“Disitulah seninya, bagaimana kita melakukan startegi mengontrol tekanan air, memilih lokasi dan mengelola sistem sehingga kebocoran dapat dicegah. Untuk lebih mempermudah pengontrolan, kami memanfaatkan GIS dan memasang sekitar 300 logger,” terangnya.
Benny menuturkan, logger berfungsi mendata aliran dan tekanan air agar dapat dilakukan pengitungan kondisi setiap DMZ. Berdasarkan penghitungan tersebut akan didapatkan data kondisi setiap DMZ sehingga bisa ditentukan daerah prioritas.
“Melalui data logger kita dapat mengetahui mana DMZ yang over supply, mana daerah yang mengalami kebocoran paling tinggi. ATB mulai membenahi daerah dengan jumlah kebocoran tertinggi – bukan berdasarkan nilai kebocoran tertinggi, sehingga pengontrolan pressure jadi lebih efektif,” ujarnya.
Ia melanjutkan, jumlah investasi yang digelontorkan ATB untuk mendukung PMS memang tidak murah. Perusahaan yang memiliki tagline “Kepercayaan Anda di Setiap Tetesnya” tersebut harus menggelontorkan dana sekitar Rp11 miliar.
“Dana tersebut digunakan untuk membeli sekitar 300 logger seharga Rp6 miliar, membeli 100 Pressure Reducing Valve (PRV) seharga Rp2,5 milliar, dan biaya lain-lain Rp2,5 milliar, sehingga total investasi jaringan kebocoran air ATB selama 10 tahun terakhir sekitar Rp11 milliar,” tutur Benny.