Tanjungpinang merupakan kota yang sangat kental dengan budaya Melayu. Bangunan-bangunan kuning-hijau khas Melayu begitu mendominasi ibukota Provinsi Kepulauan Riau tersebut. Begitupula dengan dialek yang terdengar. Bahasa Indonesia dengan cengkok Melayu sangat mendominasi.
Maklum kota yang dipimpin oleh Lis Darmansyah tersebut dulu sempat menjadi  pusat pemerintahan Kesultanan Riau-Lingga yang lekat dengan budaya Melayu. Selain itu, Tanjungpinang juga menaungi Pulau Penyengat, pulau kecil yang menjadi asal muasal Bahasa Indonesia. Â
Namun uniknya, meski sangat kental dengan budaya Melayu, di kota yang berpenduduk sekitar 260.519 jiwa tersebut, budaya Tionghoa juga cukup mendominasi. Kelenteng dan vihara berdiri megah di hampir setiap sudut kota. Warnanya yang mencolok, membuat sebagian besar pengunjung tertarik untuk mengabadikan diri di depan tempat peribadatan tersebut.
Pria berusia 67 tahun itu menuturkan, warga Tionghoa di Kota Gurindam tersebut berkembang cukup signifikan. Hal tersebut dikarenakan, mereka tidak hanya menikah dengan sesama keturunan Tionghoa, namun juga tak sedikit yang menjalin ikatan pernikahan dengan warga asli setempat.
Tidak bermaksud rasis, namun berdasarkan data yang dirilis "tanjungpinangkota.bps.go.id" Budha merupakan agama kedua terbanyak yang dianut warga setelah Islam. Dari empat kecamatan, penduduk yang beragama Budha paling banyak di Tanjungpinang terdapat di Kecamatan Tanjungpinang Kota, persentasenya mencapai 31,40 persen. Kedua di Kecamatan Tanjungpinang Barat yang mencapai 19,66 persen, ketiga di Kecamatan Bukit Bestari sebanyak 13, 48 persen, dan terakhir di Kecamatan Tanjungpinang Timur yang jumlahnya 4,68 persen. Â
Alih-alih menekan perkembangan budaya Tionghoa yang cukup pesat, Pemerintah Tanjungpinang justru memanfaatkan vihara dan kelenteng tersebut untuk tujuan wisata. Apalagi tidak sedikit kelenteng dan vihara unik yang sangat instagramable di kota yang berbatasan langsung dengan Singapura tersebut.
Walikota Tanjungpinang Lis Darmansyah saat famtrip pertengahan 2017 lalu menuturkan, Tanjungpinang berbeda dengan Batam yang sudah kuat dari sisi infrastruktur karena disokong oleh pemerintah pusat, berbeda pula dengan Kabupaten Bintan yang dianugerahi wisata-wisata alam yang sangat cantik. Sehingga, kedua kota dan kabupaten tersebut tidak perlu berupaya sekeras Tanjungpinang untuk menarik kunjungan wisatawan nusantara maupun mancanegara.
Ia melanjutkan, menyiasati  minimnya wisata alam, Pemerintah Tanjungpinang akhirnya mengemas secara kreatif potensi-potensi wisata "yang dibuat oleh tangan-tangan manusia", salah satunya adalah wisata vihara ataupun kelenteng --selain berwisata ke Puau Penyengat tentu saja, yang menjadi wisata ungguan Kota Tanjungpinang.