Mohon tunggu...
Cucum Suminar
Cucum Suminar Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Kompasianer

Belajar dari menulis dan membaca. Twitter: @cu2m_suminar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Begini Dampak Negatif Bila Anak Tak Pernah Ditegur?

5 Juni 2017   06:37 Diperbarui: 5 Juni 2017   08:21 682
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. | Dokumentasi siraplimau.com

What the f*ck!

Semua orang dewasa yang sedang duduk santai di taman bermain langsung melirik ke arah suara tersebut –termasuk saya. Kami yang saat itu sedang menunggu buah hati bermain sangat terperanjat. Selain kata-kata itu dilontarkan cukup keras, juga karena yang mengucapkan adalah seorang anak perempuan manis yang berusia sekitar enam/tujuh tahun.

B*bi!

Belum habis rasa terkejut kami, tiba-tiba anak tersebut mengucapkan nama binatang yang diharamkan umat Islam. Apalagi setelah itu, ia juga meraup segenggam pasir dari lantai taman, kemudian melemparnya ke beberapa anak yang sedang riang bermain – termasuk kepada anak saya.

Anak perempuan itu sepertinya kesal. Beberapa anak yang ia ajak untuk bermain pasir bersama malah sibuk dengan permainan masing-masing. Mereka enggan menemani anak perempuan itu mengaduk-ngaduk pasir untuk membentuk beragam replika, seperti buah, lingkaran, gunung, atau istana.

Saat saya melongo, salah satu ibu –yang juga sedang menemani anaknya bermain mengatakan, anak tersebut memang seperti itu. Saat ada hal yang tidak berkenan, ia biasa mengeluarkan kata-kata kasar sambil melemparkan sesuatu ke arah orang tersebut, mulai dari pasir, tumbler, hingga sapu.

Setiap kali ke taman bermain, anak tersebut katanya memang selalu membawa sesuatu. Terkadang ia membawa mug, sesekali membawa sapu, bahkan anak tersebut pernah membawa setoples penuh gula putih untuk ia taburkan diatas pasir yang dibentuk seperti gunung.

Masih menurut ibu itu, anak-anak yang sering bermain di playground sudah sangat paham dengan kelakuan anak perempuan tersebut. Sehingga, mereka lebih memilih menjauh –membiarkan  anak perempuan itu bermain dengan pasir dan perkakas yang dibawanya. Sementara mereka asik bermain ayunan dan jungkit-jungkit.

Membiarkan Bukan Tanda Cinta

Saya sudah hampir melupakan peristiwa tersebut, hingga suatu hari saya tak sengaja bertemu dengan salah satu teman yang saya kenal cukup baik. Diluar dugaan, teman saya itu menggandeng sayang anak perempuan yang membuat saya terkaget-kaget di taman bermain beberapa waktu lalu. Anak yang mengucapkan kalimat what the f*ck itu ternyata anak teman saya yang dikenal santun dan berpendidikan tinggi.

Setelah berlalu beberapa waktu, saya baru tahu dari teman yang lain, teman saya itu ternyata terlalu sayang kepada si buah hati. Sehingga, ia tidak pernah melarang apapun yang dilakukan oleh sang anak. Bahkan saat si anak melakukan perbuatan kurang terpuji. Bila ada yang menegur, orang tersebut yang malah ditegur oleh teman saya atau pasangannya.

Masih menurut teman saya itu, pernah suatu hari sang anak bermain sabun mandi hingga sabun yang tadinya penuh tersebut tandas tak bersisa. Melihat kamar mandi yang penuh busa, si pengasuh kemudian menegur si anak secara baik-baik agar tidak mengulangi perbuatan itu lagi. Namun bukannya mendapat dukungan dari teman saya dan pasangan (orangtua si anak), si pengasuh malah dimarahi karena berani menegur buah hati mereka. Alhasil sang anak menjadi semena-mena.

Bagi saya pribadi, siapapun berhak menegur anak saya bila memang melakukan perbuatan yang kurang terpuji –apalagi bila merugikan orang yang menegur tersebut. Namun tentu saja harus dengan cara baik-baik. Menurut saya, teguran merupakan tanda sayang. Apalagi bila dilakukan kepada anak-anak yang memang belum memiliki sensemana perbuatan baik dan mana perbuatan yang kurang baik. Bila tidak kita beri tahu mana yang baik dan tidak, anak belum tentu tahu. Apalagi kita tidak bisa 24 jam berada disamping anak.

Membiarkan anak melakukan semua perbuatan yang dia suka secara semena-mena bukan tanda sayang, apalagi cinta. Justru malah menjerumuskan anak menjadi pribadi sulit – tidak bisa menerima saat segala sesuatu tak berjalan seperti yang ia harapkan. Padahal dalam hidup, belum tentu semua yang kita inginkan dapat kita dapatkan, belum tentu kondisi yang kita hadapi seperti yang kita harapkan, kita lah yang harus berdamai dengan beragam situasi.

Setiap orang memang memiliki cara masing-masing dalam mendidik anak, dengan kelebihan dan kekurangannya. Sebagai ibu, saya juga belum sempurna dalam mendidik anak. Akan tetapi sebagai sesama orangtua tidak ada salahnya, kan, bila saling mengingatkan? Salam Kompasiana! (*)

***Artikel ini sebelumnya sudah dipublikasikan diblog pribadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun