Ada banyak jalan menuju sehat. Salah satu caranya tentu dengan berolahraga yang teratur. Hanya saja, baru membayangkan harus melakukan olah tubuh secara rutin saja terkadang bikin il-feel duluan. Malas rasanya bila harus bangun lebih pagi untuk berlari keliling komplek, atau menyediakan waktu khusus untuk mampir ke pusat kebugaran.
Meski gratis – karena difasilitasi kantor tempat saya bekerja, berat rasanya melangkahkan kaki ke fitness centre. Untuk ibu-ibu seperti saya, terkadang daripada nongkrong satu jam di pusat kebugaran, mending menghabiskan waktu bareng anak tercinta.
Saya sebenarnya bukan tipikal orang yang tidak suka berolahraga. Saya hobi berolah tubuh. Dulu saat masih single, setiap pagi saya rajin keliling lapangan di sekitar rumah. Saat belum memiliki anak, saya juga rajin berlari pagi di sekitar komplek tempat saya tinggal. Namun setelah memiliki buah hati, waktu rasanya tersita habis. Apalagi saya juga bekerja dan tidak memiliki asisten rumah tangga.
Uups, sebenarnya saya tidak lagi rajin lari pagi bukan karena tidak sempat, namun karena malas kembali memulai. Sejak vakum karena hamil dan melahirkan, saya memang tidak pernah lagi lari pagi. Mungkin badan sudah mulai keenakan bangun lebih siang dan jantung juga sudah terbiasa tidak dipacu lebih cepat. Akhirnya bye…bye… lari pagi.
Meski lebih sibuk karena sudah memiliki anak, olahraga sebenarnya tidak boleh dilewatkan. Hal tersebut juga sebenarnya sudah sangat saya sadari. Oleh karena itu, setelah anak saya berusia lebih dari 40 hari, saya kerap membawanya jalan-jalan. Selain memperkenalkan anak saya ke lingkungan sekitar, jalan-jalan tersebut juga sebagai kesempatan saya untuk berolah tubuh.
Saya biasanya mengajak anak jalan-jalan dengan menggunakan stroller. Kebetulan kereta dorong yang kami punya cukup besar. Sehingga, tanpa bayi yang duduk atau tidur di dalam stroller pun, kereta dorong itu sudah cukup berat. Apalagi jalan disekitar rumah saya menanjak cukup ekstrim – baik jalan dari sebelah kiri maupun kanan, alhasil lumayan berkeringat juga mengajak bocah jalan-jalan sekitar 30 menit.
Saya biasanya menyusuri satu persatu jalan-jalan di sekitar komplek. Selain lebih mengakrabkan diri ke sesama tetangga, juga senang memperlihatkan anak saya dengan beragam tumbuhan dan beberapa hewan domestik yang dipelihara oleh tetangga, mulai dari pohon jambu, pohon palem, ayam, hingga kelinci.
Saat anak beranjak lebih besar, saya mulai mengajak buah hati berkeliling komplek dengan menggunakan sepeda dorong. Lalu setelah ia semakin besar, saya malah mengajaknya berjalan kaki menyusuri satu persatu jalanan di sekitar komplek. Biasanya saya lakukan setiap Sabtu dan Minggu, bila tidak pagi hari, kami melakukannya sore hari. Usai letih berjalan kaki, kami biasanya mampir ke tempat makan favorit dekat rumah, hanya sekedar minum milkshake atau mencicipi pancake durian. Meski judulnya sama-sama jalan kaki, namun berjalan dengan anak tidak terasa berat, mungkin karena niatnya bukan untuk berolahraga, namun jalan-jalan.
Oiya, rutin mengajak anak berkeliling disekitar areal rumah, tidak hanya bermanfaat membuat badan lebih fit, namun juga meningkatkan kemampuan komunikasi anak. Mungkin karena terbiasa mendengar kebawelan emaknya selama berkeliling di sekitar rumah, anak saya lumayan cepat menguasai kemampuan berkomunikasi (baca: bukan ahli komunikasi, namun cerewet dan kritis).