Mohon tunggu...
Cucum Suminar
Cucum Suminar Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Kompasianer

Belajar dari menulis dan membaca. Twitter: @cu2m_suminar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Hubungan Mertua-Menantu, Rentan Friksi?

15 November 2015   03:20 Diperbarui: 15 November 2015   07:57 668
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ilustrasi/Gambar Dokumentasi http://www.adelaidenow.com.au"][/caption]Sudah menjadi rahasia umum bahwa hubungan mertua-menantu kerap mengalami situasi pasang-surut. Seakur-akurnya menantu dengan mertua, pada saat-saat tertentu ada saja hal yang membuat situasi kurang harmonis. Entah itu si menantu yang merasa mertua kok begini, atau sang mertua yang merasa menantu kok begitu.

Menurut saya wajar bila ada gesekan antara menantu-mertua. Hubungan antara anak-orangtua saja (yang jelas-jelas terikat hubungan darah) banyak yang tidak mulus – karena bersebrangan pendapat atau berbeda keinginan, apalagi hubungan menantu-mertua yang memang menjadi keluarga karena terikat hubungan perkawinan. Bila ada kerikil-kerikil dalam hubungan, ya wajar.

Mungkin akan menjadi tidak wajar bila sudah berkembang menjadi hubungan permusuhan. Saat sang menantu/mertua malas menjalin komunikasi atau silaturahim karena sudah tidak berkenan lagi menjaga hubungan baik. Atau saat kedua belah pihak berlomba untuk “menjatuhkan” satu sama lain demi mengakomodir rasa benci.

Beberapa teman ada yang sempat curhat mengenai hubungan mereka dengan mertua. Ada satu teman saya (perempuan) yang curhat tentang kekesalannya dengan sikap mertua (perempuan) yang ikut campur dalam urusan parenting. Teman saya itu tidak terima mertuanya membiasakan anaknya menghisap dot. Teman saya khawatir anaknya ketergantungan dot, selain itu juga takut pertumbuhan gigi anaknya terganggu akibat sering menghisap dot.

Teman saya kebetulan tinggal satu rumah dengan mertua. Meski berprofesi sebagai ibu rumah tangga – saat itu teman saya sedang melanjutkan studi magister di salah satu perguruan tinggi, sehingga terkadang memang menitipkan sang anak kepada sang mertua saat ia harus ke kampus mengikuti perkuliahan.

Akibat pemberian dot (dan mungkin akumulasi dari masalah sebelumnya yang tidak ia ceritakan), teman saya sampai bertengkar hebat dengan sang mertua. Ia sempat kabur dari rumah – sempat membuat laporan ke kepolisian terkait perbuatan tidak menyenangkan sang mertua, meski akhirnya setelah dibujuk sang suami, ia kembali pulang.

Setelah kejadian tersebut – untuk menghindari masalah serupa – teman saya dan suami tinggal terpisah dengan sang mertua. Mereka membeli rumah yang jaraknya cukup jauh dengan rumah mertua – meski masih satu kota. Namun, hubungan menantu-mertua yang sudah terlanjur tidak baik, akhirnya menyebabkan teman saya dan suami bercerai.

Teman saya (yang sangat ingin mempertahankan perkawinan mereka) sempat berjanji akan melakukan apapun agar perkawinan tersebut tetap langgeng. Namun sang suami sepertinya sudah kukuh untuk bercerai. Satu palu hakim resmi diketuk, sang suami sempat bilang ke teman saya, “Gue mau cari istri yang sayang sama orangtua gue.”

Ada juga satu teman saya (perempuan) yang curhat mengenai hubungannya yang kurang harmonis dengan sang mertua (perempuan). Ia mengatakan mertuanya sering memperlakukan dirinya kurang baik saat sang suami tidak dirumah. Sang mertua sering membentak dan mengeluarkan kata-kata kurang pantas, sehingga memicu hubungan yang kurang baik.

Hal tersebut dipicu karena sang suami sering dimintai tolong oleh teman saya untuk membantu mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Teman saya merasa wajar sang suami diminta bantuan karena mereka sama-sama bekerja dan tidak memiliki asisten rumah tangga. Namun, sang mertua mungkin berpendapat lain.

Sejak satu tahun terakhir, sang mertua memang tinggal satu rumah dengan teman saya dan suami karena enggan tinggal sendirian. Mertua teman saya itu memang sudah pensiun dari pekerjaan, sang suami (mertua laki-laki) juga sudah meninggal, dan ia hanya memiliki satu anak – yakni suami dari teman saya itu.

Teman saya bilang sangat ingin tinggal sendiri dengan keluarga kecilnya. Ia tidak ingin sang mertua hidup bersama dengan mereka. Ia kerap mengungkapkan hal tersebut kepada sang suami, namun si suami biasanya hanya diam. Tidak berkata apa-apa. Mungkin juga bingung karena bagaimanapun si mertua tersebut adalah ibunya.

***

Meski hubungan saya dan mertua cukup baik, saat mertua pensiun dan sempat mewacanakan tinggal lebih lama di Batam agar bisa lebih dekat dengan keluarga besarnya (mertua tinggal di Bogor), saya sempat meminta suami untuk segera mengambil KPR. Maklum rumah yang kami tempati saat ini adalah milik mertua. Saya sempat khawatir akan mengalami konflik mertua-menantu seperti yang dialami beberapa teman bila harus satu rumah dengan mertua. Namun kata-kata suami langsung menyadarkan saya, “Nyokap gue itu cuma punya anak dua, yang tinggal di Batam cuma gue doang, terus nanti kalau kita ngambil KPR dia tinggal sama siapa?”

Deg! Saya sempat merasa berdosa karena berpikir egois. Apalagi ternyata mertua saya hingga sekarang masih menetap di Bogor. Beliau hanya sesekali ke Batam untuk menengok saudara dan orangtuanya yang memang masih lengkap.

Saya juga teringat kondisi saya sebagai anak tunggal. Bila mama saya masih hidup, bukan tidak mungkin beliau juga ingin tinggal bersama kami. Mungkin hanya sekedar untuk bercengkrama dengan cucu, atau karena kondisi fisik dan kesehatan yang mengharuskan ikut sang anak. Kalau bukan kita anaknya yang merawat, siapa lagi?

***

Hubungan antar manusia memang sangat kompleks – hubungan anak-orang tua; suami-istri, tidak terhindar dari friksi, begitupula dengan hubungan mertua-menantu. Tinggal kita yang saling menghormati agar terjalin hubungan yang harmonis. Toh meski tidak terikat darah, mertua-menantu tetap keluarga.

Istri adalah perempuan yang dipilih suami untuk menjadi pendamping hidup. Sang suami pasti ingin wanita yang sudah dipilihnya tersebut diperlakukan dengan baik oleh siapapun – termasuk oleh orangtuanya sendiri.

Begitupula dengan mertua. Beliau adalah orangtua suami yang sudah berjasa (melahirkan) membesarkan, dan medidik suami sehingga kita pilih sebagai pasangan hidup. Sebagai orang yang sudah berjasa dalam hidup, suami pasti ingin orangtuanya dihormati oleh siapapun – termasuk oleh sang istri.

Semoga kita semua bisa menjaga hubungan yang baik dengan siapapun. Amien. Salam Kompasiana! (*)

Ilustrasi foto diambil dari http://www.adelaidenow.com.au

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun