Beberapa hari lalu saya sempat mendapat curhat dari seorang teman. Ia mengungkapkan, karirnya dipaksa untuk berakhir. Alasannya bukan karena ia dengan senang hati mengundurkan diri, bukan pula karena diminta keluarga untuk berhenti dari pekerjaan. Namun karena kontrak kerjanya tidak diperpanjang.
Melalui kalimat-kalimat yang ia lontarkan, saya menangkap sebuah penyesalan yang lumayan dalam. Sebelum bekerja di perusahaan yang sekarang, teman saya itu memang sudah bekerja cukup lama di sebuah perusahaan dengan gaji dan posisi yang lumayan. Tidak ada permasalahan apapun yang berarti.
Hingga pada suatu hari ada seorang mantan rekan kerjanya yang tiba-tiba menghubungi melalui sambungan telepon. Mantan rekan kerja teman saya itu menawari teman saya untuk pindah bekerja di salah satu pertusahaan yang lumayan bonafid dengan gaji lebih tinggi beberapa persen.
Tergiur dengan gaji yang lebih tinggi, ditambah dengan citra perusahaan tersebut yang sangat baik, akhirnya teman saya memutuskan untuk menerima tawaran dari mantan rekan kerjanya. Dengan sangat bersemangat ia resign, kemudan bergabung dengan perusahaan baru yang dinilai lebih baik.
Perusahaan baru tersebut memang jauh lebih besar dari perusahaan tempat teman saya dulu bekerja. Gaji, tunjangan dan fasilitas yang disediakan untuk karyawan jauh lebih lengkap. Namun, teman saya lalai, saking senangnya mendapat tawaran kerja baru di perusahaan yang lebih baik --tanpa tes pula, ia tak sadar kalau statusnya hanya sebagai karyawan kontrak.
Itupun hanya kontrak satu tahun. Bila kinerjanya dinilai baik, akan dilanjut kontrak satu tahun lagi, kemudian bila kinerjanya tetap baik selama dua tahun tersebut, baru diangkat menjadi karyawan tetap. Bila tidak, setiap masa kontrak berakhir, kemungkinan untuk tidak diperpanjang kontrak terus membayang.
Ukur Kemampuan Diri
Sebenarnya, jenis pekerjaan yang ditangani teman saya itu tidak jauh berbeda dengan tugas yang ia kerjakan di perusahaan sebelumnya, namun katanya target dari hasil yang diharapkan berbeda. Bila sebelumnya ia hanya perlu melakukan pekerjaan tersebut dengan kualitas baik, diperusahaan yang baru dia dituntut untuk mengerjakan pekerjaannya dengan level sangat baik.
Bila dikantor sebelumnya ia hanya harus mengerjakan pekerjaan a, b, dan c, diperusahaan yang baru ia harus menangani pekerjaan hingga deret s -- misalkan. Sayangnya, teman saya itu sepertinya tidak bisa memenuhi tuntutan perusahaan, setidaknya tuntutan si atasan langsung, alhasil saat sudah bekerja genap satu tahun, kontrak kerja tidak diperpanjang.
Teman saya bilang, sebelum dinyatakan diterima, ia sebenarnya sudah diberitahu detail tugas yang harus ia kerjakan kelak. Beberapa tugas memang dinilai sedikit diluar jangkauan kemampuan yang ia miliki. Namun saat itu ia berpikir, kan tidak ada salahnya dicoba, siapa tahu bisa dipelajari sambil jalan bekerja. Apalagi ia juga sudah bekerja di bidang tersebut cukup lama.
Namun setelah bekerja, ternyata kinerja teman saya itu dinilai tidak sesuai harapan. Apalagi perusahaan tersebut memang mencari karyawan yang sudah berpengalaman dan siap pakai. Meski tidak mengatakan secara langsung, teman saya itu sepertinya menyesal karena terburu-buru resign dari kantor lama yang lumayan nyaman.
Pikirkan Secara Matang
Teman saya bilang, jangan terburu-buru memutuskan sesuatu terkait pekerjaan. Jangan mudah tergiur dengan gaji yang lebih tinggi dan penawaran fasilitas perusahaan yang lebih baik. Apalagi bila hanya ditawari sebagai karyawan kontrak, bukan karyawan tetap yang tidak begitu riskan "berhenti mendadak". Apalagi bila di kantor lama tidak ada masalah berarti.
Kalau kita memiliki keahlian khusus yang cukup baik dan dibutuhkan perusahaan, mungkin bisa pede, atau masih lumayan muda untuk diserap dunia kerja. Sehingga, saat kontrak tidak diperpanjang, masih bisa ikhtiar mencari pekerjaan ke tempat lain yang mungkin bisa jauh lebih baik.
Namun bila keahlian yang kita miliki biasa saja, tidak begitu menonjol, usia juga sudah tidak lagi muda. Jangan mengambil risiko. Apalagi bila kita bertindak sebagai kepala keluarga. Jangan sampai karena tergiur gaji yang sedikit lebih besar, atau terbujuk bekerja di perusahaan dengan gedung menjulang, 12 bulan kemudian malah berstatus sebagai pengangguran.
Teman saya itu mengatakan, rezeki memang sudah ada yang mengatur, pekerjaan baru juga tidak menutup kemungkinan bisa ia dapatkan lagi. Namun dengan kondisi terdesak seperti itu, jadinya malah asal ambil, yang penting kerja dan tidak menganggur. Padahal posisi dia di pekerjaan sebelumnya sudah lumayan strategis.
Kembali ke perusahaan sebelumnya juga belum tentu bisa. Kalaupun bisa, belum tentu dengan posisi dan gaji yang sama. Bila gaji lebih kecil dan posisi kerja sedikit lebih "rendah" dibanding sebelumnya, apakah masih mau kembali? Belum tentu, apalagi bila si junior yang dulu jadi staf kita malah berubah posisi jadi bos kita. Meski tidak begitu lama, waktu satu tahun bisa mengubah posisi seseorang dalam sebuah perusahaan.
Jadi, teman saya bilang, pikirkan dalam-dalam sebelum bangga "dibajak" oleh perusahaan yang jauh lebih besar. Sekian. Disclaimer, tulisan ini hanya memaparkan curhat dari seorang teman, sama sekali bukan untuk menggurui. Salam Kompasiana! (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H