Mohon tunggu...
Cucum Suminar
Cucum Suminar Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Kompasianer

Belajar dari menulis dan membaca. Twitter: @cu2m_suminar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tanpa PR, Sekolah Lebih Asyik!

14 Oktober 2016   23:46 Diperbarui: 14 Oktober 2016   23:57 284
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sangat menarik membaca ulasan salah satu kompasianer terkait wacana Mendikbud Muhadjir Effendy yang melarang guru untuk memberikan PR kepada siswa. Kompasianer tersebut tidak sependapat dengan sang menteri. Ia justru beranggapan PR masih diperlukan karena dinilai dapat meningkatkan kemampuan siswa menyelesaikan masalah, melatih murid bertanggung jawab, hingga memberi kesempatan agar siswa dapat menemukan cara kreatif dalam menyelesaikan masalah, dst, dll, dsb. Selengkapnya dapat dibaca disini.

Untuk beberapa hal saya sependapat dengan kompasianer tersebut. Apalagi Ibu Majawati Oen pasti membuat tulisan berdasarkan pengalaman pribadi sebagai seorang guru. Sebagai seorang pendidik, beliau pasti ingin memberikan yang terbaik bagi para murid. Tulisan tersebut pasti beliau buat karena gelisah – khwatir para murid tidak mendapat didikan maksimal karena Pak Menteri ada rencana menghilangkan PR.

Namun saya sebagai orang tua – dan selama beberapa waktu sempat mengecap profesi sebagai pendidik, mulai dari guru TK, guru SMK, hingga dosen perguruan tinggi, saya justru sependapat dengan Mendikbud Muhadjir Effendy. Secara pribadi saya berpendapat ada baiknya PR memang ditiadakan.

Persis seperti yang disampaikan Mendikbud – saya membaca pendapatnya melalui Batam Pos edisi Jumat, 14 Oktober 2016, halaman 3, umumnya PR yang diberikan guru kepada siswa, justru menjadi PR orangtua. Tidak sedikit orangtua yang malah mengerjakan PR tersebut.

Saya sempat menjadi saksi mata bagaimana salah satu orangtua murid SD kelas IV terpaksa pulang lebih lambat dari kantor karena harus mengerjakan PR sang anak. Orangtua tersebut mencari gambar/foto/definisi/jawaban atas tugas/PR yang diberikan guru sang anak. Apalagi PR tersebut harus di print rapi.

Orangtua tersebut bilang daripada malam-malam harus browsing lagi di rumah mencari foto bla bla bla untuk PR sang anak, belum lagi ia tidak memiliki printer. Sehingga, mumpung ada fasilitas kantor, apa salahnya mengerjakan PR tersebut di kantor. Sementara sang anak, hanya tinggal menyebutkan pertanyaan yang diberikan sang guru melalui sambungan telepon. Alhasil tujuan guru untuk membuat si anak lebih paham, pupus saat PR yang seharusnya dikerjakan si anak, malah dikerjakan oleh orangtua. Eh, kecuali mungkin ya saat sampai rumah si orangtua menjelaskan semua jawaban dari PR yang diberikan guru. Sehingga, meski tidak mengerjakan sendiri, anak tersebut tetap paham.

TANPA PR, ANAK TETAP BISA BERTANGGUNG JAWAB

Dulu saat saya masih menjadi seorang pengajar, sebisa mungkin saya tidak memberikan PR. Meski demikian, bukan berarti saya melepas siswa terkait materi yang saya berikan. Saya tetap ingin tahu apakah materi yang saya terangkan sudah dimengerti siswa atau belum. Untuk mengukur hal tersebut, saya biasanya memberikan tugas dikelas.

Usai menerangkan suatu materi, saya akan memberikan beberapa pertanyaan. Pertanyaan tersebut harus dijawab siswa pada sehelai kertas yang harus dikumpulkan dengan batas waktu tertentu pada hari yang sama. Selama mengerjakan tugas tersebut siswa saya awasi, sehingga mereka benar-benar mengerjakan sendiri tidak melakukan kerjasama dengan teman kiri-kanan-depan-belakang. Setelah tugas tersebut dikumpulkan seluruhnya, saya meminta setiap siswa secara bergantian menjawab soal yang dikerjakan tadi di papan tulis. Setiap satu siswa selesai menjawab satu soal, saya akan membahas jawaban tersebut, bila betul diberi tahu mengapa jawabannya betul, bila masih salah, jawaban tersebut dibetulkan sambil dberikan penjelasan.

Saya mempelajari metode tersebut dari salah satu dosen saat kuliah dulu. Meski dosen tersebut tidak pernah memberikan tugas diluar jam kuliah, mahasiswa tetap bertanggung jawab karena memang tetap ada tugas yang harus dikumpulkan. Selain itu, tetap terlatih mengerjakan soal dengan baik karena memang ada soal yang harus dikerjakan secara mandiri. Plusnya, bila ada yang tidak mengerti, bisa saat itu juga mengetahui jawabannya, karena usai dikerjakan langsung dibahas.

TETAP LIBATKAN ORANGTUA

Agar anak tidak blank saat guru akan melanjutkan pelajaran di hari berikutnya, guru bisa meminta orangtua untuk tetap terlibat dalam proses belajar mengajar. Sekolah anak saya biasanya memberi catatan apa saja yang sudah dipelajari disekolah melalui buku penghubung guru dan orangtua.

Melalui buku penghubung tersebut biasanya guru akan memberi catatan anak saya masih lemah di materi A, sehingga saya diminta untuk mengulangi materi tersebut dirumah. Atau malah anak saya sudah ok terkait materi yang sudah disampaikan, sehingga diminta untuk membantu melanjutkan materi berikutnya.

Menurut saya itu berbeda dengan PR. Hal tersebut dikarenakan orangtua dipersilakan untuk berkreasi menemukan cara sendiri agar sang anak lebih paham terkait materi yang diberikan disekolah. Tidak ada beban yang mengharuskan orangtua menjawab atau membuat suatu tugas yang sudah ditentukan dari sekolah.

Meminta orangtua untuk membantu terlibat dalam kegiatan belajar mengajar menurut saya justru sangat baik. Orangtua menjadi tahu apa yang sedang dipelajari anak disekolah. Bukankah memang tujuan pendidikan memang seperti itu? Mengintegrasikan antara pendidikan di sekolah dan di rumah. Apalagi setiap orangtua pasti lebih tahu karakter sang anak, sehingga dapat memilih metode apa yang tepat sehingga sang anak lebih paham terkait pelajaran di sekolah. Ah, begitu saja opini saya. Tanpa PR sekolah lebih asyik. Salam Kompasiana! (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun