Mohon tunggu...
Cucum Suminar
Cucum Suminar Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Kompasianer

Belajar dari menulis dan membaca. Twitter: @cu2m_suminar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Baca Ini Sebelum Menikahi Anak Tunggal

21 Februari 2016   18:41 Diperbarui: 4 April 2017   18:20 4284
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="KOMPAS/PRIYOMBODO Polisi melakukan prarekonstruksi kasus kematian Wayan Mirna Salihin (27) seusai menyeruput kopi di kafe Olivier, Mal Grand Indonesia, Jakarta Pusat, Senin (11/1/2016). Hasil otopsi menunjukkan terjadi pendarahan pada lambung korban akibat zat korosif sejenis sianida."]

[/caption]Bagaimana sih rasanya menikahi anak semata wayang? Mungkin ada beberapa diantara kita yang bertanya-tanya seperti itu. Apalagi artikel yang mengulas plus-minus menikahi anak satu-satunya sepertinya belum banyak. Umumnya artikel yang tersebar di Google hanya memaparkan mengenai karakteristik dan sifat dari anak tunggal.

Meski bukan expert dan hanya sebatas opini pribadi, saya ingin sedikit menggambarkan suka-duka menikahi anak semata wayang.  Kebetulan saya cukup lekat dengan komunitas anak tunggal. Mudah-mudahan beberapa cerita yang saya bagikan bisa menjadi contekan bagi para gadis-bujang di luar sana yang sedang menjajaki untuk menikah dengan anak tunggal.

PENJAJAKAN LEBIH SIMPEL

Saat calon mertua sudah setuju dan menerima kita sebagai calon pasangan sang anak, umumnya proses penjajakan cenderung lebih lancar. Hal tersebut dikarenakan kita tidak perlu usaha ekstra untuk menyenangkan calon kakak/adik ipar. Apalagi membawakan mereka hadiah menarik, atau pura-pura bermuka manis saat membahas topik tertentu yang tidak kita sukai. Kita cukup cari muka sama calon mertua, selesai.

POTENSI FRIKSI LEBIH RENDAH

Memiliki calon pasangan yang tidak memiliki saudara kandung juga dapat menekan potensi gesekan dengan keluarga pasangan. Apalagi karena calon mertua hanya memiliki satu anak, kita yang dipilih anaknya sebagai calon pasangan hidup pasti akan lebih diterima dengan tangan terbuka – bahkan juga dianggap sebagai anak kandung mereka, bukan dianggap sebagai menantu.

TIDAK DIBANDING-BANDINGKAN DENGAN MENANTU LAIN

Bila menikahi anak tunggal, kita otomatis hanya akan menjadi menantu satu-satunya (abaikan kemungkinan anak tunggal tersebut berpoligami =D). Jika hanya menjadi menantu satu-satunya, otomatis mertua tidak akan membanding-bandingkan kita dengan menantu yang lain yang beliau anggap lebih baik. Otomatis kita akan menjadi menantu terbaik. Asal kita juga tahu diri menjadi menantu yang baik.

SULIT DIAJAK MERANTAU

Meski tidak semua anak tunggal sulit diajak merantau, namun umumnya calon mertua akan sedikit enggan melepas anak semata wayangnya menetap terlalu jauh dari kota asal. Kalaupun diizinkan bukan tidak mungkin ada syarat tertentu yang harus dipenuhi, salah satunya calon mertua ikut pindah bila memungkinkan.

HARUS SIAP MERAWAT MERTUA

Bila istri/suami adalah anak tunggal, kita harus siap merawat mertua. Apalagi bila sangmertua sudah sepuh dan salah satu mertua sudah meninggal. Bagi menantu laki-laki mungkin tidak terlalu bermasalah. Kaum Adam umumnya lebih cuek, apalagi mereka juga biasanya lebih fokus mencari nafkah, sehingga tidak begitu terlibat dalam perawatan sang mertua.

Namun bagi menantu perempuan, hal tersebut bisa mendatangkan masalah tersendiri. Saat mertua sudah satu rumah, terkadang timbul gesekan saat sang mertua mulai mengimplementasikan pandangan pribadinya dalam menjalankan sebuah biduk rumah tangga, atau ikut campur dalam proses mendidik sang cucu. Beda generasi, terkadang beda pendekatan untuk mendidik sang buah hati.

Bagi suami/istri yang memiliki pasangan anak tunggal, please jangan pernah katakan pilih saya atau orangtua kamu, saat kita sudah tidak tahan dengan kelakuan mertua. Pertanyaan tersebut pasti akan menyakitkan pasangan. Biar bagaimanapun pasangan kita pasti sayang keduanya – dan tidak mungkin memilih salah satu. Bila tidak mau mengurus mertua, lebih baik jangan menikahi anak tunggal. Lebih baik menikahi anak yang lebih dari satu.

Sebagai anak yang dibesarkan dengan baik oleh orangtua mereka, istri/suami kita pasti ingin merawat orangtuanya saat orangtua tersebut sudah sepuh, sudah tidak lagi kuat untuk hidup sendiri. Bila harus memilih antara suami/istri atau orangtua mereka, mereka tidak akan sanggup melakukannya – apalagi bila pernikahan sudah dikaruniai anak yang lucu-lucu.

PASANGAN INGIN TETAP BERKARIR

Ini mungkin ditujukan bagi pasangan memiliki calon istri anak tunggal. Terkadang ada ego suami yang menginginkan istri fokus sebagai ibu rumah tangga. Ada juga beberapa kalangan yang memang menginginkan istri tidak bekerja karena perintah agama. Saya tidak mau berdebat terkait masalah ini, hanya saja beberapa anak tunggal perempuan umumnya didorong untuk tetap berkarir oleh orangtua mereka.

Mungkin karena mereka sebagai penerus keluarga dan sudah dibekali dengan tingkat pendidikan yang lumayan, sehingga saat harus melepas karir karena menikah sedikit disayangkan. Apalagi anak tunggal umumnya cukup dibanggakan oleh orangtua mereka – karena cuma satu dan tidak ada lagi yang bisa dibanggakan.

Saat anak tunggal perempuan galau karena sudah dititipkan buah hati, umumnya sang ibunda akan menguatkan dengan menjaga sang cucu. Apalagi mungkin sudah tidak ada lagi yang diurus, sehingga menjaga anak dari anak tunggalnya merupakan sebuah kebahagiaan tersendiri. Seolah diberi kesempatan lagi untuk menimang bayi.

HARUS SIAP DIANDALKAN

Saat menikahi anak tunggal yatim-piatu, kita harus siap diandalkan. Bukan hanya dari sisi materi, namun juga dari sisi perlindungan. Mungkin istri/suami kita masih memiliki kerabat dan keluarga besar, namun umumnya istri/suami lebih nyaman untuk mengandalkan kita sebagai pasangan hidupnya.

Jadi sudah siap menikahi anak tunggal? Atau ada yang sudah menikahi anak tunggal? Yuk, berbagi cerita suka-duka menikahi anak tunggal. Salam Kompasiana! (*)

 

Foto diambil dari Sini

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun