Mohon tunggu...
Cucum Suminar
Cucum Suminar Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Kompasianer

Belajar dari menulis dan membaca. Twitter: @cu2m_suminar

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Air Laut Bukan Solusi Air Baku

26 Oktober 2015   14:33 Diperbarui: 26 Oktober 2015   23:17 766
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Dok Pribadi/Alat pengolahan air Sei Harapan, Batam."][/caption] Ir. Benny Andrianto., MM merupakan sosok yang tidak asing di bidang air minum. Pria asli Jogyakarta tersebut aktif sebagai pengurus pada Persatuan Perusahaan Air Minum Seluruh Indonesia (Perpamsi). Ia juga sukses membawa PT. Adhya Tirta Batam (ATB) menjadi perusahaan air minum terbaik di Indonesia. Ingin tahu bagaimana pandangan Benny terkait ketahanan air di Batam? Yuk, simak petikan wawancara berikut.

Bagaimana awalnya Anda hijrah ke Kota Batam?

Saya pertama kali ke Batam pada Februari 1990, karena terlibat proyek pengembangan Pelabuhan Batu Ampar tahap satu. Saat itu saya datang sebagai seorang engineer dari salah satu kontraktor nasional, Bangun Cipta Kontraktor (BCK), yang mendapatkan tender proyek tersebut. Awalnya saya tidak pernah terpikir untuk menetap di Batam karena merasa Batam terlalu jauh dari ibukota negara. Apalagi pada tahun 1990-an infrastruktur di Kota Batam juga belum selengkap saat ini.

Setelah proyek Pelabuhan Batu Ampar selesai pada akhir 1991, saya sudah berniat kembali ke Jakarta. Tetapi tiba-tiba saya ditawari untuk mengerjakan proyek Dam Duriangkang. Saya yang memiliki karakter seeking more challenge merasa tertantang untuk terlibat pada proyek tersebut.

Saat itu Dam Duriangkang merupakan satu-satunya dam estuari di Indonesia dan salah satu yang terbesar di Asia Tenggara. Bila umumnya membangun dam dalam kondisi kering, saat membangun Dam Duriangkang kondisinya berair karena memang membendung cekungan yang berbatasan dengan laut. Kondisinya tidak mudah dan perlu rekayasa engineering khusus.

Pembangunan Dam Duriangkang dimulai tahun 1992 dan selesai tahun 1996. Pembangunan tersebut memang memakan waktu beberapa tahun karena tuntutan dari proyek tersebut yang memerlukan jeda waktu. Saat El Nino melanda Batam pada akhir 1997 hingga 1998, Dam Duriangkang yang berasal dari air laut, airnya telah menjadi tawar dan sudah mulai digunakan untuk memenuhi kebutuhan air bersih Pulau Batam.

Beragam tantangan saat membangun Dam Duriangkang, tanpa terasa membuat saya mulai menetap di Batam. Apalagi saya juga kemudian mengerjakan proyek Swage Treatment Plant (STP) Batamindo dan STP Lobam. Selain itu, kepercayaan yang diberikan perusahaan ke saya juga semakin bertambah sehingga tantangan juga semakin meningkat. Awalnya saya hanya sebagai site engineer, kemudian meningkat menjadi deputy project manager, project manager, hingga akhirnya pada tahun 1995 saya menjadi Kepala Cabang BCK Batam.

[caption caption="Dok: Benny/Benny Andrianto saat mewakili Perpamsi menandatangani perjanjian dengan Perusahaan Air Minum Korea Selatan beberapa waktu lalu."]

[/caption]

Bagaimana akhirnya bisa berkarir di bidang air minum?

Saat menjabat sebagai Kepala Cabang BCK Batam saya ditawari untuk menjadi Direksi PT. Adhya Tirta Batam (ATB). Kebetulan BCK merupakan salah satu pemegang saham ATB. Awalnya saya ragu dan sempat terpikir, dengan latar belakang pendidikan dari Teknik Sipil Bidang Kontruksi, apakah saya bisa memberi nilai tambah untuk sebuah perusahaan air. Akhirnya karena satu dan lain hal, saya menerima juga tawaran tersebut. Saya resmi bergabung di ATB pada Juni 2000.

Sebelum bergabung di ATB saya sempat menyangka, bergabung di perusahaan air minum tidak akan banyak menemukan tantangan, tetapi ternyata dugaan saya salah. Setelah menjadi bagian dari ATB, tantangan di bidang air minum ternyata banyak dan cukup complicated.

Bila menangani proyek memiliki masa tertentu dan hanya perlu memuaskan pemilik proyek dengan hasil proyek yang sesuai waktu, mutu, dan biaya, tidak demikian dengan penanganan perusahaan air minum. Sebagai perusahaan pelayanan publik, kita tidak hanya memuaskan pemegang saham, namun juga stakeholders – dalam hal ini adalah pelanggan.

Kepuasaan pelanggan tidak ada habisnya. Tuntutan pelanggan tidak ada ujungnya. Dari tidak ada air ingin ada air, setelah ada air ingin air mengalir terus menerus, setelah terus mengalir ingin tekanan airnya cukup, setelah tekanan airnya cukup ingin air tersebut siap minum, setelah siap minum ingin harganya murah, terus seperti itu. Itu makanya hingga saat ini saya masih aktif di ATB.

Bagaimana awalnya bisa terlibat di Persatuan Perusahaan Air Minum Seluruh Indonesia (Perpamsi)?

Sejak enam tahun lalu, saya sadar ATB akan menjadi perusahaan air terbaik dan terefisien di Indonesia. Saat ini ATB sudah menjadi perusahaan terbaik dan terefisien di Indonesia. Tingkat Kebocoran air ATB sudah diangka 16,89 persen. Padahal rata-rata tingkat kebocoran air nasional masih diangka 33-34%. Tolok ukur keberhasilan sebuah perusahaan air minum dilihat dari tingkat kebocoran air. Semakin sedikit tingkat kebocoran air, berarti perusahaan air minum tersebut semakin baik dan efisien.

Cakupan pelayanan ATB juga sudah mencapai 99,8 persen, jumlah pelanggan ATB sudah lebih dari 250.000 pelanggan, rasio sumber daya manusia juga sudah mencapai 2,33 per 1.000 pelanggan, jauh diatas rasio rata-rata perusahaan air nasional yang masih diangka 6,3 per 1.000 pelanggan.

ATB juga rutin mendapatkan Perpamsi Award yang diberikan setiap empat tahun sekali. Tahun 2009 dan 2013ATB mendapatkan penghargaan sebagai perusahaan air minum terbaik kelompok PDAM besar. Kemudian 2015 lalu, berkat kinerja ATB, Kota Batam juga diberi penghargaan oleh Perpamsi sebagai Kota dengan Pelayanan Air Minum Terbaik dan Pusat Pembelajaran PDAM.

Saya merasa, beragam pencapaian ATB tersebut terasa kurang manfaatnya bila hanya dimiliki oleh orang Batam. Oleh sebab itu, sejak tahun 2008 ATB mulai membuka jaringan dengan bergabung di Perpamsi. Awalnya saya hanya mewakili ATB sebagai anggota luar biasa di Perpamsi. Saat itu ATB hanya sebagai anggota luar biasa karena perusahaan air swasta, bukan BUMD. Kemudian status keanggotaan ATB meningkat menjadi anggota biasa.

Setelah itu, saya dipercaya menjadi Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Riau-Kepri. Setelah menjabat sebagai Ketua DPD Riau-Kepri, saya dipercaya mengemban tugas sebagai Ketua Dewan Kemitraan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Perpamsi, kemudian setelah jabatan tersebut purna tugas, saya dipercaya menjabat sebagai Ketua Departemen Advokasi di DPP Perpamsi hingga saat ini.

Bila sebelumnya ATB tidak dikenal, setelah bergabung dengan Perpamsi ATB dikenal begitu luas. ATB tidak hanya dikunjungi Pemerintah Daerah, DPRD, dan perusahaan air minum dari berbagai kota di Indonesia secara reguler, namun juga rutin dikunjungi instansi dari perusahaan air minum dari mancanegara.

Perusahaan air minum Cina, Vietnam, Singapura, Malaysia, hingga Mbombela, Afrika Selatan datang ke ATB untuk studi banding. Begitu dengan perwakilan dari King Abdullah University Saudi Arabia dan tokoh Timor Leste Marie Alkatiri, berkunjung untuk menjadikan ATB rujukan atau hanya sekedar ingin melihat seperti apa perusahaan air terbaik di Indonesia.

Meski ATB merupakan perusahaan terbaik dan terefisien di Indonesia, kami terus berupaya untuk menjadi lebih baik lagi. Meski Batam hanya pulau kecil, dan bukan sebuah negara, kami ingin perusahaan air minum di Batam mampu sejajar dengan perusahaan air negeri tetangga seperti Singapura dan Malaysia.

Selain di Perpamsi, apakah Anda juga aktif di organisasi lain yang sejenis?

Selain di Perpamsi, saya juga aktif di Forum Komunikasi Perusahaan Air Minum Swasta (Forkasta). Organisasi tersebut dibentuk Oktober 2014 sebagai wadah bagi perusahaan air minum swasta. Ada 38 anggota yang bergabung. Kami memanfaatkan Forkasta untuk kepentingan perusahaan air minum swasta. Setelah Forkasta terbentuk lebih mudah berhubungan dengan pemerintah terkait masukan untuk peraturan perundang-undangan.

Kami membentuk Forkasta karena Perpamsi tidak spesifik untuk swasta. Organisasi tersebut bahkan merupakan suatu wadah untuk PDAM, yang merupakan BUMD. Sehingga, saat ada kebijakan pemerintah mengenai swasta, khawatir nantinya akan berbenturan dengan Perpamsi.

Forkasta dibentuk sebelum ramai mengenai pencabutan Undang Undang (UU) Sumber Daya Air (SDA) No 7 Tahun 2004 oleh Mahkamah Konstitusi pada Maret 2015 lalu. Sehingga kami bisa mendorong segera dibentuknya Peraturan Pemerintah (PP) untuk mengimplementasikan UU No 11 Tahun 1974 tentang Pengairan.

Sebenarnya, pencabutan UU SDA tidak berpengaruh secara spesifik kepada ATB. Hal tersebut dikarenakan ATB tidak menguasai air baku. ATB hanya mengolah air baku dan mendistribusikannya kepada pelanggan. Air baku tetap dikuasai oleh pemerintah, dalam hal ini BP Batam. Sehingga, tidak ada dampak spesifik apapun bagi ATB untuk melanjutkan pengelolaan air hingga akhir konsesi.

[caption caption="Dok Benny/Benny Andrianto saat menanam pohon di daerah tangkapan air Kota Batam, beberapa waktu lalu."]

[/caption]

Sebagai sosok yang cukup lama berkecimpung di bidang air minum, seperti apa pandangan Anda mengenai ketahanan air di Kota Batam?

Batam tentu membutuhkan sumber cadangan air baku yang memadai karena memiliki sumber air baku terbatas dan sangat tergantung dengan hujan. Untuk memenuhi kebutuhan air, Batam tidak bisa mengandalkan air sumur ataupun sungai karena tidak memiliki sumber daya alami seperti itu. Untuk memenuhi kebutuhan air ke depan, Batam harus mulai memikirkan untuk membangun dam baru atau mengambil cadangan air baku dari daerah lain.

Sebenarnya, dengan tambahan Dam Tembesi yang berkapasitas 600 liter/detik, Batam akan memiliki sumber air baku sebanyak 4.450 liter/detik. Kebocoran air ATB saat ini sekitar 16 % hingga 17%. Itu berarti ATB hanya menggunakan air 3.100 hingga 3.200 liter/detik.

Bila penggunaan air di Kota Batam sama seperti pola konsumsi saat ini. Air baku di Kota Batam cukup hingga delapan tahun ke depan. Dengan kata lain, bila jumlah penduduk bertambah tanpa menambah jumlah air baku, kenyamanan penggunaan air akan mulai terganggu pada tahun 2023.

Anggap 10 tahun kedepan jumlah penduduk Kota Batam 2 juta jiwa, atau dua kali lipat dari saat ini. Itu berarti untuk memenuhi kebutuhan air penduduk, pemerintah harus menyediakan air baku 7.000 liter/detik. Padahal menambah kapasitas air baku hingga 3.500 tidak bisa dalam waktu sekejap. Butuh waktu panjang!

Berdasarkan pengalaman sebelumnya, butuh waktu sekitar lima tahun untuk membangun Dam Duriangkang. Dam Tembesi bahkan sudah tujuh tahun dibangun namun air bakunya belum bisa dimanfaatkan. Itu belum termasuk waktu untuk survey, feasibility study dan pengajuan anggaran. Persiapan sebelum pembangunan setidaknya memerlukan waktu sekitar tiga tahun.

Bila pemerintah berniat untuk membangun dam baru agar air baku di Batam tetap cukup, sebaiknya sudah mulai dipikirkan dari sekarang. Pembangunan dam paling cepat bisa dilakukan dalam waktu lima tahun. Itu berarti paling lambat tahun 2018 pemerintah sudah harus mulai membangun dam baru sebagai sumber air bersih.

[caption caption="Dok Benny/Benny Andrianto saat menjadi pembicara pada salah satu acara yang diadakan secara regional di Kota Batam beberapa waktu lalu."]

[/caption]

Sebelum melangkah pada pembangunan dam baru, apa yang harus dilakukan untuk mempertahankan kehandalan dam yang sudah ada?

Menjaga kehandalan dam di Kota Batam merupakan tanggung jawab kita bersama.

Pemerintah sebaiknya melakukan pengerukan secara berkala untuk menjaga kehandalan dam. Untuk masyarakat Batam, jangan mendirikan bangunan dan tinggal di lingkungan dam. Mari kita jaga agar daerah tangkapan air tidak beralih fungsi menjadi kawasan pemukiman.

Bila daerah tangkapan air beralih fungsi, air hujan dikhawatirkan akan langsung masuk ke dam dan menyebabkan pendangkalan dan evaporasi lebih cepat sehingga Batam tidak memiliki simpanan air. Bila daerah tangkapan air semakin berkurang, saat hujan turun, dikhawatirkan air akan meluap dan menyebabkan banjir seperti yang sudah terjadi di beberapa daerah. Sementara, saat tidak ada hujan, air juga otomatis tidak ada karena tidak tersimpan.

Sebagai bentuk tanggung jawab ATB di bidang lingkungan, setiap tahun kami melakukan penanaman pohon di daerah tangkapan air, fasilitas umum hingga sekolah. Kami rutin mengadakan acara penanaman pohon sejak tahun 2009. Tujuannya tentu untuk membantu menjaga daerah tangkapan air agar tetap terjaga.

Mengingat Batam sebagai daerah pesisir, apakah memungkinkan mengolah air laut menjadi air layak konsumsi?

Tidak ada yang tidak mungkin dengan teknologi. Air limbah saja bisa diolah menjadi air minum, apalagi air laut. Hanya saja ada beberapa konsekuensi bila kita mengolah air laut menjadi air layak konsumsi. Pertama adalah konsekuensi biaya yang tidak murah untuk membangun instalasi pengolahan. Sebagai contoh adalah pengolahan air laut menjadi air tawar di Tanjung Pinang. Untuk membangun instalasi pengolahan berkapasitas 50 liter/detik membutuhkan biaya hingga Rp50 miliar. Bila Batam membangun instalasi untuk 3.500 liter/detik berapa biaya yang harus dikeluarkan?

Besarnya biaya untuk membangun instalasi pengolahan, nantinya pasti akan berpengaruh terhadap tarif air kepada pelanggan. Saat ini tarif air ATB untuk Kategori Domestik adalah Rp3.500/m3, nanti setelah mengolah air laut apakah siap membayar tarif air menjadi Rp20.000/m3.

Selain masalah biaya yang cukup tinggi, air laut yang disuling tidak memiliki mineral sama sekali. Air sulingan tersebut tidak hanya tidak berasa, tidak berwarna, dan tidak berbau, namun juga tidak berguna sama sekali karena sudah tidak ada mineralnya. Untuk menambahkan mineral yang dibutuhkan tubuh dari air, harus diinjek lagi.

Singapura saja yang memiliki dana tidak terbatas untuk mengolah air laut menjadi air layak konsumsi tetap memilih mengambil air baku dari Johor, Malaysia. Air sulingan dari laut tetap mereka gunakan, namun sifatnya hanya cadangan, bukan sebagai konsumsi utama.

Bagaimana dengan program penghematan air?

Memperpanjang usia ketahanan air baku yang tersedia dengan cara menghemat pemakaian air tidak mudah. Ajakan marilah menggunakan air dengan lebih hemat, sangat mudah dikatakan namun faktanya sulit dilakukan. Lebih sulit melakukan hemat air saat air masih tersedia dengan cukup seperti saat ini – diluar kondisi El Nino.

Selain melakukan edukasi atau kampanye hemat air, seperti yang sudah dilakukan ATB selama ini, masyarakat dan pemerintah juga sebaiknya melakukan gerakan real untuk penghematan air. Kita harus melakukan gerakan masal secara terus menerus untuk melakukan penghematan air.

Bila memungkinkan sebaiknya pemerintah men-generate investor yang tidak menggunakan air terlalu banyak untuk menanamkan modal di Batam, meski sebenarnya hal tersebut sangat bertentangan dengan kepentingan ATB dari sisi bisnis. Semakin sedikit perusahaan menggunakan air, semakin tidak menguntungkan ATB.

Pemerintah juga ada baiknya melakukan edukasi hemat air langsung ke sekolah-sekolah. Mari kita bersama-sama mendidik dan mencontohkan para siswa agar menggunakan air dengan lebih hemat melalui kurikulum. Melakukan edukasi ke anak-anak akan lebih mudah dibanding harus melakukan edukasi pada orangtua.

Menghemat penggunaan air memang perlu dilakukan, namun pilihan terbaik untuk memenuhi kebutuhan air di Kota Batam adalah dengan menambah air baku atau mengontrol jumlah penduduk. Tingkat kebutuhan air tidak cenderung semakin menurun. Semakin sejahtera seseorang, tingkat kebutuhan air akan semakin tinggi. Saat ini, rata-rata pemakaian air setiap penduduk Batam adalah 150 hingga 160 liter/hari.

Apalagi Batam juga sudah dua kali dilanda El Nino, yakni pada 1997/1998 dan 2015 ini. El Nino menyebabkan curah hujan berkurang sehingga menyebabkan air baku tidak bisa memenuhi kebutuhan normal masyarakat Batam. Seperti yang kita tahu, Batam tidak dianugrahi sumber daya air melimpah. Kota Batam sangat bergantung pada air hujan sebagai sumber air baku.

Saat Elnino 1997 terjadi, ATB bisa survive dan tidak perlu melakukan water rationing karena cadangan air baku Batam masih melimpah. Saat itu ATB menggunakan air baku 450 liter/detik dari cadangan air baku 3.850 liter/detik, tidak ada masalah. Saat El Nino melanda tahun ini, ATB terpaksa melakukan rationing karena cadangan air baku yang tidak mencukupi. Saat ini ATB sudah menggunakan hampir 3.500 liter/detik air, sementara cadangan air baku masih sama.

Perlu diketahu, rationing merupakan sebuah akibat bukan tujuan. Akibat Dam Harapan dan Ladi tidak bisa bertahan lebih lama hingga Februari 2016, ATB menurunkan kapasitas produksi yang berdampak kepada penggiliran suplai air kepada pelanggan.

Rationing tidak hanya merugikan pelanggan, namun juga ATB. Saat ATB harus mengurangi produksi, otomatis sales turun. Kebijakan ini bukan pilihan yang populer, tetapi terpaksa harus dilakukan. Air baku merupakan hal utama. Siapapun pengelola air minum, tidak akan bisa menyelesaikan masalah penyediaan air bersih bila air bakunya tidak tersedia.

Meski tidak bisa dipastikan kapan terjadi, Elnino pasti berulang. Entah itu 15 tahun lagi, 18 tahun seperti jeda El Nino 1997 ke 2015, atau 20 tahun kemudian. Oleh karena itu, siapapun nanti yang mengelola air di Batam sesudah konsesi ATB berakhir di 2020, harus perusahaan air yang sama efisien atau lebih efisien dari ATB.

Tingkat kebocoran air ATB sudah sangat efisein. Bila tingkat kebocoran air ATB tidak serendah ini atau sama dengan rata-rata tingkat kebocoran air nasional, maka saat El Nino terjadi seperti saat ini – penggiliran air mungkin sudah dilakukan kepada seluruh pelanggan ATB karena banyak air yang sudah terbuang sebelum sampai ke pelanggan. (*)

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun