Dok Pribadi/Salah satu warga Belakang Padang saat mengambil air dari waduk.
Pria bertopi putih itu tertatih menuruni deretan anak tangga sambil membawa jerigen berwarna biru. Ia terlihat berhati-hati menyusuri sepuluh deret tanah yang berumpak-umpak tersebut. Mungkin karena khawatir terpeleset, atau akibat membawa dua jerigen yang lumayan besar sekaligus.
Sukses menuruni anak tangga, pria yang belakangan diketahui bernama Yono itu, kemudian mengambil corong air dan kaleng bekas cat. Lalu pria yang tinggal di Rawasari, Kecamatan Belakang Padang, Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau tersebut mengisi dua jerigen itu dengan air yang tergenang di waduk.
Usai jerigen penuh terisi, Yono kembali menaiki tangga dengan hati-hati. Lalu ia menyusun dua jerigen berkapasitas sekitar 30 liter tersebut di atas motor. Ada tali hitam khusus yang ia siapkan agar jerigen itu kuat menempel di atas jok motor. Apalagi ia mengendarai kendaraan roda dua tersebut sendirian.
Selain Yono, ada Khairul yang juga sangat telaten mengisi beberapa jerigen dengan air. Siswa Madrasah Tsanawiyah Belakang Padang tersebut bahkan membawa jerigen lebih banyak. Ada lima jerigen yang ia bawa. Namun bedanya, ia berbagi tugas dengan sang ayah. Usai salah satu jerigen diisi penuh dengan air, Khairul akan memberikannya kepada sang ayah untuk dibawa pulang dengan menggunakan sepeda motor satu per satu.
Khairul dan Yono hanya dua dari sekian penduduk Pulau Penawar Rindu yang berjibaku dengan air bersih. Sejak empat bulan lalu, warga Pulau Belakang Padang memang cukup kerepotan mencari sumber air untuk memenuhi kebutuhan air bersih rumah tangga. Apalagi sejak awal 2016 lalu, Waduk Sekanak Raya yang dibangun Departemen Pekerjaan Umum pada 2008 itu tidak lagi bisa dioperasikan karena tidak ada air baku yang dapat diolah. Waduk tadah hujan yang memiliki kapasitas abstraksi 20 liter per detik tersebut mengering dan ditumbuhi rumput.
Sejak awal 2016, hujan jarang menyapa pulau tersebut. Sabtu, 7 Mei 2016 lalu, saat hujan turun dengan deras di wilayah Sekupang, Kota Batam, Pulau Belakang Padang malah cerah. Padahal jarak Sekupang dan Belakang Padang hanya dipisahkan laut yang dapat ditempuh sekitar 10 hingga 15 menit perjalanan.
Minggu, 8 Mei 2016, memang sempat hujan cukup deras di pulau yang berbatasan langsung dengan Singapura tersebut, namun hanya berlangsung sekitar 5-10 menit. Hujan tersebut turun sekitar pukul 7:20 WIB, belum genap jam menunjukkan pukul 7:30 WIB hujan sudah berhenti total.
Mengais Air Waduk yang Sudah Kritis
Saya sempat tertegun saat Minggu lalu melihat belasan warga Belakang Padang yang bergantian mengambil air dari waduk yang mulai mengering. Pasalnya, air di waduk tersebut lebih mirip genangan, dibanding tampungan. Apalagi waduk tersebut cukup subur ditumbuhi beragam tanaman.
Beberapa warga yang sempat saya ajak berbincang mengatakan, mereka terpaksa mengambil air dari waduk tersebut. Hal itu dikarenakan tidak ada air hujan yang bisa dimanfaatkan untuk keperluan sehari-hari. Jauh sebelum ada sistem pengelolaan air bersih, warga pulau yang berpenduduk sekitar 190 ribu tersebut memang memanfaatkan air hujan untuk memenuhi keperluan air bersih.
Khairul mengatakan, setiap hari ia dan sang ayah harus mengambil air dari waduk sebanyak dua drum atau sekitar 400 liter untuk memenuhi kebutuhan air seluruh keluarga. Saat libur sekolah ia biasanya mengambil air pada pagi hari, namun pada hari sekolah ia mengambil air sore hari usai beraktivitas di sekolah.
Sementara Yono, biasanya mengambil air sekitar 150 liter per hari. Namun saat hari libur ia bisa mengambil air lebih banyak dari itu. Libur panjang selama empat hari lalu (5-8/5) dimanfaatkan Yono untuk mengisi penuh-penuh tampungan air di rumahnya. Sehingga, saat hari kerja, ia tidak harus mengambil air terlalu banyak.
Ia mengatakan, selalu memastikan tampungan air di rumahnya cukup untuk memenuhi keperluan beberapa hari. Setiap hari Yono mencicil mengambil air sebelum air di rumahnya benar-benar habis. Apalagi ia masih memiliki balita sehingga menurutnya sangat riskan bila benar-benar tidak memiliki simpanan air.
Namun Yono menegaskan, air yang diambil dari Waduk Sekanak Raya tersebut hanya digunakan keluarga kecilnya untuk keperluan MCK, seperti mencuci piring, mencuci pakaian, mandi dan membersihkan rumah. Untuk minum dan keperluan memasak, ia membeli air galon.
Meski tidak yakin dengan kehigienisan air waduk, Yono mengungkapkan terpaksa menggunakan air tersebut untuk menghemat pengeluaran. Bila harus membeli seluruh air yang diperlukan untuk kebutuhan sehari-hari, cukup berat. Itu makanya untuk keperluan air yang tidak dikonsumsi, ia mengambil dari Waduk Sekanak Raya.
Memang tidak semua warga Belakang Padang mengambil air dari waduk tersebut. Beberapa warga ada yang membeli air bersih dari Pulau Batam. Untuk 200 liter air bersih harganya sekitar Rp15 ribu hingga Rp20 ribu. Selintas harga tersebut cukup terjangkau, namun coba kalkulasikan untuk satu bulan penuh. Bila dijumlahkan, untuk konsumsi satu drum air setiap hari selama satu bulan, bisa menghabiskan budget setengah juta.
Perlu Campur Tangan Pemerintah
Air merupakan kebutuhan krusial setiap makhluk hidup. Tanpa air yang cukup, tidak ada satu pun manusia, hewan dan tumbuhan yang mampu bertahan hidup. Hal tersebut sepertinya juga sudah mulai disadari oleh Pemerintah Kota Batam. Oleh karena itu, mereka mendorong pemerintah pusat melalui Kementerian PU untuk membangun Sea Water Reverse Osmosis (SWRO) di Belakang Padang.
Namun, sistem pengolahan air laut yang katanya menghabiskan anggaran sekitar Rp135 miliar tersebut belum terdengar kembali progress pekerjaannya. Sejak peletakan batu pertama pada akhir 2015 lalu, tidak ada kabar di surat kabar lokal maupun media online apakah proyek tersebut masih berlanjut dengan sukses, atau terhambat beberapa hal. Berdasarkan artikel yang direlease Humas Pemko Batam, pekerjaan SWRO tersebut dimulai pada januari 2016 dan diperkirakan selesai pada akhir 2016.
Semoga saja proyek tersebut berjalan dengan lancar agar masyarakat Belakang Padang lebih terbantu mendapatkan air bersih. Apalagi katanya sedikit sulit mengalirkan air dari Pulau Batam ke Pulau Belakang Padang dengan menggunakan pipa bawa laut. Hal tersebut dikarenakan laut yang membelah dua pulau tersebut merupakan perairan internasional. Ada ketentuan kedalaman pipa yang harus dipenuhi yang menyebabkan biaya mengalirkan air dari Pulau Batam ke Belakang Padang tidak lagi ekonomis.
Mungkin sementara sebelum SWRO berjalan sesuai dengan yang diharapkan, pemerintah memberi bantuan air untuk warga yang membutuhkan. Setidaknya hingga musim kemarau di Belakang Padang berlalu. Tidak harus seluruh warga Belakang Padang yang diberi bantuan tersebut, mungkin khusus saja bagi yang kurang mampu.
Mungkin pihak berwenang bisa mendatangkan air dari Pulau Batam, kemudian warga bisa mengambil secara terbatas di satu titik yang sudah ditentukan. Salam Kompasiana! (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H