejarahnya bertalian erat.
Ada juga makam Raja Ali Haji yang dikenal sebagai pencatat pertama dasar-dasar Bahasa Melayu. Beliau menuangkan dasar-dasar Bahasa Melayu tersebut melalui Kitab Pengetahuan Bahasa, yang kemudian menjadi standar Bahasa Melayu, dan akhirnya berkembang serta ditetapkan sebagai Bahasa Nasional Indonesia pada Kongres Pemuda 28 Oktober 1928.
Makam Raja Ali Haji dan Engku Putri berada di satu areal pemakaman, agak sedikit berjauhan dengan Komplek Makam Raja Abdurrahman. Makam Raja Ali Haji dan Engku Putri cukup dekat dari pintu masuk utama Pulau Penyengat. Sehingga, bila hanya bertujuan untuk berziarah ke makam tersebut, cukup berjalan kaki saja, tidak perlu menyewa bentor yang harga sewanya Rp30.000/jam.
Masjid ini merupakan destinasi favorit para pelancong. Setiap pengunjung Pulau Penyengat, umumnya mengabadikan diri di depan Masjid Sultan Riau. Pengunjung yang beragama muslim bahkan selalu menyempatkan diri untuk shalat di masjid yang katanya sudah dibangun sejak 1832 tersebut.
Masjid itu sebenarnya tidak terlalu besar hanya berukuran 18x20 meter, namun memiliki halaman yang cukup luas. Pada bagian depan masjid, ada dua pendopo yang bisa digunakan pengunjung untuk duduk-duduk, tentu dengan memperhatikan adab. Biar bagaimanapun, itu adalah tempat beribadah umat muslim. Sementara pada kiri dan kanan masjid ada tempat untuk berwudhu.
Menurut Marbot Masjid Sultan Riau Pulau Penyengat, Hambali, masjid tersebut sebenarnya sudah dibangun pada 1803 oleh Sultan Mahmud. Namun karena belum permanen, pada 1832 masjid itu direnovasi oleh Raja Abdurrahman. Sehingga, bangunannya kokoh seperti yang terlihat saat ini.
Selain arsitektur masjid yang unik, hal lain yang menarik perhatian pengunjung di masjid tersebut adalah sebuah mushaf Al-Quran yang ditulis tangan oleh salah satu penduduk Pulau Penyengat yang sempat menuntut ilmu di Mesir, Abdurrahman Stambul. Al-Quran tersebut diperkirakan sudah berusia 150 tahun.
Saat ini Al-Quran itu disimpan di sebuah kotak kaca di Masjid Sultan Riau. Siapapun bisa melihatnya, namun memang tidak diperkenankan menyentuh karena khawatir kertasnya akan rapuh. Hambali mengatakan, 2015 lalu ada dari Arsip Nasional yang memberi obat agar Al-Quran tersebut bisa bertahan hingga 100 tahun ke depan.
Selain berziarah dan wisata sejarah, di Pulau Penyengat juga kita bisa berswa foto, ada banyak lokasi-lokasi unik yang akan membuat laman instagram kita lebih menarik --mulai dari bangunan yang ditumbuhi akar, hingga Istana Kantor yang sempat menjadi kediaman Yang Dipertuan Muda Riau VIII Raja Ali.
Saat berkunjung ke pulau tersebut, kami beruntung bisa mencicip langsung masakan penduduk setempat. Panitia menyiapkan satu rumah khusus yang tak jauh dari Makam Raja Ali Haji untuk tempat kami makan siang. Makanan-makanan khas Melayu tersebut disiapkan khusus oleh ibu-ibu setempat.
Salah satu panitia famtrip mengatakan, tidak sedikit wisatawan yang sengaja meminta secara khusus untuk disiapkan makananan oleh penduduk sekitar. Biasanya beberapa hari sebelum berkunjung, mereka memesan terlebih dahulu, baik melalui telepon, maupun melalui salah satu penduduk setempat.
Salam Kompasiana! (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H