Lulus dari Diploma III Akuntansi Politeknik Negeri Batam, Kepulauan Riau, tak lantas membuat Yusri Adi Putra menjalani karir sebagai akuntan. Pria yang berusia awal 20-an tersebut malah lebih tertarik untuk berwirausaha. Saat teman-teman kuliahnya sibuk mencari lowongan pekerjaan usai menamatkan studi, Yusri malah memutar otak untuk mencari celah bisnis.
Dengan pertimbangan yang cukup matang, ia akhirnya membuka gerai cendol franchise. Usaha tersebut ia pilih karena tidak memerlukan keahlian khusus. Apalagi itu usaha pertama yang ia geluti secara serius. Ia hanya perlu menyiapkan gerobak di lokasi yang cukup ramai, dan memesan bahan untuk membuat segelas cendol ke si penanggung jawab waralaba. Setelah itu tinggal diracik sesuai ketentuan sehingga lezatnya pas.
Alhasil, jumlah pembeli tidak sebanyak yang diharapkan. Apalagi di Batam banyak cendol-cendol lokal yang rasanya tak kalah lezat dengan harga yang jauh lebih terjangkau. Akhirnya setelah dijalani selama beberapa bulan, Yusri menyerah. Dengan berat hati, ia menutup usaha tersebut.
Saat usaha pertama itu gagal, ia sempat berubah pikiran ingin menjadi seorang karyawan swasta. Yusri bahkan pernah menemui salah satu dosen yang pernah mengajar dirinya. Tujuannya tentu saja untuk mendapatkan referensi agar ia bisa bekerja di sebuah perusahaan. Namun bukannya mendapat referensi, Yusri justru mendapat nasihat berharga dari dosen tersebut. Sehingga, semangatnya untuk berwirausaha kembali bangkit.
Dengan modal yang sangat terbatas, ia akhirnya kembali membuka usaha. Kali ini ia membuka warung makan soto. Namun karena modal yang ia miliki saat itu sudah tergerus usaha cendol, ia hanya menjual Soto Banjar di salah satu kawasan yang cukup ramai di Kota Batam. Ia benar-benar hanya menjual soto, tanpa nasi, kerupuk apalagi aneka jus.
Warung tersebut juga sangat sederhana, hanya bisa ditempati maksimal oleh 10 pengunjung. Selain itu, tempatnya juga hanya beralaskan terpal, mengampar seperti lesehan. Sehingga bila hujan turun, otomatis soto-soto tersebut tidak bisa dijajakan karena tempat makannya basah tersiram hujan.
Meski demikian, usahanya cukup ramai. Banyak pengunjung yang sengaja datang untuk mencicip Soto Banjar-nya yang khas. Namun semakin banyak pengunjung, ia justru semakin berpikir keras untuk melakukan sebuah terobosan. Ia tidak mau usaha yang kembali ia rintis tersebut akan mencapai titik stagnan seperti bisnis cendol.
Setelah merenung beberapa waktu, akhirnya ia mendapat ide cemerlang untuk memodifikasi Soto Banjar tersebut menjadi soto baru yang unik, yakni Soto Dayak. Apalagi ia kerap dipanggil Dayak oleh teman-temannya semasa kuliah. Mungkin karena ia berasal dari Kalimantan, tepatnya Kalimantan Selatan. Padahal ia katanya sama sekali tidak ada darah Dayak.
Soto tersebut dibuat sedikit berbeda dari Soto Banjar, baik dari sisi bumbu maupun tampilan. Bila Soto Banjar berwarna kuning keemasan, Soto Dayak warnanya hitam pekat. Warna hitam itu berasal dari sambal khusus yang dibuat oleh Yusri. Sambal tersebut merupakan sambal andalan keluarga besarnya.
Ssst.. menurut Yusri, Soto Dayak sebenarnya tidak pernah ada. Itu bisa-bisanya dia saja untuk mem-branding Soto Banjar-nya menjadi soto yang unik. Tujuannya tentu saja agar masyarakat Batam banyak yang penasaran sehingga berbondong-bondong mencicip soto tersebut.
Strategi bisnis yang ia jalankan ternyata berhasil. Setelah memodifikasi produk, jumlah pengunjung meningkat tajam. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk menyewa sebuah ruko agar pengunjung lebih nikmat mencicip soto yang ia tawarkan. Setelah satu tahun membuka warung "misbar" aka gerimis bubar di kawasan Batamcentre, ia kini menempati salah satu ruko di Komplek Tiban City Square. Ruko tersebut persisis di sebrang KFC Tiban.
Ruko itu cukup luas, ada belasan meja mungil yang bisa ditempati pengunjung. Ada meja yang dipadankan dengan kursi-kursi kayu yang etnik, ada juga yang berbentuk lesehan. Pengunjung bisa duduk-duduk santai seperti sedang "ngariung" di ruang keluarga. Apalagi juga disediakan televisi yang cukup besar, bisa untuk menonton film atau bahkan karaoke.
Tak hanya itu, pengunjung juga bisa makan atau berfoto dengan aneka aksesories khas Dayak dan Indian. Ada panah dan penutup kepala. Selain itu, ada tulisan-tulisan berbentuk persegi yang kekinian. Tulisan yang ditampilkan pun lucu-lucu, seperti "Sedang Mencari Jodoh di Soto Dayak" atau "Dulu Saya Pernah Kurus".
Yusri mengungkapkan ia memang sengaja menyediakan dinding tersebut untuk dicorat-coret pengunjung. Tujuannya agar dinding tersebut lebih cantik dan tidak kosong melompong. Saat awal dibuka pada September 2016 lalu, ia sebenarnya ingin menghias dinding tersebut dengan lukisan atau wallpaper, namun karena biayanya cukup tinggi ia mengurungkan rencana tersebut.
Ia akhirnya memiliki ide untuk membiarkan didinding tersebut hitam polos begitu saja agar bisa digunakan pengunjung untuk mengekspresikan diri. Ia mengatakan daripada keluar uang sekitar Rp6 juta untuk menghias dinding, mending membeli kapur warna-warni yang harganya hanya ratusan ribu. Apalagi bila dibuat seperti itu, dekorasi dinding di kedai makan tersebut lebih variatif, bisa berubah setiap waktu sesuai dengan coretan pengunjung, sehingga tidak perlu upaya ekstra agar suasana kedai selalu terlihat baru.
Yusri menuturkan, saat pertama kali berjualan soto ia hanya memiliki satu karyawan. Kini setelah dua tahun berlalu, ia sudah memiliki tujuh karyawan yang sangat solid. Tujuh karyawan tersebut bekerja dari Selasa hingga Minggu, mulai pukul 11:00 hingga 24:00 WIB. Namun karena semuanya laki-laki, akhirnya setiap Jumat diputuskan baru beroperasi setiap pukul 13:00 WIB, karena sebagian ada yang harus menjalankan shalat Jumat.
Ia melanjutkan, saat pertama kali dibuka tidak ada ornamen Dayak dan Indian, aksesories tersebut baru disediakan setelah banyak masukan dari pengunjung. Apalagi saat itu pengunjung kedai tersebut umumnya anak muda yang hobi berswa foto. Meski sekarang tidak sedikit mamah dan papah muda yang juga menghabiskan waktu disana bersama keluarga.
Setelah disediakan beragam aksesories tersebut pengunjung semakin ramai. Bila dulu omset yang dikantongi hanya jutaan rupiah per bulan, kini melonjak hingga puluhan juta. Yusri mengaku, setiap hari ia bisa mendapatkan omset sekitar Rp2 juta hingga Rp5 juta. Apalagi menu makanan yang ditawarkan juga semakin bertambah.
Soto Dayak kini tidak hanya menawarkan Soto Dayak, namun juga makanan lain yang tak kalah lezat, mulai dari ayam dayak, burrito's, sup jagung, mie cabe setan, ice cream pot, burger, bakso buah hingga menu andalan bakso beranak, baik yang original maupun yang diberi lelehan cabe.
Yusri mengaku sangat senang bisa menjadi salah satu wirausahawan muda di Batam. Selain bisa membantu membuka lapangan kerja bagi masyarakat sekitar, juga bisa mengajak anak-anak muda untuk berani berbisnis, meski hanya usaha kecil-kecilan yang tidak terlalu membutuhkan modal banyak.
Selain sibuk mengelola Soto Dayak, Yusri kini memang kerap menjadi pembicara di kampus-kampus terkait kewirausahaan. Ia memaparkan pengalaman pribadinya sekaligus memotivasi mahasiswa agar tidak takut membuka usaha. Sehingga, saat lulus para mahasiswa tidak terpaku hanya mencari pekerjaan, namun juga berani membuka peluang kerja.
Apalagi saat ini banyak instansi yang mengapresiasi para wirausahawan, salah satunya adalah Bank Danamon yang menggelar Danamon Entrepreneur Award. Penghargaan tersebut sudah digelar Danamon sejak 2006 lalu dan tahun ini kembali diadakan. Ada lima pemenang yang akan dipilih untuk lima kategori, salah satunya adalah kategori "The Best Small Entrepreneur" untuk kategori pengusaha dengan penghasilan Rp500 juta hingga Rp5 miliar per tahun.
Yuk ah jadi pengusaha dan ikut Danamon Entrepreneur Award dengan mendaftar di laman www.danamonawards.org. Siapa tahu bisa menjadi salah satu pengusaha terbaik versi Danamon. Salam Kompasiana! (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H