Â
Selain itu air dari dam tersebut juga disalurkan begitu saja – tidak diolah, alhasil air yang diterima warga masih terlihat keruh. Parahnya sejak dam tersebut dikeruk agar menampung air lebih banyak, air yang disalurkan ke warga kualitasnya semakin memburuk. Air tersebut bercampur dengan rembesan air laut sehingga terasa asin.
Â
Pihak pengelola sepertinya sadar akan kekurangan pelayanan mereka. Saat air sama sekali tidak mengalir kerumah warga selama satu bulan penuh, warga hanya dibebankan untuk membayar abudemen sebesar Rp20 ribu/bulan. Namun bila air mengalir – meski tidak setiap hari, warga umumnya membayar sekitar Rp40 ribu/bulan.
Â
Terkait rencana pembangunan SWRO, warga tentu menyambut baik. Hanya saja harga air olahan tersebut diperkirakan akan mencapai Rp40 ribu hingga Rp50 ribu/m3, warga meminta agar pemerintah mensubsidi tarif sehingga warga dapat menikmati air layak konsumsi dengan harga terjangkau.
Â
Umumnya tarif air bersih yang dinikmati pelanggan domestik mendapatkan subsidi dari pelanggan kategori komersial sehingga lebih terjangkau, hanya saja di Pulau Belakang Padang sama sekali tidak ada industri – paling yang ada hanya ruko dan kantor pemerintahan, sepertinya agak sulit menerapkan tarif subsidi seperti itu.
Â
Sebenarnya saat musim kemarau tiba, warga Belakang Padang kerap membeli air dengan harga yang tidak murah. Mereka umumnya membeli 200 liter air seharga Rp15 ribu. Itu berarti untuk 1m3 air yang dibeli, mereka harus merogoh uang sebesar Rp75 ribu (1m3 = 1.000 liter). Harga SWRO tersebut bila dibandingkan dengan harga air eceran yang dijual per drum sebenarnya masih lebih murah. Hanya saja, meraka kan tidak setiap saat membeli air seperti itu.
Â