Mohon tunggu...
Cucum Suminar
Cucum Suminar Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Kompasianer

Belajar dari menulis dan membaca. Twitter: @cu2m_suminar

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Menjadi Nasabah Cerdas dengan LPS

4 September 2017   00:01 Diperbarui: 4 September 2017   07:30 1019
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi infobank.com

People with goals succeed because they know where they are going.

~Earl Nightingale~

Tujuan memang sangat penting karena merupakan muara yang akan kita tuju. Tanpa tujuan, kita hanya akan berputar-putar tanpa arah. Bukan tidak mungkin, setelah melewati "ratusan kilometer" kita malah kembali ke "titik nol" karena tidak tahu apa yang ingin kita capai.

Begitupula dengan keuangan. Tanpa memiliki tujuan yang pasti untuk apa uang yang kita miliki dikumpulkan, kita tidak akan memiliki motivasi kuat untuk menabung. Ujung-ujungnya, setelah berlembar-lembar uang susah payah kita disisihkan, akhirnya habis juga untuk pengeluaran yang sebenarnya tidak begitu perlu.

Dulu saya sering sekali mengumpulkan beberapa lembar uang dari penghasilan yang di dapat setiap bulan. Atau berusaha menyimpan uang dari rezeki yang tidak terduga. Namun karena tujuannya hanya untuk berjaga-jaga saat diperlukan, uang tersebut tanpa terasa habis begitu saja saat akhir bulan.

Uang simpanan tersebut biasanya habis untuk keperluan konsumtif, entah itu untuk berbelanja pakaian, sepatu, make-up, atau hanya sekedar mencoba mencicip menu baru di rumah makan favorit. Biasanya niatnya hanya pinjam-sebentar-nanti-diganti, namun ujung-ujungnya tidak terganti karena seluruh uang yang kita miliki sudah habis tak bersisa.

Tentukan Lebih Rinci untuk Apa Uang Ditabung

Belajar dari kesalahan, saya sekarang menabung dengan tujuan tertentu. Saya tentukan untuk apa uang tersebut ditabung, apakah untuk membeli kamera, biaya masuk anak sekolah, bekal pulang kampung, atau untuk uang muka kredit rumah.

 Bila sudah tahu tujuannya, ditentukan target waktu –berapa lama jumlah uang tersebut harus dikumpulkan– sehingga kita akan tahu, berapa banyak dana yang harus disisihkan setiap bulan.

Dengan adanya tujuan seperti itu, saya biasanya lebih termotivasi. Selain itu, saya tidak mudah tergoda untuk membelanjakan uang yang sudah terkumpul sebagian. Terkadang ada saja "penggoda" yang mampir agar kita khilaf membelanjakan uang yang sudah ditabung dengan susah payah itu untuk keperluan lain.

Dulu saya sering khilaf. Alhasil, saat harus membeli sesuatu yang diperlukan saya menyesal tak berujung, mengapa saya tidak menyimpan uang secara berkala sehingga bisa membeli barang incaran yang dibutuhkan. Eh, sekarang juga masih sih, namun tidak sesering dulu rasa menyesal itu datang.

Saya masih ingat saat awal-awal melahirkan sekitar lima tahun lalu. Saat itu keluarga besar saya dari Jawa Barat akan berkunjung ke rumah di Batam, Kepulauan Riau. Saya dan suami bingung tujuh keliling karena rumah melompong seperti lapangan bola. Saat itu hanya ada satu tempat tidur ukuran single, tidak ada kursi apalagi televisi.

Saya bingung, bagaimana nanti keluarga besar saya tidur apalagi keluarga saya bukan tipikal yang suka tidur di hotel. Selain itu, tujuannya kan memang untuk menjenguk saya yang baru melahirkan, bukan untuk berjalan-jalan. Masa mereka tidur dilantai, karena si kasur single sudah pasti dipakai untuk si bayi. Saat itu saya menyesal, mengapa selama satu tahun kebelakang tidak menyisihkan uang untuk ditabung.

Akhirnya saya dan suami memberanikan diri mengkredit beragam perabotan rumah tangga. Dalam sekejap, rumah langsung penuh, namun kami sempat "sesak" karena harus membayar cicilan setiap bulan. Apalagi untuk barang-barang konsumtif bunga yang dibebankan sepertinya lebih tinggi. Selain itu, kami mengkredit melalui perusahaan pembiayaan, bukan melalui bank, sehingga bunganya memang lebih tinggi.

Kami sebenarnya cukup berterimakasih dengan uluran tangan si perusahaan pembiayaan, namun sejak kejadian itu kami justru menghindari mengkredit barang-barang konsumtif. Sebisa mungkin kami mengumpulkan uang dulu, baru membeli. Sayang lebihnya. Lebih baik, bersabar sedikit dengan menabung.

Lebih Bijak Menggunakan Uang
Sekecil apapun uangnya, akan cukup bila digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup, namun sebanyak apapun uangnya, tak akan pernah cukup jika digunakan untuk memenuhi gaya hidup ~Anonim~
Saat wara-wiri kalimat tersebut di lini masa media sosial, saya sempat merasa "tercubit". Terkadang masih suka lebih mementingkan gaya dibanding fungsi. Padahal ada banyak varian produk yang fungsinya sama, namun harganya jauh lebih terjangkau, misalkan tas, sepatu, hingga peralatan rumah tangga.

Sekarang saya mencoba lebih cerdas mengelola uang. Untuk mendapatkan produk fashion berkualitas dengan harga terjangkau kantong, saya biasanya memanfaatkan promosi potongan harga. Saya pernah beberapa kali membeli sepatu dengan harga Rp50.000 hingga Rp100.000, padahal di toko sebelah harganya Rp400.000 hingga 500.000. Rasanya puas banget bisa mendapatkan barang bagus dengan harga jauh lebih murah. Sehingga, bisa ada kelebihan uang yang bisa disimpan --tentu saja asal membeli barang diskon tersebut secukupnya dan tidak kalap.

Saya dan suami memang sedang berusaha untuk lebih bijak menggunakan uang. Bukan apa-apa, saat kita membutuhkan uang untuk keperluan yang esensial, belum tentu ada yang bisa menolong. Apalagi masalah uang sangat sensitif, tekadang malah bisa menjauhkan keluarga dan sahabat terdekat.

Kalau keperluan kita hanya sebatas melengkapi perabotan rumah --saat benar-benar tidak ada uang sebenarnya bisa menunggu-- namun, apa jadinya bila uang yang kita butuhkan akan digunakan untuk keperluan yang lebih penting, misalkan untuk berobat atau untuk melahirkan, masa harus menunda melahirkan gara-gara tidak punya simpanan uang?

Saat ini memang sudah banyak asuransi kesehatan yang menanggung seluruh biaya perawatan maupun melahirkan. Namun saat ada keluarga yang "menginap" di rumah sakit, keperluan kita terkadang tidak hanya sebatas biaya rumah sakit, namun juga hal-hal lain diluar itu yang umumnya tidak ditanggung asuransi.

Sesulit apapun memang harus punya simpanan uang. Bila diibaratkan, simpanan tersebut seperti jaring yang akan menyelamatkan kita saat kita terjatuh. Kalaupun jaringnya tidak besar, setidaknya mampu menahan kita untuk tidak terpuruk dan terluka lebih dalam. Daripada sama sekali tidak memiliki jaring, dan jatuh begitu saja dari ketinggian.

Simpan Uang di Bank LPS
Agar nantinya tidak "gigit jari", simpan uang di bank-bank yang bekerjasama dengan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Sehingga, dana kita tersimpan dengan aman. Tidak mau kan sudah letih berhemat dan memaksakan diri menabung, tiba-tiba uangnya raib akibat bank tersebut bankrut.

Tahun 1997 saat krisis moneter terjadi, tidak sedikit nasabah yang harus rela kehilangan uang akibat bank-bank yang gulung tikar. Namun sekarang tidak perlu khawatir, sejak 22 September 2005, pemerintah telah membentuk LPS untuk menjamin simpanan nasabah penyimpan. Namun dana yang dijamin terbatas hanya Rp2 miliar. Sehingga, bila memiliki dana lebih dari itu, sebaiknya disimpan di bank berbeda yang bekerjasama dengan LPS.
Saya sendiri memang lebih suka menyimpan uang di bank. Walaupun uang simpanan saya tidak banyak, tetapi tetap memerlukan tempat yang aman untuk menyimpan. 

Dengan menabung di bank, kita tidak khawatir uang simpanan tiba-tiba tercecer atau lupa taruh, tidak khawatir juga terbawa banjir atau kebakaran. Kalau teman-teman Kompasianer lain bagimana? Lebih suka menyimpan uang di bank juga kan? Salam Kompasiana!(*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun