Mohon tunggu...
Cucum Suminar
Cucum Suminar Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Kompasianer

Belajar dari menulis dan membaca. Twitter: @cu2m_suminar

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Blog, Informasi di Ujung Jari

5 Februari 2017   13:47 Diperbarui: 5 Februari 2017   16:07 605
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kompasiana, salah satu blog favorit di Indonesia. | Dok Pribadi.

Satu dekade lalu – saat saya masih mengenakan seragam putih-biru, sempat mendengar cerita ada salah satu kerabat yang menangis tersedu saat Idul Fitri tiba. Bukan, bukan karena ia tidak bisa berbelanja baju lebaran, atau tidak sanggup membeli daging sapi yang setiap hari raya harganya tiba-tiba melonjak tinggi.

Kerabat saya itu justru bisa membeli daging sapi hingga berkilo-kilo, lengkap dengan kentang, ayam, buncis, bihun hingga bumbu masak yang lumayan lengkap. Namun masalahnya, ia tidak bisa mengolah bahan makanan tersebut menjadi penganan lezat khas hari raya.

Konsen mengejar prestasi akademik dan meniti karir sebagai seorang pegawai, membuat ia abai belajar memasak. Beruntung – meski sempat terisak beberapa puluh menit, ia akhirnya terselamatkan oleh tetangga baik hati yang bersedia membantu mengubah umbi kuning keemasan menjadi sambal goreng kentang lezat hingga mentransformasi gumpalan coklat menjadi semur daging nikmat.

Saat berkesempatan bertemu kerabat tersebut, saya sempat bertanya mengapa tidak meminta tolong ibu atau mertuanya yang hanya berjarak beberapa kilometer untuk memasak, ia mengatakan gengsi. Sebagai pasangan yang baru menikah, katanya ia dan sang suami justru ingin memberi hantaran spesial kepada orangtua mereka saat hari raya. Halah!

Blog Sebagai Sumber Informasi

Saat memasuki gerbang pernikahan, saya sempat ketakutan akan mengalami hal yang sama – menangis saat Idul Fitri karena tidak bisa mengolah daging sapi menjadi empal, atau mengubah deretan buncis menjadi masakan lezat. Namun saya ternyata lebih beruntung. Bukan, bukan karena saya sudah jago memasak sebelum menikah, namun karena saya naik ke pelaminan saat internet sudah merambah hampir ke seluruh aspek kehidupan.

Saat bingung apa saja bumbu yang dibutuhkan untuk membuat opor ayam, saya hanya tinggal menghentakan jari diatas monitor ponsel. Deretan blog yang mengulas mengenai cara membuat opor ayam tersaji begitu lengkap – terkadang tidak hanya resep dan cara membuat, namun juga dilengkapi trik dan tips agar opor yang kita masak selezat buatan koki handal.

Dibanding bertanya kepada orangtua atau kerabat, saya memang lebih nyaman mencontek aneka resep dari blog. Selain lebih simpel, terkadang juga bisa melihat proses pembuatannya secara bertahap melalui video atau foto – sehingga saat memasak lebih terbayang proses yang harus saya dilalui.

Selain mengandalkan blog untuk mencontek beragam resep masakan, saya juga memanfaatkan blog untuk mencari beragam informasi dan referensi. Saat tidak hafal Surat Al-‘Adiyat, sementara saya harus mengajari anak karena tuntutan dari sekolah, tanpa ragu saya membuka blog-blog Islami.

Begitupula saat saya ingin lebih paham terkait suatu topik, saya akan mencari beragam referensi melalui blog atau situs resmi terpercaya. Dibanding membaca dari situs berita, terkadang saya lebih suka membaca pemaparan pribadi penulis dari sebuah blog. Sifat blog yang lebih luwes dan berisi tulisan yang memang dikuasai oleh si penulis, terkadang menyajikan fakta dan informasi yang lebih lengkap. Sehingga, lebih menambah ilmu.

Meski terkadang kita harus bisa memiliah, mana blog dan penulis yang dapat dipercaya, mana yang hanya berisi kebohongan atau hoax – yang dibuat hanya untuk meningkatkan traffic atau jumlah klik tulisan tersebut. Seiring waktu, kita akan tahu kok mana blog dan penulis terpercaya, mana yang hanya sekedar mencari sensasi dan sekedar copy-paste dari sana sini.

“Beyond Blogging” Kompasiana

Blog favorit saya tentu saja Kompasiana. Menjelajah blog keroyokan ini serasa berkeliling dunia hanya melalui layar ponsel atau monitor komputer. Melalui artikel “Inggris Kemproh dan Jorok” yang ditulis Kompasianer Ardy dan Bunda Susy, saya bisa tahu ternyata di Inggris sana juga ada lho penduduk yang suka sembarangan membuang sampah. Padahal di mata saya yang lulusan Sastra Inggris, orang Inggris itu tidak mungkin ada yang meninggalkan bungkusan sampah di depan rumah, atau melempar benda yang sudah tidak terpakai ke bak sampah dari jarak jauh.

Saya juga jadi tahu untuk menyebur ke pemandian air panas di Jepang, pengunjung harus menanggalkan semua pakaian – bahkan tidak boleh menutupi sebagian badan oleh handuk, meski berendamnya berama-ramai. Bila tidak membaca artikel “Uji Nyali Nyebur di Onsen Jepang” yang ditulis Kompasianer Weedy Koshino, mungkin saya tidak tahu aturan tersebut. Saya mungkin tetap berpikir, berendamnya bisa mengenakan baju renang atau kemben tipis penutup badan.

Blog keroyokan ini juga kerap menyuguhkan hal-hal unik dari Italia seperti yang diceritakan Kompasianer Gordi, atau hal menarik mengenai Jerman yang diulas Kompasianer Gaganawati Stegmann. Meski belum pernah ke tempat-tempat tersebut, cerita-cerita dari negeri jauh tersebut terasa nyata. Apalagi dilengkapi dengan foto-foto yang mendukung.

Melalui Kompasiana, kita juga diajak untuk mencintai potensi wisata dalam negeri. Bergantian para Kompasianer menceritakan pengalaman berkunjung ke tempat-tempat cantik di Indonesia, mulai dari Bandung, Malang, Jombang, Ambon, hingga daerah terujung Indonesia, Papua. Cerita-cerita seru mereka sangat menggugah untuk melihat langsung objek wisata tersebut.

Kita juga diajak untuk lebih melek politik melalui aneka artikel politik yang berseliweran hampir setiap menit – bahkan kita juga dibujuk untuk lebih pintar dengan beragam artikel ekonomi, kesehatan, pendidikan, parenting hingga IT yang disampaikan dengan gaya penulisan menarik dan mudah dicerna,  langsung dari para praktisi atau akademisi yang menjadi Kompasianer.

Menariknya kita juga tidak hanya pasif mencerna beragam opini dan pengalaman yang ditulis orang lain, namun juga dapat turut andil berbagi pengalaman dan pengetahuan melalui artikel yang kita tulis. Senang rasanya bisa memberi sedikit kontribusi kepada orang lain, meski hanya melalui tulisan.

Dua tahun lalu, saya sempat dihubungi mahasiswa magister dari universitas negeri terbesar di Yogyakarta. Ia katanya tertarik dengan tulisan saya mengenai Belakang Padang, Batam. Oleh karena itu ia berkeinginan untuk mengerjakan tesis dengan sampel penduduk dari pulau yang berbatasan langsung dengan Singapura tersebut. Kami sempat berkomunikasi beberapa kali melalui e-mail. Ia juga mengabari saat tesisnya sudah selesai dan lolos sidang.

Dulu saat pertama kali menulis di Kompasiana saya tidak terpikir untuk berinteraksi seperti itu dengan salah satu pembaca artikel saya. Sebelum bergabung di blog keroyokan ini, saya sempat menulis juga untuk blog lain yang bergenre parenting. Namun biasanya hanya berkomunikasi dengan pembaca atau sesama penulis di blog tersebut melalui kolom komentar yang ada di bawah tulisan.

Setelah bergabung di Kompasiana jejaring pertemanan menjadi lebih luas. Selain berteman melalui sosial media, juga bisa mengobrol secara langsung saat Kompasiana mengadakan acara. Sehingga, kita tidak hanya mengenal mereka dari tulisan-tulisan yang dibuat, namun melihat secara nyata.

Perlahan, menulis di Kompasiana juga tidak hanya menambah jejaring pertemanan, namun juga menambah kesempatan – mulai dari kesempatan jalan-jalan gratis ke tempat-tempat seru nan menyenangkan, mendapat tambahan uang saku dari blog competition, mendapat gadget atau barang elektronik saat acara off air, membuat buku, hingga menambah nilai jual karena dinilai mahir menulis atau ahli di bidang yang topiknya sering kita tulis.

Membantu Memaparkan Hal Sebenarnya

Pernahkah merasa geregetan karena membaca suatu artikel yang isinya kita rasa kurang tepat? Mungkin artikel tersebut tidak sepenuhnya salah, akan tetapi ada satu atau dua hal yang isinya kita anggap kurang sesuai. Nah, melalui blog kita bisa memberi gambaran sebenarnya yang kita tahu. Selain memaparkan fakta, kita juga sekaligus dapat menyampaikan opini.

Hal tersebut seperti yang pernah saya lakukan saat menjelaskan tidak semua perusahaan air minum swasta – dalam hal ini PDAM swasta, menyalahi UUD 1945 karena menguasai sumber air baku yang seharusnya dikuasai negara. Hal tersebut dikarenakan perusahaan air minum swasta di Batam tidak mengusai air baku. Perusahaan air tersebut hanya membeli air baku dari instansi pemerintah. Sehingga, meski swasta tetap tidak menyalahi aturan yang sudah ditetapkan.

Satu hal yang saya suka dari Kompasiana, saat kita kecewa dengan pelayanan suatu instansi kita dapat memaparkan kekecewaan tersebut – tentu sifatnya bukan untuk memojokan instansi tersebut, namun lebih mencari solusi agar pelayanan dari instansi tersebut menjadi lebih baik.

Saya sempat mengalami sendiri ampuhnya Kompasiana membantu saya mengembalikan uang yang tiba-tiba hilang dari tabungan akibat ulah oknum yang tidak bertanggung jawab. Masalah saya selesai hanya dalam hitungan hari setelah kantor pusat dari instansi tersebut tahu. Padahal sebelumnya, keluhan saya baru dijanjikan baru dapat diproses dua minggu kemudian – itupun belum tentu uangnya kembali.

Media seperti Kompasiana sangat diperlukan, agar kita dapat menjelaskan duduk persoalan yang sebenarnya dan diketahui oleh orang yang seharusnya. Meski demikian, kita harus tetap bertanggung jawab dengan apa yang sudah kita tulis. Bukankah apa yang ditulis mencerminkan siapa si penulis? Jangan sampai kita dicap pembohong hanya karena menulis sesuatu yang mengada-ada. Salam Kompasiana! (*)

Facebook

Twitter

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun