Kami  sempat ingin membatalkan untuk membeli mobil. Saat itu kami memutuskan  untuk mengumpulkan uang lagi agar bisa menambah uang muka sehingga bisa  membeli mobil dengan tipe yang lebih baik tanpa berat dengan cicilan  bulanan yang tinggi. Beruntung saat galau seperti itu, keluar mobil low cost and green car (LCGC). Akhirnya kami memutuskan untuk membeli mobil tersebut.  Beruntungnya lagi, kami hanya perlu menunggu seminggu, apalagi proses  kredit sudah oke sejak enam bulan sebelumnya.
Kami memang mencari  mobil dengan cicilan ringan. Saya dan suami berpikir, jangan sampai kami  sanggup membayar uang muka namun tidak bisa rutin mencicil setiap  bulan. Sayang uang mukanya dong kalau sampai mobilnya ditarik showroom hanya karena tidak sanggup membayar cicilan bulanan.
Apalagi  saat itu kami juga harus menyisihkan uang untuk membayar kredit rumah  yang saya ambil jauh sebelum menikah --meski rumah tersebut tidak sempat  ditinggali karena keburu pindah dari Bogor, Jawa Barat ke Batam. Belum  lagi kami juga harus menyisakan uang untuk sedikit-sedikit merenovasi  rumah hibah dari mertua yang kami tinggali.
Sejak  kecil saya tahu menabung itu penting, menyisihkan uang itu krusial.  Namun entah mengapa, selalu berat untuk menyimpan sedikit uang dari  berbagai keperluan bulanan. Saat ada kelebihan uang, selalu saja tangan  ini gatal untuk membelikan sesuatu yang sebenarnya tidak begitu penting.
Suami  saya lebih jenius menentukan prioritas. Ia lebih pintar menyimpan uang.  Ia bahkan selalu mengingatkan saya untuk menyisihkan sedikit uang dari  penghasilan yang kami dapat. Namun sayangnya, imbauan tersebut selalu  masuk kuping kanan keluar kuping kiri. Uang saya seringnya habis, teng  tepat beberapa jam sebelum gajian. Mungkin itu terkait pola asuh ya,  dulu saya biasa diberi uang jajan per hari, kalau habis tinggal minta  lagi, kalau ingin sesuatu tinggal merengek --nanti ibu saya yang nabung  untuk membelikan barang incaran.
Gara-gara pola asuh tersebut,  saya sempat tidak berani pegang uang belanja. Selama beberapa tahun  suami yang pegang uang untuk memenuhi kebutuhan kami sehari-hari. Bukan  apa-apa, saya takut kalau tiba-tiba uang bulanan habis karena salah  kelola dan anak orang (baca: suami) tidak makan hehe.
Biasanya  petuah-petuah suami baru muncul saat saya memiliki keperluan mendadak,  diluar itu lesap tak berjejak. Suami biasanya selalu menasehati, uang  pasti akan ada lagi, namanya juga rezeki, apalagi Allah sudah menjamin  rezeki setiap mahluk, namun apa yang bisa kita lakukan saat rezeki dalam  bentuk uang tidak datang kala kita membutuhkan, kalau ada yang berbaik  hati memberi pinjaman, kalau tidak, kita bisa menyesal seumur hidup.
Saya  sempat kapok menggunakan uang seperti air --banyak habis, sedikit cukup,  saat anak di rawat di salah satu rumah sakit di Bogor. Waktu itu kami  pulang kampung berdua tanpa suami. Sebelum berangkat saya sebenarnya  sudah memperhitungkan berapa uang yang saya dan anak perlukan saat  berkunjung ke kampung halaman. Saat itu malah sudah dilebihkan beberapa  persen dari keperluan.
Namun namanya juga berkunjung ke keluarga  besar, uang habis tak terasa. Selain itu anak saya juga sakit saat  menjelang pulang kembali ke Batam --benar-benar diluar prediksi. Saat  mengecek saldo tabungan, uang hanya cukup untuk membeli tiket pesawat  dan keperluan kecil. Sementara saat itu saya harus membayar uang jaminan  untuk perawatan anak di rumah sakit.
Saat itu saya rasanya ingin  menangis. Sedih dan putus asa. Baru terasa, saat ditimpa kesulitan  finansial terkadang tak ada yang bisa menolong selain diri sendiri --dan  orangtua, namun orangtua saya saat itu dua-duanya sudah meninggal,  sementara mau minta pinjam uang ke kerabat juga kok tak enak hati.  Beruntung suami masih memiliki simpanan, beruntung saat dikabari anaknya  dirawat di rumah sakit ia dengan penuh inisiatif mengirimkan beberapa  rupiah --tahu istrinya pasti tak punya simpanan uang lagi.