Beberapa hari lalu ada teman yang bercerita mengenai rasa tidak nyaman akibat kondisinya yang belum menikah pada usia matang. Beberapa pertanyaan dari keluarga, kerabat bahkan orang yang baru ia kenal terkadang membuat dirinya merasa terpojok. Alhasil, saat ada pertanyaan basa-basi sudah menikah atau belum dari orang yang hanya bertemu selintas lalu, ia lebih memilih berbohong mengatakan sudah menikah, dibandingkan jujur mengungkapkan masih single.
Teman saya itu bercerita panjang lebar melalui blognya. Ia mengatakan obrolan menjadi lebih simple saat ia berbohong sudah menikah, dibanding mengatakan belum memiliki suami. Saat mengatakan belum menikah, teman mengobrol basa-basinya akan menatapnya tidak percaya. Kemudian mengatakan sudah cukup umur kok belum menikah sambil memberi nasihat ini dan itu, sementara saat ia menuturkan sudah menikah, pertanyaan selesai begitu saja. Paling hanya bertanya suaminya orang mana.
Pernikahan memang selalu menjadi isu yang sensitif – terutama bagi kami kaum perempuan. Saat usia sudah melewati seperempat abad, pertanyaan kapan menikah mulai terdengar. Kala memasuki usia 30-an, pertanyaan tersebut akan semakin kencang berhembus, terkadang dibumbui pertanyaan-pertanyaan lain yang sulit untuk dijawab.
Pertanyaan tersebut tak hanya berasal dari keluarga terdekat, namun juga dari orang-orang yang sebenarnya tak memiliki hubungan krusial apapun. Bagi orang tersebut, kita menikah atau tidak, tidak memiliki pengaruh apapun karena mereka hanya teman, tetangga, atau mungkin orang yang dikenal sepintas lalu. Namun umumnya pertanyaan karena belum menikah dari mereka lebih menjengkelkan dibanding pertanyaan dari keluarga inti sekalipun.
Terkadang orang yang menyebalkan itu juga pernah mengalami apa yang dialami orang yang belum menikah diusia matang. Entah karena balas dendam dulu pernah mengalami hal serupa, atau sudah lupa pernah mengalami rasa tidak nyaman ditanya kapan menikah sementara wangsit jodoh belum ada.
Dulu saat saya berusia pertengahan 20-an pernah ada orang kantor – perempuan – yang sangat rese. Setiap kali berpapasan selalu bertanya kapan saya akan menikah, disertai embel-embel makanya jangan pilih-pilih, atau menyodorkan beberapa deret nama yang bahkan dia sendiri tidak kenal dekat sama orang itu. Kesan yang saya tangkap, dia bukan mau membantu menjodohkan hanya – youknowwhatimean.
Lucunya, dia pun baru beberapa bulan saja menikah pada usia yang sudah sangat matang, 36 tahun. Waktu itu, saya dan beberapa teman yang belum menikah bergunjing di belakang dia, hellow kami masih punya waktu 10-11 tahun lagi untuk menikah kalau “jam menikahnya” mengikuti waktu dia.
Jangan Pojokan Orang yang Belum Menikah
Sama seperti anak, menikah itu rezeki. Meskipun sudah memiliki pacar, terkadang belum tahu juga kapan akan menikah. Sama halnya dengan anak, meskipun sudah memiliki suami kita tidak tahu kan kapan akan dianugrahi anak. Hampir setiap orang ingin menikah, memiliki pendamping setia seumur hidup untuk berbagi suka dan duka. Meski sebagian kecil ada juga yang memang memutuskan untuk tidak menikah.
Saya percaya menikah itu kuasa Allah SWT. Walaupun kita memutuskan untuk melajang seumur hidup, bila tuhan memutuskan kita untuk membina rumah tangga, setidak mau apa pun pasti akan menikah. Sebaliknya, meski sudah ngebet ingin menikah, bila memang belum waktunya ya tidak akan menikah dulu. Pasti ada saja halangan dan rintangannya.
Oleh karena itu, saya tidak terlalu suka dengan oknum yang senang memojokan orang yang belum menikah pada usia matang. Sebisa mungkin, saya selalu berusaha untuk menghindari pertanyaan kapan menikah pada para lajang. Biarlah itu urusan pribadi mereka tidak usah kita campuri. Kalaupun terdorong rasa sayang atau peduli, lebih baik didoakan diam-diam agar mereka segera menikah dengan orang yang mereka kasihi.
Jangan Paksakan Menikah Bila Merasa Tidak Cocok
Saat usia semakin beranjak dewasa, terkadang perempuan merasa dikejar waktu untuk segera menemukan Mr. Right. Saat deadline usia semakin dekat, ada beberapa perempuan yang sedikit menutup mata dengan kondisi calon suami. Tujuannya tentu saja agar cepat-cepat berganti status dari lajang menjadi menikah.
Dulu ada salah satu kerabat perempuan yang dikenalkan dengan seorang pria. Lelaki tersebut terlihat cukup baik, ia juga memiliki penampilan yang lumayan keren. Namun ada satu hal yang membuat kerabat saya kurang sreg, yakni pekerjaan dari pria tersebut yang katanya kurang oke.
Kerabat saya tersebut sebenarnya belum mau menikah, ia mengatakan ingin mencari dulu calon yang benar-benar sesuai. Namun keluarga besar terus mendesaknya. Mereka sepertinya khawatir karena kerabat saya itu usianya sudah semakin matang, saat itu sudah menjelang 38 tahun. Ada satu kerabat yang mengatakan, sekarang menikah saja dulu. Bila nantinya nyaman lanjutkan, bila memang merasa tersiksa lepaskan. Saat itu, saya hanya bisa terbengong-bengong mendengar petuahnya.
Kerabat saya itu akhirnya menikah dengan si pria hingga memiliki dua orang putra. Namun entah karena memang tidak sreg dengan pekerjaan sang suami – yang katanya jomplang dengan profesi dia sebagai seorang ASN, atau jodohnya hanya beberapa tahun saja, mereka akhirnya bercerai.
Jodoh memang rencana tuhan. Mungkin memang sudah takdir juga ia harus mengalami perjalanan hidup seperti itu. Namun saya sempat berandai-andai, coba dulu dia sedikit lebih sabar menunggu jodoh yang lebih sreg, mungkin kejadian yang tidak diinginkan itu tidak akan terjadi.
Pada beberapa teman dan saudara yang belum menikah, saya selalu mengingatkan jangan terburu-buru menikah karena desakan lingkungan. Dikatakan tidak laku biar saja, dibilang perawan tua jangan didengar. Cari calon suami yang benar-benar cocok dan terbaik. Terlambat sedikit tidak apa-apa, toh menikah bukan balap karung.
Saat kita gagal menikah (bercerai), orang-orang rese yang terus menanyakan kapan kita akan menikah tidak akan membantu kita, risiko menjadi single parent hanya kita yang menanggung bersama keluarga. Biarlah saat masih single kita berkorban menunggu calon suami sedikit lebih lama, dibanding harus mengorbankan keturunan-keturunan kita (anak) karena terpaksa menikah akibat usia yang semakin matang.
Bila nanti kita menikah dengan orang yang kita anggap paling baik, namun ujung-ujungnya bercerai itu lain hal. Namun setidaknya kita sudah mencari yang terbaik. Ayo para perempuan lajang nikmati hidup, jangan terintimidasi oleh pertanyaan kapan menikah. Selamat Hari Perempuan Internasional! Salam Kompasiana! (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H